Kedaulatan Israel-Palestina: Konflik Tak Berkesudahan dan Berbagai Hambatan Terwujudnya Perdamaian

PLEADS FH Unpad
20 min readMay 30, 2022

--

  1. Mengapa Konflik Israel-Palestina Bisa Terjadi?

Wilayah Palestina merupakan suatu wilayah yang sangat strategis di Timur Tengah yang luasnya hanya sekitar 27.000 km persegi. Letaknya yang berada di antara Laut Tengah (Mediterania) dan Laut Merah membuat Palestina terhubung dengan samudera Atlantik dan samudra Hindia, yang menjadikan letak geografis Palestina menjadi sangat strategis, khususnya bagi negara-negara Arab karena Palestina menjadi penghubung bagi banyak negara Arab. Berbicara tentang wilayah Palestina atau Israel maka tak luput dari satu kota yang bernama Yerusalem. Yerusalem dikenal juga sebagai al-Quds atau Baitul Maqdis, adalah The Holy Sanctuary yang merupakan kota tua penuh dengan cerita sejarah dari sejak zaman dahulu hingga kini yang melibatkan 3 agama samawi besar di dunia yaitu: Yahudi, Nasrani dan Islam. Bagi agama Islam, Yerusalem adalah tempat di mana Masjidil Aqsa (kiblat pertama agama Islam) berada, dan juga tempat Nabi Muhammad SAW melakukan Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Agama Nasrani meyakini bahwa di Yerusalem, khususnya di kawasan Masjidil Aqsa lah tempat Abraham mengurbankan anaknya Ishak. Sementara menurut orang-orang Yahudi meyakini bahwa Luh-luh Nabi Musa (kitab Taurat yang asli) yang dulu pernah hilang, berada tepat di bawah Dome of Rock (atau Kubah Sakhrakh, masjid berkubah emas di kawasan masjidil aqsa). Bahkan, orang-orang Yahudi meyakini bahwa Yerusalem adalah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka yang dinyatakan melalui Nabi Musa, sehingga mereka meyakini bahwa mereka punya hak penuh atas tanah Yerusalem tersebut. Sementara bangsa Arab Palestina meyakini bahwa mereka adalah penduduk asli dari tanah ini sebelum Bani Israil (orang Yahudi) datang ke tanah ini. Hal inilah yang menjadi dasar terjadinya pergolakan antara bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi Israel hingga sekarang.

Problematika Palestina merupakan sengketa akibat pendudukan yang dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina. Masalah ini bermunculan dari gerakan Zionisme yang dipelopori oleh Theodor Herzl pada tahun 1895. Zionisme sendiri merupakan sebuah paham dan gerakan yang menginginkan agar terciptanya Negara khusus bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina (Hebrew: Eretz Yisraʾel, “the Land of Israel”). Realisasi dari tujuan Zionis tersebut diawali dengan adanya Kongres Yahudi sedunia tahun 1897 yang dipimpin oleh Theodore Herzl di Basel, Swiss. Dalam Kongres tersebut, Theodore Herzl mengumumkan bahwa Palestina akan dijadikan sebagai calon tanah air bangsa Yahudi. Palestina dipilih oleh Kaum Zionis karena diyakini bahwa tanah tersebut merupakan sebuah wilayah yang dijanjikan untuk bangsa Yahudi (Muhammad Safwat As-Saqa Amini dan Sa’di Abu Habib,1982:102)

Persoalan Palestina mencuat menjadi isu internasional sejak berakhirnya Perang Dunia Pertama sebagai akibat runtuhnya Ottoman Empire Turkey. Palestina akhirnya berada di antara negara-negara Arab eks Ottoman Turki yang berada di bawah administrasi Inggris. Di bawah kekuasaan Inggris juga lah pada tahun 1917 Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menyatakan bahwa Inggris memperbolehkan Yahudi untuk menjadikan wilayah Palestina sebagai “rumah” bagi bangsa Yahudi. Hal ini bisa terjadi karena sebelumnya ada Perjanjian Sykes-Picot yang membuat Palestina menjadi milik Inggris atas kekalahan Turki Utsmani. Sehingga membuat Palestina berada di bawah kekuasaan Pemerintah Inggris. Terbentuknya Deklarasi Balfour ini membuat kaum Yahudi, terkhusus Zionis merasa senang memiliki wilayah Palestina untuk dapat diduduki. Sementara bangsa Arab yang mendiami wilayah Palestina merasa tidak senang dengan adanya deklarasi tersebut.

Keadaan tersebut berlangsung hingga 1947, ketika mandat Inggris atas Palestina berakhir dan PBB mengambil alih kekuasaan. Resolusi DK PBB no. 181 (II) tanggal 29 November 1947 membagi Tanah Palestina menjadi tiga bagian (Israel, Palestina, dan wilayah Internasional). Hal ini mendapat protes keras dari penduduk Palestina, dan mengakibatkan terjadinya demonstrasi besar-besaran rakyat Palestina untuk menentang kebijakan PBB ini. Lain halnya yang dilakukan dengan bangsa Yahudi dengan suka cita mereka mengadakan perayaan atas kemenangan besar ini. Bantuan dari beberapa negara Arab dalam bentuk persenjataan perang mengalir ke Palestina. Pada 14 Mei 1948, sekelompok Yahudi memproklamasikan berdirinya Israel. Dengan proklamasi ini, cita-cita orang Yahudi yang tersebar di berbagai belahan dunia untuk mendirikan Negara sendiri tercapai. Mereka berhasil melaksanakan “amanat” yang disampaikan Theodore Herzl dalam tulisannya Der Judenstaat (Negara Yahudi) sejak 1896. Tapi yang menjadi permasalahannya adalah, apakah dengan dikeluarkannya resolusi PBB ini menjadikan permasalahan antara Israel-Palestina terselesaikan?

