Konsekuensi Ancaman Kenaikan Permukaan Air Laut Akibat Perubahan Iklim Bagi Dunia Internasional: Pandangan Rezim Hukum Laut dan Perjanjian Internasional

PLEADS FH Unpad
19 min readOct 4, 2023

--

Photo by Rowan Heuvel on Unsplash

A. Perubahan Iklim Sebagai Ancaman Krusial Bagi Dunia Internasional

Beberapa dekade ini, masyarakat internasional nyatanya sedang dihadapkan dengan berbagai permasalahan perubahan iklim yang sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu problematika tersebut adalah gelombang panas ekstrem yang menimpa negara India. Sebagaimana yang tercatat pada pertengahan tahun 2023 ini, suhu panas di India bagian utara telah mencapai 113 derajat fahrenheit atau gelombang panas dengan 8,1 derajat fahrenheit di atas suhu normal. Selain itu, pada bulan Februari 2023, suhu maksimum rata-rata bulanan menjadi yang tertinggi sejak tahun 1901. Lebih lanjut, para ilmuwan bahkan menyatakan bahwa saat ini fenomena perubahan iklim telah membuat gelombang suhu panas di India sebagai situasi yang umum terjadi. Situasi gelombang panas ekstrem ini juga diasumsikan sebagai penyebab kematian 34 warga negara India yang diakibatkan dari sengatan panas tersebut.

Fakta gelombang panas ekstrem di atas nyatanya hanya sebagian kecil dari dampak ekstrem perubahan iklim yang terjadi saat ini. Apabila ditilik lebih jauh, gelombang panas yang tengah terjadi berimplikasi besar terhadap kenaikan permukaan air laut. Isu kenaikan permukaan air laut nyatanya telah menjadi perbincangan hangat sejak tahun 1880 yang ditandai bahwa permukaan air laut telah meningkat hingga 23 cm. Pesatnya kenaikan air laut tidak lain disebabkan oleh pemanasan suhu global yang mengakibatkan es di kutub dan gletser gunung semakin mudah untuk mencair. Suhu permukaan bumi yang kian meninggi juga menyebabkan ketidakseimbangan alam karena es yang mencair pada saat musim panas lebih banyak dibandingkan es yang dihasilkan pada saat musim dingin.

Berkaca pada fenomena kenaikan permukaan air laut tersebut, masyarakat internasional tengah dihadapkan pada persoalan penentuan batas wilayah laut suatu negara akibat fenomena tersebut. Dengan kata lain, fenomena ini tengah menjadi diskursus dan perbincangan internasional yang hangat mengenai rezim hukum laut. Pembagian perbatasan wilayah suatu negara seringkali dijadikan sebagai objek kajian dalam suatu perjanjian internasional antar negara. Terkait pengaturannya, negara-negara dapat mengacu kepada UNCLOS 1982. Pada hakikatnya, UNCLOS 1982 merupakan sumber pokok dalam hukum internasional berupa konvensi yang berisi ketentuan-ketentuan untuk mengukur batas-batas laut dan berbagai aktivitas negara di wilayah lautnya. Dengan adanya perubahan iklim yang saat ini terjadi, hingga berpotensi untuk mempengaruhi perubahan batas wilayah negara terhadap laut sekitarnya maka hal ini menjadi alasan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai permasalahan perubahan batas wilayah akibat perubahan iklim ditinjau dari hukum laut dan perjanjian internasional.

B. Perubahan Batas Laut: Implikasinya terhadap Penentuan Garis Pangkal dan Kedaulatan Suatu Negara

Wilayah merupakan hal yang sangat penting bagi suatu negara. Tanpa adanya wilayah dengan batasan tertentu, maka kedaulatan dan keberadaan suatu negara tidak akan dianggap. Berdasarkan Konvensi Montevideo 1933, wilayah termasuk ke dalam unsur konstitutif atau unsur pokok terbentuknya suatu negara di samping penduduk, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain. Pengertian wilayah negara tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa wilayah negara atau wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Wilayah merupakan tempat dimana rakyat suatu negara menetap dan tempat pemerintah menyelenggarakan pemerintahannya.

