Izin Tambang untuk Perguruan Tinggi: Langkah Strategis atau Kontroversi Akademik?
A. Pendahuluan
Bagaimana jadinya jika perguruan tinggi dapat diberikan kewenangan untuk mengelola tambang? Gagasan yang sebelumnya mungkin tak terbayangkan bagi banyak orang ini berpotensi menjadi kenyataan dengan adanya perubahan keempat UU Minerba khususnya pada Pasal 51 A Ayat (1) yang mengatur bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Ide kontroversial ini muncul ketika DPR mengadakan rapat dadakan untuk merevisi RUU Minerba yang bahkan tidak termasuk dalam prolegnas (program legislasi nasional) RUU Prioritas. Ketua Baleg DPR Bob Hasan berpendapat bahwa WIUP kepada perguruan tinggi dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Nampaknya ada suatu anggapan bahwa solusi agar perguruan tinggi memiliki dana memadai yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan memanfaatkan tambang sebagai sumber penghasilan. Meskipun dibalut dengan motivasi yang terkesan positif, RUU Minerba tidak boleh diterima begitu saja tanpa dikritisi sama sekali.
Sejauh ini terdapat sejumlah pakar hukum yang memegang posisi kontra terhadap konsesi tambang untuk perguruan tinggi yang diantaranya Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti yang meragukan apakah usulan dalam RUU tersebut sejalan dengan UUD. Beliau juga mempertanyakan apakah kebijakan tersebut sejalan dengan marwah perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang pada dasarnya memiliki otonomi yang difungsikan dalam tiga hal yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Menariknya, kita juga dapat melihat adanya pakar hukum tambang sekaligus dosen Universitas Borobudur Jakarta yakni Dr. Ahmad Redi yang mengemukakan 3 argumentasi mengapa pemberian izin tambang dalam RUU Minerba adalah keputusan yang tepat. Dasar argumen yang disampaikan antara lain terdapat:
- Perguruan tinggi sebagai entitas yang berorientasi pada kepentingan publik mempunyai legitimasi untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945
- Perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan iptek dan dengan demikian kehadiran perguruan tinggi dalam sektor pertambangan dapat menjadi jembatan antara teori akademis dan praktik lapangan.
- Sektor pertambangan saat ini didominasi oleh entitas non-state yang bersifat kapitalistik. Kondisi ini dinilai menguntungkan segelintir orang dan belum sepenuhnya merealisasikan prinsip kemakmuran rakyat
B. Pembahasan
Pada hari Kamis 6 Februari 2025, DPR telah menerima Surat Presiden (Surat Presiden) mengenai RUU Minerba. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan bahwa DPR akan membahas RUU dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri ESDM, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Hukum. Sayangnya, terdapat sejumlah masalah yang ada di dalam proses perancangan RUU. Selain kebijakan yang kontroversial, upaya untuk merancang RUU Minerba pada saat seperti ini perlu dipertanyakan sebab terdapat urgensi apa sehingga DPR merancang RUU ini yang bahkan tidak menjadi bagian dari prolegnas RUU prioritas?
Permasalahan lainnya dalam proses perancangan RUU ini adalah belum adanya naskah akademik terkait RUU Minerba ini. Dalam pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena tidak adanya hasil penelitian atau pengkajian hukum terhadap masalah yang diatur dalam RUU. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-X/2012 terdapat pendapat mahkamah yang berbunyi: “Berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 naskah akademik memang diharuskan dalam pembentukan undang-undang tetapi ketiadaannya tidak menyebabkan batalnya suatu undang-undang sejauh prosedur-prosedur lainnya telah dipenuhi”. Meskipun demikian, hal ini berpotensi untuk menimbulkan produk undang-undang yang tidak didukung oleh argumentasi intelektual dan pilihan ilmiah. Kami sendiri merasa bahwa pendapat mahkamah tersebut dapat berpotensi buruk tidak hanya kepada RUU Minerba saja namun juga pada RUU lainnya. Sehingga cukup disayangkan jika naskah akademik seperti tidak dijadikan sebagai suatu acuan penting karena adanya hal semacam itu.