2. Hambatan Perdamaian Israel-Palestina

Meskipun sudah ada resolusi yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1948, tetapi hal itu belum mampu meredakan konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel. Malah saat ini konflik Israel-Palestina seakan semakin memburuk. Penyebab konflik Israel-Palestina yang semakin buruk dan tidak dapat diselesaikan adalah dikarenakan berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Pada segi internal, kondisi Palestina yang terjajah oleh Israel mengakibatkan lahirnya gerakan-gerakan perlawanan dari masyarakat Palestina yang memunculkan berbagai gerakan kelompok. Kelompok-kelompok yang lahir karena kondisi penjajahan di Palestina tersebut yaitu Fatah dan Hamas, walaupun sebelumnya sudah ada gerakan perjuangan untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang didominasi oleh Fatah. Namun, karena perbedaan ideologi antara PLO (yang didominasi oleh Fatah) dan Hamas mengakibatkan adanya ketidakpuasan kepada berbagai macam bentuk perjuangan yang sudah dilakukan sebelumnya.

Pada dasarnya, Hamas dan Fatah merupakan dua partai politik dominan Palestina yang memiliki tujuan yang sama yaitu membebaskan Palestina dari pendudukan Israel. Namun, terdapat perbedaan ideologi antara Hamas dan Fatah, Fatah dengan ideologi nasionalis sekuler, sedangkan Hamas dengan ideologi Islam garis keras. Perbedaan ideologi tersebut dianggap menjadi penyebab tidak adanya kerja sama antara keduanya untuk membebaskan Palestina dari pendudukan Israel. Hal ini pun berimbas pada sulitnya penyelesaian konflik Israel-Palestina karena di internal Palestinanya pun masih seringkali terjadi konflik.

Perbedaan cara dalam usaha untuk memerdekakan Palestina antara Hamas dengan Fatah adalah Hamas memilih bergerilya dengan mengangkat senjata. Sedangkan, Fatah yang bergabung dengan PLO lebih memilih jalur diplomasi dan meninggalkan perjuangan melalui kekuatan militer untuk mengusir Israel. Ideologi Hamas inilah yang seringkali digunakan sebagai alasan Israel untuk menyerang wilayah kekuasaan Palestina.

Konflik antara Hamas dan Israel seakan tidak berujung karena Hamas dan Israel sama-sama saling menyerang satu sama lain. Misalnya saja kasus di mana sekitar 40.000 orang berdemo di Jalur Gaza pada 14 Mei 2018, dan beberapa pendemo berusaha masuk ke wilayah Israel dan pasukan tentara Israel menembakkan senjata yang mengakibatkan 60 orang pendemo meninggal dunia dan sekitar 2.700 pendemo terluka. Lantas atas dasar tindakan pasukan Israel ini, Hamas mengirimkan roket ke wilayah Israel, dan langsung dibalas oleh Israel dengan hal yang serupa, bahkan lebih parah. Situasi ini bertahan hingga beberapa bulan dan berakhir dengan gencatan senjata dari kedua belah pihak pada November 2018. Hal ini pun tentunya menghambat terciptanya perdamaian antara Israel-Palestina.

Selain itu, politik internasional Amerika Serikat juga menjadi hambatan besar untuk terjadinya perdamaian antara Israel-Palestina. Hubungan Israel dengan Amerika sangat jelas keeratannya. Misalnya saja pada perjanjian Camp David antara Israel-Mesir, peran Amerika tak terlepaskan. Perjanjian Camp David merupakan perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 17 September 1978 dengan bantuan Amerika Serikat. Penandatangan perjanjian Camp David dilakukan oleh Anwar Sadat dengan tujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di Mesir. Faktor utama yang menjadi alasan krisis ekonomi Mesir adalah karena keikutsertaan Mesir di berbagai perang dengan Israel. Perjanjian damai dengan Israel dipilih oleh Anwar Sadat untuk mendapatkan kembali semenanjung sinai yang telah dikuasai oleh Israel pasca perang 6 hari (1967). Anwar Sadat berasumsi bahwa dengan kembalinya semenanjung Sinai maka hal tersebut akan dapat mengangkat perekonomian Mesir.

Mesir diwakili oleh Presiden Anwar Sadat, sedangkan Israel oleh Perdana Menteri Menachem Begin. Mereka berdiskusi bersama Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, yang bertindak sebagai mediator. Meski awalnya tidak menemui titik temu, tetapi akhirnya mereka bersepakat untuk menyusun kerangka perdamaian di Timur Tengah dengan agenda berupa: (1) pendirian otonomi Palestina di Tepi Barat dan Gaza, (2) perdamaian Mesir-Israel, (3) perdamaian antara Israel dengan negara Arab lainnya.

