Eskalasi harga BBM: Bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat
- Keselarasan Monopoli dengan Kemakmuran Masyarakat
Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah salah satu unsur vital yang diperlukan dalam pelayanan masyarakat umum baik di negara miskin, berkembang, maupun maju. Pemanfaatan BBM dewasa ini, tidak hanya berimplikasi pada kebijakan luar negeri suatu negara yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dapat mengakibatkan penderitaan bagi umat manusia secara global. Oleh karena itu, negara diberikan hak untuk menguasai BBM, dalam bentuk monopoli dan pemusatan kegiatan ekonomi agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal di atas, sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU №5/99) yang menyatakan, monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Serta ketentuan dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa Harga BBM dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah.
Meskipun begitu, kenaikan harga BBM selalu menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Baru-baru ini, pada tanggal 3 September tahun 2022 telah diumumkan keputusan pemerintah mengenai kenaikkan harga BBM hingga 30% pada Konferensi Pers Presiden Joko Widodo dan Menteri Terkait Perihal Pengalihan Subsidi BBM. Pemerintah beralasan bahwa kenaikkan harga BBM dipicu oleh semakin besarnya beban subsidi serta ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi BBM. Kenaikan harga BBM beriringan dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok, ditambah keputusan tersebut diumumkan di tengah kondisi pemulihan ekonomi pasca pandemi sehingga menuai banyak protes dari mahasiswa dan masyarakat kecil sebagai kalangan yang sangat menderita atas kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, keselarasan antara Pasal 51 UU №5/99 yang memberikan hak kepada negara untuk monopoli dan atau pemusatan kegiatan terhadap BBM dengan tujuan dari pasal tersebut, yaitu kedaulatan, kesejahteraan, serta kemakmuran masyarakat, perlu dianalisis lebih jauh.
2. Kebijakan Eskalasi Harga BBM Di Indonesia Apakah Sudah Tepat?
Secara filosofis munculnya Pasal 51 UU №5/99 merupakan bentuk perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar yang mengharuskan negara menguasai sumber daya alam yang vital agar dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apabila ditinjau dari teori dasar utilitarianisme, maka monopoli dan pemusatan kegiatan yang dilakukan oleh BUMN, dalam hal ini Pertamina, semata-mata karena hal tersebut akan memberikan kebahagiaan bagi masyarakat banyak. Hal tersebut tentu akan menciptakan ketidakadilan bagi perusahaan swasta yang berusaha di bidang BBM. Oleh karena itu, kami melandaskan hal ini dengan teori utilitarianisme, yaitu ketidakadilan terhadap aspek persaingan usaha dapat ditoleransi selama masyarakat banyak, bisa sejahtera. Greatest good for greatest number.
Teori utilitarianisme, sejatinya menjadi dasar mengapa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar memperbolehkan adanya monopoli yang dilakukan oleh Pertamina terhadap Migas. Pasal 33 ayat (3) jelas menyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, melihat fakta sosiologis yang ada, justru saat ini monopoli pasar yang dilakukan oleh Pertamina tidak menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Seperti yang kita ketahui, kenaikan harga BBM yang signifikan sangat berdampak terhadap kenaikan harga bahan-bahan pokok, disamping itu situasi dan kondisi masyarakat Indonesia tengah memburuk pasca pandemi COVID-19. Tindakan yang dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan tersebut justru bertolak belakang dengan dasar falsafah dari Pasal 51 UU 5/99 itu sendiri. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa eskalasi harga BBM pada September 2022 adalah langkah pemerintah yang kurang tepat.
