Kisruh Rusuh Metode Penerapan Full Call Auction Bursa Saham Indonesia: Bagaimana Dengan Saham Syariah?

PLEADS FH Unpad
6 min readMay 30, 2024

--

Photo by Hans Eiskonen on Unsplash

Awal Mula Prahara Full Call Auction

Polemik kebijakan Full Call Auction (FCA) yang bergulir sejak akhir Maret 2024 di Bursa Efek Indonesia (BEI) menimbulkan kontroversi di kalangan investor. Aturan ini diterapkan pada saham-saham yang masuk dalam Papan Pemantauan Khusus (PPK) dan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap investor dengan mengurangi volatilitas harga pasar. FCA sendiri merupakan suatu metode mekanisme perdagangan di mana investor akan melakukan order beli/jual di harga bid/ask tertentu yang akan dikumpulkan dan diperjumpakan (match) pada selang waktu tertentu, harga match-nya ditentukan berdasarkan volume match terbesar. Mekanisme ini juga sudah digunakan pada sesi pra pembukaan dan pra penutupan pasar. Metode FCA sendiri merupakan pengembangan dari lanjutan Daftar Efek Bersifat Ekuitas dalam Pemantauan Khusus yang diatur dalam Peraturan No II-S mengenai Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas dalam Pemantauan Khusus. Sebelumnya, mekanisme beli/jual saham dengan emiten dalam pemantauan khusus masih menggunakan mekanisme hybrid, di mana mekanisme perdagangan call auction diterapkan untuk saham yang terkena kriteria kurang likuid dan continuous auction untuk kriteria lainnya. Countinous auction sendiri ialah mekanisme dimana transaksi lelang saham terjadi berkesinambungan sehingga proses jual beli saham bisa langsung terjadi order match bila terjadi kesepakatan harga.

Sejak 25 Maret 2024 lalu, BEI melaksanakan tahap II bagian dari kebijakan PPK dengan menarapkan mekanisme perdagangan call auction untuk seluruh saham yang masuk kriteria Papan Pemantauan Khusus. Untuk sesi perdagangannya sendiri dibagi menjadi lima sesi perdagangan call auction di hari Senin-Kamis. Sementara itu, pada hari Jumat hanya terdapat 4 sesi, di mana sesi 3 ditiadakan dan sesi 2 diperpanjang hingga pukul 11.30 WIB. Adapun kriteria saham yang masuk dalam Papan Pemantauan Khusus Tahap II pada Full Call Auction ialah:

  1. Harga rata-rata saham selama 6 bulan terakhir di Pasar Reguler dan/atau Pasar Reguler Periodic Call Auction kurang dari Rp51,00;
  2. Laporan Keuangan Auditan terakhir mendapatkan opini tidak menyatakan pendapat (disclaimer);
  3. Tidak membukukan pendapatan atau tidak terdapat perubahan pendapatan pada Laporan Keuangan Auditan dan/atau Laporan Keuangan Interim terakhir dibandingkan dengan laporan keuangan yang disampaikan sebelumnya;
  4. Perusahaan tambang minerba yang belum memperoleh pendapatan dari core business hingga tahun buku ke-4 sejak tercatat di Bursa;
  5. Memiliki ekuitas negatif pada laporan keuangan terakhir;
  6. Tidak memenuhi persyaratan untuk tetap dapat tercatat di Bursa sebagaimana diatur Peraturan Nomor I-A dan I-V (public float);
  7. Memiliki likuiditas rendah dengan kriteria nilai transaksi rata-rata harian saham kurang dari Rp5.000.000,00 dan volume transaksi rata-rata harian saham kurang dari 10.000 saham selama 6 bulan terakhir di Pasar Reguler dan/atau Pasar Reguler Periodic Call Auction;
  8. Perusahaan Tercatat dalam kondisi dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pailit, atau pembatalan perdamaian;
  9. Anak perusahaan yang kontribusi pendapatannya material, dalam kondisi dimohonkan PKPU, pailit, atau pembatalan perdamaian;
  10. Dikenakan penghentian sementara perdagangan Efek selama lebih dari 1 hari bursa yang disebabkan oleh aktivitas perdagangan;
  11. Kondisi lain yang ditetapkan oleh Bursa setelah memperoleh persetujuan atau perintah dari Otoritas Jasa Keuangan.

Dengan kebijakan ini, diharapkan pembentukan harga menjadi lebih fair dan transparan karena memperhitungkan seluruh order yang ada di orderbook. Hal ini diharapkan dapat memberikan proteksi kepada investor dari potensi aggressive order yang dapat menyebabkan harga saham anjlok atau melonjak secara tidak stabil. Namun, banyak investor yang menilai bahwa aturan FCA hanya menguntungkan pemodal besar dan tidak memberikan keuntungan yang seimbang bagi investor ritel karena mereka merasa aturan ini dapat membatasi akses investor ke pasar modal, sehingga mengurangi kesempatan partisipasi bagi investor, khususnya investor retail. Hal ini disebabkan pembentukan harga yang bergantung pada volume bid offer terbesar. Mengingat kondisi aset dan portofolio bursa di Indonesia masih dididominasi oleh investor institusi dan investor asing yang bermodal jumbo, pembentukan harga sangat-sangat bergantung kepada keduanya. Sementara itu, investor retail seolah-olah hanya take a ride dari pembentukan harga tersebut.