Amerika Serikat sebagai negara yang memfasilitasi perjanjian besar ini, melalui Presiden Amerika Serikat sendiri, Jimmy Carter, ia berkata, “Damai telah datang ke Israel dan Mesir, kita harus mendedikasikan kembali diri kita untuk tujuan perdamaian yang lebih luas dengan keadilan bagi semua yang telah hidup dalam keadaan konflik di Timur Tengah. Sekarang kita harus menunjukkan manfaat perdamaian dan memperluas manfaatnya untuk mencakup semua orang yang telah begitu menderita di Timur Tengah.” Namun, perjanjian damai dan harapan dari perkataan Jimmy Carter pun hancur dalam kurun waktu belum genap sebulan dikarenakan gejolak Timur Tengah yang memanas. Tentunya hal ini pun berdampak pada keleluasaan Israel untuk tetap mempertahankan kedudukannya di Palestina.

Dampak perjanjian Camp David juga dirasakan oleh dunia Arab, selepas perjanjian Camp David beberapa negara Arab yang mengalami masalah perekonomian sama seperti Mesir mulai bersikap netral terhadap Israel dan Amerika Serikat. Hal tersebut juga berdampak pada kesatuan sikap para anggota Liga Arab dalam hal penyelesaian masalah Palestina. Munculnya pemahaman bahwa berkonfrontasi dengan Israel untuk menyelesaikan masalah Palestina malah membuat kondisi dalam negeri sendiri hancur, maka hal itu menjadi pilihan rasional bagi beberapa negara Arab seperti Lebanon dan Suriah untuk bersikap netral terhadap Israel.

Kedekatan Amerika Serikat dengan Israel, juga bisa dilihat dari rutinnya Amerika Serikat memberikan dana bantuan kepada Israel. Menurut pemberitaan The New York Times, bisa dilihat dari rutinitas Amerika memberikan bantuan ke Israel sebesar USD 77 miliar sejak tahun 1967. Sejak Perang Oktober 1973, Washington sudah memberi bantuan langsung ekonomi dan militer kepada Israel sebesar USD 140 miliar. Sedangkan sejak 1976 sampai sekarang, setiap tahun Amerika Serikat memberi Israel bantuan langsung USD 3 miliar, seperenam dari dana bantuan luar negerinya.

Amerika Serikat yang menjadi salah satu dari anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki kekuatan yang besar untuk menyokong Israel melalui hak-hak yang diberikan PBB bagi negara-negara yang termasuk ke dalam anggota Dewan Keamanan PBB, yaitu hak veto. Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya (hak yang digunakan untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan, atau resolusi) sebanyak 53 kali sejak Tahun 1972, untuk menggagalkan resolusi-resolusi yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB. Misalnya saja seperti draf yang diveto oleh Amerika Serikat, yaitu draf Resolusi 24 (2011) yang isinya adalah sebagai berikut:

  1. Menegaskan kembali bahwa permukiman Israel yang didirikan di wilayah Palestina yang diduduki sejak tahun 1967, termasuk Yerusalem Timur adalah ilegal
  2. Meminta kembali agar Israel segera dan sepenuhnya menghentikan semua kegiatan pemukiman di wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur
  3. Meminta kedua belah pihak untuk bertindak atas dasar hukum internasional dan kesepakatan serta kewajiban sebelumnya
  4. Meminta semua pihak untuk melanjutkan negosiasi mengenai kedudukan status terakhir dalam proses perdamaian Timur Tengah
  5. Mendesak peningkatan upaya diplomatik internasional dan regional untuk mendukung dan memperkuat proses perdamaian menuju tercapainya perdamaian yang komprehensif, adil dan abadi di Timur Tengah

Penggunaan hak veto oleh Amerika Serikat sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan PBB inilah yang mengakibatkan banyaknya rancangan-rancangan resolusi yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam usaha untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina hanya berakhir sebagai draf saja. Dan tentunya sebuah draf tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan mengakibatkan rancangan tersebut tidak bisa dijalankan.

Amerika Serikat juga pada 26 Juli 2002 melaui John D. Negroponte, menyatakan bahwa Amerika menuntut agar Israel diperlakukan secara adil oleh Dewan Keamanan PBB atau jika tidak, maka Amerika Serikat akan selalu siap untuk menentang setiap resolusi Dewan Keamanan PBB yang dirasa tidak adil bagi Israel (yang selanjutnya dikenal dengan Doktrin Negroponte/Negroponte Doctrine). Terbukti dengan banyaknya veto yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terhadap resolusi PBB.

Dari peristiwa-peristiwa inilah, maka timbul pertanyaan apakah keleluasaan Israel untuk berbuat suatu tindakan (baik yang melanggar maupun tidak) yang berhubungan dengan Palestina, ini didasari atas dukungan penuh dari Amerika Serikat?

3. Kedaulatan Israel dan Palestina di Dunia Internasional

Setelah membahas latar belakang konflik dan hal-hal yang menjadi penghambat terjadinya perdamaian atau terciptanya sebuah solusi, mungkin timbul pertanyaan di benak kita tentang siapakah yang pantas menduduki tanah dan wilayah yang disengketakan antara Israel dan Palestina? Kemudian negara manakah yang berdaulat di mata Hukum Internasional?