Seandainya pemberian izin usaha tambang kepada perguruan tinggi diberlakukan, lantas apakah kebijakan tersebut dapat memenuhi cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUD? Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika implementasi dari pasal tersebut adalah dengan memberikan izin usaha tambang kepada perguruan tinggi, maka hal lainnya yang perlu dipertanyakan adalah apakah perguruan tinggi mempunyai kompetensi untuk menjalankan usaha tambang? Meskipun perguruan tinggi merupakan tempatnya para pakar berkumpul namun hal ini tidak membuat perguruan tinggi secara keseluruhan kompeten dalam menjalankan suatu bisnis SDA. Kompetensi yang dikhawatirkan ini tidak hanya sekadar hubungan antara usaha tambang dan perguruan tinggi saja melainkan dampaknya juga bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup disekitar pertambangan. Hal ini berkaitan dengan Pasal 28H (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak atas lingkungan kemudian dipertegas dalam Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu:
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kedua undang-undang tersebut harus dijadikan pertimbangan untuk menentukan apakah kebijakan izin usaha tambang kepada perguruan tinggi adalah hal yang tepat. Kompetensi perguruan tinggi untuk mengelola usaha tambang layak untuk diragukan, namun untuk menjamin tidak adanya kerusakan lingkungan dan dampaknya bagi masyarakat dalam menjalankan usaha tambang adalah tantangan yang lebih berat. Meskipun demikian, upaya untuk memastikan pengelolaan tambang menjadi lebih ramah lingkungan haruslah dilakukan. Akan lebih baik jika perguruan tinggi fokus untuk mengupayakan pengelolaan tambang yang lebih ramah lingkungan melalui para pakar yang mereka produksikan dibanding menjadi pengelola usaha tambang.
Jika masalah utama yang dikhawatirkan adalah kurangnya pendanaan pendidikan maka konsesi tambang bukanlah solusi melainkan seperti suatu pelepasan tanggung jawab negara. Bila negara ingin meningkatkan kualitas pendidikan melalui pemenuhan pendanaan, akan jauh lebih baik jika negara menambahkan anggaran untuk sektor pendidikan dalam jumlah yang jauh lebih besar melalui mekanisme APBN dan APBD seperti negara-negara dengan sektor pendidikan yang maju seperti Finlandia, Jerman dan sebagainya. Sementara untuk pengelolaan tambang untuk pemanfaatan SDA, Kami menyarankan agar pengelolaan SDA dari tambang diserahkan kepada pihak badan usaha yang paling kompeten dengan mekanisme lelang. Royalti di-dialokasikan secara budgeter untuk pendanaan PT melalui pembentukan Resource for Knowledge (R4K) Fund, sebuah mekanisme yang mempunyai landasan teoritis dan empiris yang lebih efektif. Hal semacam ini dipraktekkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat khususnya di Alaska melalui program Alaska Higher Education Investment Fund yakni suatu program beasiswa untuk perguruan tinggi yang dananya diambil dari pendapatan penambangan minyak bumi atau Qatar National Research Fund (QNRF) yakni program untuk membiayai sektor pendidikan, penelitian dan inovasi yang dibiayai oleh pendapatan dari hasil minyak bumi dan gas negara. Apabila negara menjalankan hal serupa, tentunya hal tersebut bukan saja sekadar mengikuti global practices tetapi juga guna menjalankan amanat UUD.
C. Penutup
Motif untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah hal yang patut diapresiasi. Akan tetapi, kebijakan untuk memberikan izin usaha tambang kepada perguruan tinggi bukanlah langkah yang tepat. Jika negara ingin menjalankan amanat UUD dengan memanfaatkan SDA untuk kesejahteraan rakyat yang dalam hal ini terkhususnya masyarakat yang di dalam perguruan tinggi, maka sebaiknya negara menyediakan solusi lain. Kami sangat menyayangkan upaya DPR yang justru menghasilkan ide yang sangat kontroversial untuk dijalankan oleh sektor akademik melalui RUU yang bahkan bukan menjadi prioritas dalam prolegnas. Kami sangat berharap agar setiap orang yang dipercayakan untuk mengambil jabatan penting dalam menentukan keberlangsungan negara dapat mengupayakan kontribusi yang lebih baik lagi untuk seluruh rakyat Indonesia.
Penulis:
Sodipta Sinamo*
*Penulis adalah Head of Columnist Division PLEADS Board ke-14. Pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, sehingga setiap kesalahan kembali pada diri penulis.