3. Solusi
Patut diperhatikan bahwa naiknya harga BBM justru terjadi saat harga minyak dunia jatuh sampai lebih dari 5% yang diakibatkan oleh menguatnya mata uang USD. Selain itu pemicu penolakan masyarakat terhadap kenaikan BBM juga karena sikap pemerintah yang justru mengalihkan subsidi BBM menjadi penambahan bantalan sosial sebesar Rp24,17 triliun. Bantalan sosial yang akan diterima langsung oleh masyarakat tidak mampu disalurkan dalam bentuk BLT (Bantuan Langsung Tunai). Pemberian BLT memang memberikan manfaat untuk kalangan masyarakat tertentu, akan tetapi dampak akibat kenaikan harga BBM dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan. Ketika harga BBM naik, harga kebutuhan dasar pun juga mengalami kenaikan. Belum lagi potensi ketidaktepatan pemberian BLT yang kerap salah sasaran akan menjadikan bantalan sosial tersebut menjadi sia-sia. Pun dinyatakan oleh Anggota Komisi VII DPR RI, Nurhasan ZaidI, bahwa kenaikan harga BBM dapat memicu tingginya kenaikan inflasi dan angka kemiskinan di Indonesia.
Hal di atas pasti melahirkan sebuah dilema bagi pemerintah dalam menentukan pilihan kebijakan, antara ‘mengalihkan subsidi BBM, tetapi berpotensi memicu inflasi,’ atau ‘subsidi BBM tetap dilanjutkan, tetapi menambah beban anggaran negara.’ Berdasarkan analisis di atas, penulis paham bahwa harga BBM harus berkaca pada harga minyak dunia yang fluktuatif, penulis juga mengerti bahwa pengurangan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah sejalan dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999–2004 yang mengamanatkan pemerintah untuk menyehatkan APBN dengan mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran. Terlebih lagi ada potensi resesi ekonomi global yang diprediksi oleh para ekonom akan terjadi pada tahun 2023/2024. Oleh karenanya, penulis setuju terhadap langkah pemerintah untuk mengadakan penghapusan subsidi yang dilakukan secara bertahap untuk meringankan beban negara.
Namun, menurut penulis, kebijakan kenaikan harga BBM saat ini tidak tepat karena terjadi ketidakselarasan antara kegiatan monopoli serta tujuan dari diberikannya hak monopoli tersebut kepada pemerintah. Kondisi masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan dampak negatif perekonomian akibat pandemi Covid-19 sehingga masih berada dalam fase pemulihan, maka akan berakibat sangat fatal apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan 30% bahkan pencabutan subsidi BBM. Secara umum, kenaikan harga BBM akan memiliki imbas yang besar bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan harga BBM di Indonesia akan berdampak pada daya beli masyarakat yang semakin menurun. Kondisi ini tentu sangat menyusahkan masyarakat yang berdaya beli rendah. Lebih parah, hal tersebut dapat menciptakan situasi keos di masyarakat.
Besarnya kenaikan harga BBM dapat mempengaruhi besarnya kenaikan inflasi di Indonesia, mengingat peran BBM yang begitu vital. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang sebisa mungkin win win solution dengan masyarakat. Penghapus/pengurangan subsidi BBM harus dilaksanakan secara bertahap dan juga harus memperhatikan kondisi masyarakat. Selain itu, yang paling penting adalah kenaikan harga BBM harus dibarengi dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan tafsir Pasal 33 ayat (3). Kenaikan harga BBM yang besar dan terjadi dalam waktu singkat merupakan langkah yang sembrono. Selain itu, perlu dilakukan perhitungan yang cermat oleh pemerintah mengenai perbandingan cost dan benefit dari menaikkan harga BBM di kala harga minyak sedang anjlok karena sejatinya norma dikatakan baik apabila berisikan kebahagiaan yang dirasakan oleh masyarakat dominan.
Oleh
Kartika Eka Pertiwi*
*Penulis adalah Kepala Biro Kajian PLEADS Board ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis.
Daftar pustaka dapat dilihat dalam link berikut:
https://docs.google.com/document/d/1JXzv2owpM5OZ6nr5coMZmCEn_PZidYq1dmyTLbvbJXg/edit?usp=sharing