Secara umum, ada dua teori yang berkaitan dengan pembentukan negara baru yang berdaulat, yaitu:

  1. Teori Konstitutif

Menurut teori ini suatu negara dianggap lahir sebagai sebuah negara baru ketika telah diakui oleh negara lain, dengan artian sebuah negara belum dianggap berdaulat sebelum adanya pengakuan dari negara lain. Dengan demikian pengakuan semacam itu memiliki kekuatan konstitutif. Pendukung utama teori ini adalah Prof. Lauterpacht yang menyatakan bahwa “a state is, and becomes, an international person through recognition only and exclusively”, kemudian ditegaskan pula bahwa “Statehood alone does not imply membership of the family of nations”, untuk menguatkan sifat hukum dari perbuatan pengakuan, ia juga menegaskan bahwa “recognition is a quasi judicial duty and not an act of arbitrary discretion or a political concession”.

Melansir dari History, lebih dari 135 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Artinya, sekitar 82 persen populasi dunia secara resmi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Selain itu, tercatat juga 163 dari 193 negara anggota PBB mengakui kedaulatan Israel sebagai sebuah negara dengan 30 diantaranya tidak mengakui Israel termasuk Indonesia. Berdasarkan teori ini, maka Israel dan Palestina keduanya termasuk kedalam negara yang berdaulat.

2. Teori Deklaratif

Dalam teori ini ditegaskan bahwa suatu Negara begitu lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional. Menurut teori ini, pengakuan hanya merupakan pernyataan atau pengesahan saja (to declare) dari negara yang memberikan pengakuan bahwa suatu negara baru tersebut telah ada dalam pergaulan masyarakat internasional dengan syarat sudah memenuhi kualifikasi internasional. Sehingga, negara baru tersebut sudah dapat menikmati hak-hak dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya menurut hukum internasional seperti negara-negara berdaulat lainnya. Adapun kualifikasi negara berdaulat yang termuat dalam pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 dimana ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah calon negara baru sehingga bisa dikatakan sebagai sebuah negara berdaulat, diantaranya :

  1. Adanya populasi yang tetap (permanent population)

Dalam kamus Oxford, population atau populasi didefinisikan sebagai penduduk yang menghuni suatu tempat atau daerah tertentu secara terus menerus tanpa berpindah ke tempat lain yang kemudian menjadi penduduk tetap di daerah baru tersebut. Namun begitu, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai berapa lama (periode minimum) orang-orang ini harus hidup di satu daerah sehingga mereka dikategorikan sebagai penduduk yang tetap atau permanen.

Berdasarkan kriteria ini, Palestina memenuhi kriteria karena jauh sebelum deklarasi negara Palestina dilakukan, di sana sudah ada manusia yang mendiami wilayah tersebut, bahkan semenjak penjajah Inggris masuk ke wilayah itu. Jika mengacu kepada deklarasi Palestina 15 November 1988, Palestina juga memenuhi unsur tersebut dimana berdasarkan data dari Population Pyramid bahwa pada tahun 1988 populasi penduduk Palestina mencapai 1,946,376 jiwa. Bahkan hingga pertengahan 2021, jumlah populasi Palestina di seluruh dunia mencapai 13.8 Juta jiwa dengan 5.23 juta diantaranya menetap di Palestina yang tersebar di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Selain itu, jika mengacu kepada deklarasi Israel pada 14 Mei 1948, Israel juga dikategorikan memenuhi syarat ini. Berdasarkan data dari Israel Central Bureau of Statistics tercatat populasi Israel sebanyak 806,000 pada tahun 1948. Bahkan pada tahun 1988 dimana Palestina mendeklarasikan kemerdekaanya, jumlah penduduk Israel tercatat sekitar 4,4 juta jiwa dan hingga sekarang penduduk Israel sudah mencapai sekitar 9,5 juta jiwa.

Hal ini membuktikan bahwa baik Palestina maupun Israel, keduanya sudah memenuhi syarat Konvensi Montevideo yang menyebutkan bahwa sebuah negara berdaulat harus memiliki populasi yang tetap. Meskipun, kita bisa melihat bahwa populasi penduduk Israel mengalami pertumbuhan yang pesat, dan Palestina juga mengalami kenaikan penduduk yang pesat pula, hanya saja banyak warga negaranya yang tersebar ke penjuru dunia.

2. Adanya wilayah yang jelas dan tetap (defined territory)

Pada dasarnya kedua negara sudah memiliki wilayah yang tetap dan jelas berdasarkan pembagian wilayah resolusi PBB №181 tahun 1947 yang membagi wilayah Palestina menjadi 3 bagian, yakni wilayah untuk bangsa Arab / Palestina seluas 12.000 Km² atau sekitar 44% yang terdiri dari daerah Jalil Barat, Hadhib Tengah, dan Ghaur Tengah, kemudian wilayah untuk orang-orang Yahudi dengan luas 14.000 Km² atau sekitar 53% yang terdiri dari daerah Jalil Timur, Marja’ Bu Amir, dan Al-Ghassan Al-Akbar, serta Kota Suci Yerusalem sebagai wilayah yang berada di bawah pengawasan PBB.