Salah satu dampak pemberlakuan FCA ini adalah terdapat banyak saham emiten yang masuk daftar pemantauan khusus, mengingat kriteria saham yang masuk dalam skema FCA tidak berdasarkan kriteria kumulatif, namun berdiri sendiri tanpa mementingkan aspek lainnya. Tercatat ada sekitar 221 saham yang masuk ke dalam papan tersebut. Satu hal yang miris, banyak saham yang masuk ke dalam papan tersebut harganya cukup jauh di atas Rp 50 per saham. Padahal, papan pemantauan khusus sebelumnya digunakan untuk saham-saham yang likuiditasnya rendah dan berada di kisaran level psikologis Rp 50 per saham. Hal ini berbeda juah dengan sebelumnya, dimana mekanisme perlindungan investor hanya terbatas pada pengenaan sunspensi dan sanksi. Hal ini memunculkan petisi berjudul ‘Hapuskan Peraturan Papan Full Auction’ di laman Change.org. Petisi itu dibuat oleh pihak yang mengatasnamakan dirinya Indostocks Traders pada malam setelah kebijakan baru ini resmi diberlakukan. Para penandatangan petisi merasa terganggu oleh peraturan FCA pada papan pemantauan khusus karena tidak adanya transparansi bid offer pada saham-saham tersebut hingga terbentuknya harga dalam random closing. Sampai tulisan ini dipublikasikan (30/5/2024), tercatat sudah ada 14.684 orang yang mendatatangani petisi ini. Tidak sampai disitu, influencer pasar modal seperti Vier Abdul Jamal dari Vier Corporation, Benny “Bennix” Batara, hingga Bernad Mahardika Sandjojo juga ramai-ramai ikut mengkritisi penerapan FCA.

FCA dan Saham Syariah?

Satu yang menjadi permasalahan yang cukup krusial, banyak saham-saham dengan indeks syariah yang ikut masuk dalam PPK dan diperdagangkan dengan metode FCA. Sebut saja emiten seperti PT Darmi Bersaudara Tbk (KAYU), PT First Media Tbk (KBLV), dan Smartfren Telecom Tbk (FREN). Saham syariah sendiri adalah efek yang berbentuk saham yang diperjualbelikan dipasar modal yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Semua saham syariah yang terdapat di pasar modal syariah Indonesia dimasukkan ke dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh OJK secara berkala, setiap bulan Mei dan November. Ada dua jenis saham syariah yang diakui di pasar modal Indonesia. Pertama, saham yang dinyatakan memenuhi kriteria seleksi saham syariah berdasarkan peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah, kedua adalah saham yang dicatatkan sebagai saham syariah oleh emiten atau perusahan publik syariah berdasarkan peraturan OJK no. 17/POJK.04/2015. Adapun kriteria saham syariah ialah

  1. Emiten tidak melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:

a. perjudian dan permainan yang tergolong judi;

b. perdagangan yang dilarang menurut syariah, antara lain:

  • perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa;
  • perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu;

c. jasa keuangan ribawi, antara lain:

  • bank berbasis bunga;
  • perusahaan pembiayaan berbasis bunga;

d. jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional;

e. memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain:

  • barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi);
  • barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram lighairihi) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI);
  • barang atau jasa yang merusak moral dan/atau bersifat mudarat;

f. melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah); dan

2. Emiten memenuhi rasio-rasio keuangan sebagai berikut:

a. total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat puluh lima per seratus); atau

b. total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus).

Jika kita berkaca pada salah satu prinsip islam, tentu saja hal ini menjadi masalah, khususnya masalah mengenai mekanisme perdagangan saham yang tidak halal. Hal ini karena FCA membuat pasar saham menjadi tidak stabil dan sulit diprediksi, mirip dengan permainan judi daripada investasi jangka panjang yang seharusnya aman dan dapat diprediksi. Pada akhirnya perdagangan FCA berujung pada spekulasi (Gharar). Berdasarkan Fatwa DSN-MUI №80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan objek akad. Gharar dapat terjadi bila, kedua belah pihak yang melakukan transaksi (penjual dan pembeli) saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya sehingga transaksi dan kontrak hanya dibuat berasaskan asumsi semata. Alhasil, walaupun emiten-emiten bergerak dalam sektor yang halal, karena mekanisme akad jual belinya berdasar pada spekulasi, emiten yang dimaksud pun menjadi tidak halal jual belinya.

Perlunya Penyesuaian dan Kesadaran dalam Implementasi FCA

Niat baik bursa efek untuk meningkatkan perlindungan investor dari volatilitas harga saham dan meminimalisir pembentukan harga yang tidak wajar untuk saham dengan likuiditas rendah dengan metode FCA patut diapresiasi, namun dalam pengimplementasian harus ada beberapa modifikasi, khususnya mengenai perubahan penghitungan indeks syariah. DSN MUI juga harunsya lebih aktif menyuarakan mengenai sosialisasi dan melakukan perubahan daftar emiten berindeks syariah yang masuk kedalam PPK FCA. Jangan sampai ada investor yang karena ketidaktahuan dan kurang sosialisasinya, malah terjerumus ke dalam skema pembentukan harga yang bertumpu pada spekulan dan big offer semata. Alhasil investor yang memiliki niatan baik untuk berinvestasi malah berujung pada skema “perjudian legal” yang dibuat oleh pemerintah.

Akhir kata, selamat berinvestasi dan salam sehat untuk kita semua.

Terima kasih.

Ditulis oleh:

Reza Nulvetrian*

*Penulis adalah Vice Head of Columnist Division PLEADS Board ke-13. Pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, sehingga setiap kesalahan kembali pada diri penulis.

--

--

PLEADS FH Unpad
PLEADS FH Unpad

Written by PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.

No responses yet