Dengan ini kita bisa melihat bahwa israel dan palestina sama-sama memiliki wilayah yang jelas dan tetap sehingga israel dan palestina memenuhi syarat dalam hal wilayah. Namun, seiring berjalannya waktu Israel sering melakukan pelanggaran HAM dan juga kejahatan perang berat terhadap Palestina dengan mencaplok wilayah Palestina secara perlahan. Hal ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya wilayah Palestina bahkan hingga tulisan ini dibuat wilayah Palestina hanya menyisakan Gaza dan Tepi Barat (West Bank).

3. Adanya pemerintah (government)

Di dalam Ensiklopedia Hukum Internasional Publik disebutkan bahwa “the government, in exercising its power, must be capable of acting independently of foreign governments.” Mari kita fokus pada frasa “independently” atau independen, yang berarti pemerintah berhak dan dapat berlaku independen tanpa adanya gangguan dari pemerintahan atau negara lain sehingga dapat memenuhi kriteria negara berdaulat. Dalam hal ini israel dan palestina sama-sama memiliki pemerintahan. Israel memiliki pemerintahan ditandai dengan terpilihnya Weizmann sebagai presiden pertama Israel pada deklarasi kemerdekaan Israel 1948. Selain itu, Palestina juga telah memenuhi syarat ini ditandai dengan terpilihnya Yasser Arafat sebagai presiden pertama Palestina pada Deklarasi Kemerdekaan Palestina 15 November 1988 dan adanya keberadaan partai politik seperti Fatah dan Hamas.

4. Adanya kapasitas negara untuk melakukan tindakan atau hubungan hukum dengan negara lain.

Di dalam kancah internasional sendiri pada 29 November 2012 status Palestina di PBB mengalami perubahan menjadi non-member observer state alias negara peninjau. Status tersebut memang bukan berarti Palestina lantas menjadi anggota penuh PBB, tetapi setidaknya adanya status ini menjadi sinyal bahwa PBB mengakui Palestina sebagai negara. Selain itu, pada tanggal 2 Januari 2015, Palestina mendepositkan instrumen aksesi ke Statuta Roma dengan menetapkan langkah untuk potensi besar menjadi investigasi paling menantang hingga saat ini untuk International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional. Keanggotaan Palestina di ICC telah lama dipandang sebagai nuclear choice bagi Palestina karena hal itu dapat mengarah pada penuntutan para pemimpin Israel dan Palestina atas kejahatan dan kekejaman. Namun, Israel bukanlah anggota pengadilan dan dengan demikian telah jauh menyuarakan keberatan yang kuat terhadap penyelidikan ICC yang mungkin melibatkan kejahatan yang dilakukan oleh warga negara Israel. Kemudian pengadilan menerima aplikasi keanggotaan Palestina tidak lama setelah pengajuannya dimana pada 1 April 2015 Palestina secara resmi menjadi negara pihak ke-123 Statuta Roma. Sebelumnya, pada Januari lalu, jaksa di ICC mulai melakukan langkah penyidikan pertama karena bersama dengan permohonan keanggotaannya, Palestina juga mengajukan deklarasi yang memberikan yurisdiksi ICC atas kejahatan yang dilakukan di wilayah Palestina mulai 13 Juni 2014. Berdasarkan deklarasi ini, kepala jaksa pengadilan membuka pemeriksaan pendahuluan terhadap situasi di Palestina pada 16 Januari 2015. Keberadaan Palestina sebagai anggota ICC memperkuat status Palestina sebagai sebuah negara, karena salah syarat utama keanggotaan ICC adalah sebuah negara. Dengan demikian jika Palestina sudah menjadi anggota ICC menandakan secara tidak langsung Mahkamah Pidana Internasional mengakui keberadaan Palestina sebagai sebuah negara.

Melansir dari website Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Indonesia sudah menjalin kerjasama dan juga hubungan diplomatik dengan Palestina sejak 19 Oktober 1989 yang masih terjalin dengan baik hingga sekarang. Bahkan, Indonesia dengan Palestina juga telah melakukan hubungan perdagangan bilateral dimana Indonesia mengekspor berbagai kebutuhan mulai dari tekstil dan garmen, alas kaki, produk kayu, produk mineral, kertas, makanan dan minuman, plastik, karet, hingga furniture. Selain itu, Indonesia juga mengimpor beberapa kebutuhan seperti sayur, buah-buahan, dan textil. Tercatat hubungan ini menghasilkan volume perdagangan sebesar lebih dari US$ 3,6 juta pada tahun 2015. Berbagai diplomasi yang dilakukan Palestine memperlihatkan bahwa Palestina telah memenuhi syarat keempat negara berdaulat menurut Montevideo.

Selain Palestina, Israel juga telah melakukan berbagai upaya diplomasi sejak 1948 hingga sekarang. Israel menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai negara mulai dari Amerika Serikat, Eropa, hingga negara di timur tengah. Berbagai perjanjian seperti Hubungan Israel dengan Yordania yang merujuk kepada hubungan diplomatik, ekonomi dan budaya antara Israel dan Yordania hingga terakhir kali yaitunya pada Mei 2022 Israel menandatangani perjanjian pertahanan dengan Bahrain yang merupakan kesepakatan pertama dengan negara Teluk sejak menjalin hubungan diplomatik dengan Manama dan Abu Dhabi lebih dari setahun yang lalu. Berbagai diplomasi yang telah digencarkan oleh Israel memperlihatkan kepada kita bahwa Israel juga telah memenuhi syarat keempat negara berdaulat menurut Konvensi Montevideo.

4. Solusi Yang Bisa Ditawarkan

Mengingat baik Israel maupun Palestina keduanya adalah negara yang berdaulat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi mengapa masih sering ditemukannya konflik yang terjadi antara kedua negara ini? Adakah solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan Palestina? Jawabannya, ada.

Dalam latar sejarah, kajian ilmiah hubungan internasional, maupun diplomasi internasional, ada empat solusi konflik Israel-Palestina yang sering menjadi pembahasan, yaitu:

  1. Two-State Solution: ‘Palestine and Israel’

Two-state solution, atau dalam bahasa Indonesia berarti solusi dua negara adalah sebuah solusi atau pemikiran untuk mengatasi konflik antara Israel-Palestina dengan mendirikan dan membagi wilayah yang disengketakan menjadi dua wilayah untuk dua kaum: Negara Israel untuk kaum Yahudi, dan Negara Palestina untuk kaum Palestina.

Pada tahun 1993, Pemerintah Israel dan Palestine Liberation Organisation (PLO) menyetujui rencana untuk mengimplementasikan solusi dua negara sebagai bagian dari Perjanjian Oslo. Namun perjanjian yang menghadirkan adanya solusi dua negara tersebut belum bisa menangani permasalahan-permasalahan antara Israel dan Palestina, dan konflik pun masih berlangsung hingga sekarang.

Ada penelitian yang mengatakan bahwa saat ini baik kaum Yahudi Israel maupun kaum Palestina, mereka sama-sama tidak menginginkan adanya solusi dua negara. Penelitian ini juga mengatakan bahwa saat ini hampir tidak mungkin untuk mendiskusikan/menyarankan solusi dua negara ini.

Hal ini juga dibuktikan dengan sering terjadinya perselisihan antara pihak tentara Israel dengan masyarakat Palestina. Misalnya saja pada kasus pemakaman Shireen Abu Akleh, seorang jurnalis Aljazeera yang ditembak oleh tentara Israel ketika sedang meliput di West Bank. Bahkan saat masyarakat Palestina sedang menggotong peti jenazah sang jurnalis untuk dimakamkan, tidak tahu siapa yang memulai, tetapi saat keadaan yang seharusnya kondusif dan sakral malah berakhir dengan kericuhan antara tentara Israel dengan beberapa masyarakat Palestina. Tentunya peristiwa semacam ini berimbas pada kepercayaan kedua belah pihak, khususnya bagi masyarakat Palestina yang hingga tulisan ini dibuat pun masih dibayang-bayangi oleh Israel.

Selama lebih dari tiga dekade juga, baik pemimpin Israel maupun Palestina tidak pernah sepenuhnya menyatukan konstituen mereka di belakang konsep solusi dua negara. Tidak ada pihak yang pernah mengambil langkah untuk menjadikan konstituennya sebagai bagian dari proses; tidak ada yang mendidik masyarakatnya tentang apa yang apa sebenarnya solusi dua negara. Akibatnya, baik bangsa Palestina maupun bangsa Yahudi Israel tidak memiliki gagasan yang cukup tentang apa itu solusi dua negara.

Maka dari itu, banyak pihak berpendapat bahwa solusi membagi wilayah yang disengketakan (The Holy Land/Baitul Maqdis) menjadi dua wilayah kekuasaan (Palestina dan Israel) dirasa kurang tepat karena terbukti bahwa dengan membagi wilayah menjadi dua daerah kekuasaan tidak menyelesaikan permasalahan (Resolusi DK PBB no. 181 (II) tanggal 29 November 1947 dan Perjanjian Oslo 1993).

2. One-State Solution: ‘Israel’

One-state solution atau solusi satu negara adalah sebuah solusi atau pemikiran untuk mengatasi konflik antara Israel-Palestina dengan cara menjadikan The Holy Land atau Baitul Maqdis menjadi satu daerah kekuasaan saja, yang dipegang oleh satu negara saja. Dengan kata lain, solusi satu negara akan menggabungkan Israel, West Bank, dan Gaza ke dalam satu negara besar.

Secara tidak langsung, one-state solution akan menghasilkan dua pilihan, yaitu negara Israel saja atau negara Palestina saja. One-State Solution: ‘Israel’ berarti menjadikan wilayah Israel, West Bank, dan Gaza menjadi satu kesatuan dari negara Israel saja.

3. One-State Solution: ‘Palestine’

Sama seperti One-State Solution: ‘Israel’, bedanya wilayah Israel, West Bank, dan Gaza menjadi satu kesatuan wilayah Palestina saja. Solusi inilah yang banyak didukung oleh mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pernah berkata “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”

Dukungan Indonesia sebagai negara terhadap Palestina pun dibuktikan dengan Indonesia tidak atau belum mengakui Israel sebagai negara. Bagi Indonesia saat ini, yang ada hanya negara Palestina saja.

4. One-State Solution: ‘Neither Israel Nor Palestine’

One-State Solution: ‘Neither Israel Nor Palestine’ atau dalam bahasa Indonesia adalah solusi satu negara: bukan Israel, bukan Palestina adalah solusi yang diusung oleh mereka yang yakin bahwa selama unsur-unsur zionisme dan pejuang kemerdekaan Palestina masih ada dan mendominasi, perdamaian tidak akan pernah hadir.

Solusi ini hampir tidak mungkin terealisasi karena dianggap sangat lemah mengingat panjangnya sejarah The Holy Land atau Baitul Maqdis, baik bagi bangsa Israel maupun bagi bangsa Palestina.

5. Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara Israel-Palestina tidak semata hanya konflik yang didasari oleh kepercayaan/agama saja, tetapi lebih dari itu. Konflik Israel-Palestina melibatkan banyak segi, dimulai dari segi sejarah, keyakinan, hingga politik kepentingan. Maka tentulah sangat sulit kiranya untuk menyelesaikan perselisihan yang sudah berjalan selama 74 tahun, yang ditandai dengan resminya negara Israel berdiri pada tahun 1948. Pun juga konflik Israel-Palestina bukan hanya masalah agama Islam dengan Yahudi saja karena pada kenyataannya ada penganut agama Yahudi yang merupakan warga negara Palestina, sebaliknya juga ada penganut agama Islam yang merupakan warga negara Israel. Karena seringkali permasalahan yang muncul antara Israel-Palestina bukanlah karena agama Yahudi, namun paham Zionismelah yang seringkali menimbulkan masalah hingga saat ini dimana pada dasarnya paham Zionisme bukanlah murni paham agama tetapi paham politik yang memperalat agama.

Lamanya penyelesaian konflik Israel-Palestina pun dipengaruhi oleh konflik internal dari Negara Palestina sendiri. Dari penjelasan sebelumnya kita mengetahui bahwa Palestina memiliki dua partai besar, yaitu Fatah dan Hamas. Bukannya bersatu untuk mewujudkan kebebasan Palestina dan menyegerakan perdamaian, tetapi yang terjadi adalah kedua partai tersebut malah berselisih paham akibat pandangan yang berbeda. Hal ini mengakibatkan Palestina tidak hanya mengalami konflik eksternal/dari pihak luar (Israel contohnya), tetapi juga diperburuk dengan konflik internal dari negaranya sendiri.

Tidak berujungnya konflik Israel-Palestina pun juga dipengaruhi oleh negara-negara lain yang seakan mendiamkan bahkan terlihat jelas mendukung salah satu pihak, misalnya saja Amerika Serikat yang terlihat mendukung penuh apapun tindakan Israel di wilayah Palestina. Melalui hak vetonya, Amerika Serikat sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan PBB seringkali memveto resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang bertujuan untuk menyelesaikan, atau setidaknya mengurangi permasalahan yang terjadi antara Israel-Palestina.

Meskipun demikian, konflik yang berkepanjangan tidak menjadi hambatan bagi kedua negara untuk mendapatkan kedaulatan dan mendeklarasikan kemerdekaan. Berdasarkan analisis yang telah penulis uraikan sebelumnya, kita bisa meyakini bahwa Israel dan Palestina sama-sama telah memenuhi syarat negara berdaulat berdasarkan teori konstitutif dan juga teori deklaratif. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan negara-negara di dunia terhadap keberadaan kedua negara tersebut baik Israel maupun Palestina. Selain itu, kedua negara juga telah memenuhi keempat syarat negara berdaulat menurut Konvensi Montevideo. Oleh karena itu, penulis menilai kedaulatan Israel dan Palestina dapat diakui sebagai negara berdaulat dalam hukum internasional.

Namun, konflik yang memakan banyak korban dan menimbulkan kejahatan HAM di era modern ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Sehingga berbagai macam solusi dari konflik antara Palestina dan Israel pun muncul, mulai dari Two-State Solution: ‘Palestine and Israel’, One-State Solution: ‘Israel’, One-State Solution: ‘Palestine’, hingga One-State Solution: ‘Neither Israel Nor Palestine’. Keempat solusi ini memilki ‘pendukung’nya masing-masing, dan baik Palestina maupun Israel pun memiliki ‘pendukung’nya masing-masing pula. Yang menjadi pertanyaannya adalah, solusi mana yang akan menjadi solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan antara Palestina dan Israel? Mungkin jawaban pertanyaan ini akan berbeda-beda tergantung kepada siapa kita bertanya. Tetapi yang pasti, apapun jawaban kita atas pertanyaan tersebut, seyogyanya kita mengingat betul bahwa kemanusiaan selalu lebih tinggi dibanding kepentingan-kepentingan politis.

Oleh

Nurhidayah Muhcti*

Rahma Shinta Azzahra*

*Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS FH Unpad ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Fattah El-Awaisi, “Buku Emas Baitul Maqdis”, ISA Institut Al-Aqsa, Karanganyar, 2021.

Arrahmah News, “Bahrain-Israel Tandatangani Perjanjian Pertahanan”, Bahrain-Israel Tandatangani Perjanjian Pertahanan (arrahmahnews.com), diakses pada 29 Mei 2022.

Arum Sutrisni Putri, “Mengapa Palestina tidak diakui sebagai negara?”, Kompas.com, Mengapa Palestina Tidak Diakui Sebagai Negara? (kompas.com), diakses pada 25 Mei 2022.

Badra, J.P., “Hamas dan Fatah: Tekanan Ideologi dalam Membebaskan Palestina”, Ampera: A Research Journal on Politics and Islamic Civilization, Vol. 1 №2, (April 2020),

Bayu Sujadmiko, “Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional(Studi terhadap kemerdekaan Kosovo)”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 6, Nomor 1, (Januari-April 2012)

Creede Newton, “A history of the US blocking UN resolutions against Israel”, Aljazeera, https://www.aljazeera.com/news/2021/5/19/a-history-of-the-us-blocking-un-resolutions-against-israel, diakses 23 Mei 2022.

Diyanto, R., “PROBLEMATIKA PALESTINA DAN UPAYA PENYELESAIANNYA (Pasca-Perang Dunia I)”, Hadharah, (2019).

Hasyim, M. S., “PERKEMBANGAN ZIONISME DAN BERDIRINYA NEGARA ISRAEL”, AL ASAS, Volume 2, Nomor 1, (2019), 40–58.

Høgestøl, S. A., “Palestinian Membership of the ICC: A Preliminary Analysis”, Nordic Journal of Human Rights, Volume 33, Issuee 3, (2015), 193–202.

Jewish Virtual Library, “Vital Statistics: Population of Israel (1948 — Present)”, Population of Israel (1948-Present) (jewishvirtuallibrary.org)

Justin S. Gruenberg, “An Analysis of United Nations Security Council Resolutions: Are All Countries Treated Equally?”, Case Western Reserve Journal of International Law, Volume 41 Issue 2, (2009)

Kavitha Giridhar, “Legal Status of Palestine”, Drake Undergraduate Social Science Journal, (April 2006)

Kementerian Luar Negeri Indonesia, “Sekilas Palestina”, https://kemlu.go.id/amman/id/pages/sekilas_palestine/2412/etc-menu, diakses pada 25 Mei 2022.

Lusiana Mustinda, “Daftar 30 Negara yang Tidak Mengakui Israel, Salah Satunya Indonesia”, detik.com, Daftar 30 Negara yang Tidak Mengakui Israel, Salah Satunya Indonesia (detik.com), diakses pada 26 Mei 2022.

Misbahul Ulum, “Perjanjian Camp David dan Dampaknya Terhadap Hubungan Mesir dengan Negara-Negara Arab pada Masa Pemerintahan Anwar Sadat Tahun 1970–1981”, Skripsi, Universitas Jember, Jember, 2019.

Muhammad Fakhriansyah, “26 Maret 1979 Perjanjian Camp David dan Pergolakan Timur Tengah Tak Kunjung Reda”, Tirto.id, https://tirto.id/gbvp, diakses pada 17 Mei 2022

Nurjannah, E. P., & Fakhruddin, M., “Deklarasi Balfour: Awal Mula Konflik Israel Palestina”, PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, Volume 1, Nomor 1, (2019), 15–26.

Padraig O’Malley, “Israel and Palestine: The Demise of the Two-State Solution”, New England Journal of Public Policy, Volume 29, Issue 1, (Maret 2017), 3–4.

Population Pyramids of the World from 1950 to 2100, “Population of State of Palestine 1988”, Population of State of Palestine 1988 — PopulationPyramid.net

Tempo.co, “PBB: Status Palestina Adalah Negara Peninjau”, Tempo.co, PBB: Status Palestina Adalah Negara Peninjau — Dunia Tempo.co, diakses pada 27 Mei 2022.

Teuku Zulman, S. B., “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN HAK VETO AMERIKA SERIKAT SEBAGAI ANGGOTA TETAP DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (Studi Kasus Konflik Israel Palestina)”, JIM Bidang Hukum Kenegaraan, Vol. 2 №3, (Agustus 2018)

The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Hamas-Conflict with Israel”, Britannica, Hamas — Conflict with Israel | Britannica, diakses pada 19 Mei 2022.

The Editors of Encyclopaedia Britannica, “two-state solution, Israeli-Palestinian history” https://www.britannica.com/topic/two-state-solution, diakses 27 Mei 2022.

The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Zionism nationalistic movement”, Britannica, Zionism | Definition, History, Examples, & Facts | Britannica, diakses 19 Mei 2022.

Thoriq, “Statistik: Jumlah Populasi Palestina di Seluruh Dunia Mencapai 13.8 Juta Jiwa”, Nusantara Palestina Center, Statistik: Jumlah Populasi Palestina di Seluruh Dunia Mencapai 13.8 Juta Jiwa — Nusantara Palestina Center (npc.or.id), diakses pada 25 Mei 2022.

Yuliantiningsih, A. (2009). Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter Internasional. Jurnal Dinamika Hukum, 9(2), 135–144

Yusuf, N. F., “THE STRATEGI ZIONIS POLITIK DALAM MEREBUT PALESTINA DARI KERAJAAN UTSMANI TAHUN 1896–1948”, Historia, Volume 3, Nomor 1, (2020), 303–324.

Zack Beauchamp, “What are the “two-state solution” and the “one-state solution”?”, Vox, Israel-Palestine: the “two-state solution” and the “one-state solution” — Vox, diakses pada 29 Mei 2022.

--

--

PLEADS FH Unpad
PLEADS FH Unpad

Written by PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.

No responses yet