Batas wilayah suatu negara memiliki peran penting dalam penentuan hak kedaulatan suatu negara. Kedaulatan sendiri memiliki makna kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk menyelenggarakan pemerintahan secara penuh dan mandiri. Dengan adanya fenomena perubahan iklim yang menyebabkan naiknya permukaan air laut dan penurunan muka tanah, perubahan wilayah suatu negara tidak dapat terelakkan. Tantangan kompleks ini nyatanya tengah dihadapi oleh negara-negara di Pasifik Selatan, termasuk Negara Kiribati sebagai salah satu dari tiga negara atol bersama Maladewa dan Tuvalu. Sebagaimana negara Kiribati telah kehilangan 12,5 persen dari jumlah luas wilayah dan pada tahun 1999, Tebua Tarawa dan Abanuea sebagai pulau yang tidak berpenghuni telah tenggelam di dasar lautan. Kehilangan wilayah nyatanya bukan satu-satunya persoalan yang dihadapi oleh Kiribati akibat kenaikan permukaan air laut. Hal ini disebabkan intrusi air laut menjadi persoalan berikutnya yang diikuti dengan kelangkaan air dan meningkatnya kadar garam dalam air tanah. Situasi ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut menjadi tidak layak ditinggali oleh penduduk negara Kiribati. Namun, secara umum kenaikan permukaan air laut tentunya menjadi kekhawatiran besar bagi tiap-tiap negara di dunia, terlebih negara pantai dan negara kepulauan. Naiknya permukaan air laut dapat menyebabkan kerugian teritorial total berupa hilangnya garis pangkal kepulauan serta zona laut yang diukur berdasarkan garis pangkal tersebut.

Lebih khusus, tantangan perubahan garis pangkal ini erat kaitannya dengan permasalahan delimitasi perbatasan laut sekaligus hak-hak laut suatu negara atas wilayah laut nya. Hal ini disebabkan delineasi dan delimitasi zona laut berkaitan erat dengan kedaulatan suatu negara dalam melaksanakan eksploitasi, eksplorasi, pengelolaan dan perlindungan kekayaan laut di wilayah laut yang telah ditentukan tersebut. Pada perkembangannya, delimitasi perbatasan laut merupakan salah satu proses yang rumit dan kompleks karena melibatkan aspek hukum dan teknis. Dengan kata lain, proses ini mengandung permasalahan klaim batas laut yang tumpang tindih antara satu negara dengan negara lain. Sebagaimana yang dikemukakan oleh International Court of Justice dalam Kasus Romania v. Ukraina tahun 2009 bahwa proses delimitasi batas laut sejatinya meliputi proses penyelesaian klaim yang tumpang tindih dengan menarik garis pemisah wilayah laut di antara negara yang bersangkutan.

Berkaca pada penjelasan di atas, maka adanya fenomena kenaikan permukaan air laut yang merubah seluruh struktur zona laut suatu negara menjadi problematika krusial dari kacamata hukum internasional berkaitan dengan delimitasi perbatasan laut. Lebih khusus, permasalahan utama dari perubahan batas laut yang dimaksud disini adalah garis pangkal dan pangkalan titik-titik dari batas-batas laut suatu negara. Hal ini disebabkan salah satu langkah penentuan delimitasi batas laut suatu negara ditetapkan dari garis pangkal tersebut. Merujuk kepada UNCLOS 1982 sebagai instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai zona laut dan penentuan batas laut suatu negara, sejatinya terdapat beberapa tipe garis pangkal sesuai dengan konfigurasi umum dari wilayah pantai suatu negara. Garis pangkal ini memainkan peran yang sangat penting sebagai penentu luas batas laut lainnya yang meliputi laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Dengan kata lain, garis pangkal berfungsi untuk menentukan kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara atas wilayah lautnya. Selain itu, garis pangkal ini juga menjadi penentu atas wilayah laut antara satu negara dengan negara lain yang saling bersinggungan dan berdekatan.

Secara spesifik, UNCLOS 1982 nyatanya tidak mengatur perubahan garis pangkal suatu negara akibat fenomena alam berupa kenaikan permukaan air laut. Namun, UNCLOS 1982 mengatur penentuan dan pengukuran garis pangkal tergantung pada situasi geografis alamiah dari suatu negara pantai. Oleh karena itu, perubahan batas laut suatu negara akibat kenaikan permukaan air laut telah membawa pertanyaan mendasar mengenai, apakah garis pangkal dari negara pantai bersifat permanen sebagaimana yang dinyatakan pertama kali atau apakah garis pangkal suatu negara pantai dapat berubah mengikuti perubahan dari konfigurasi wilayah pesisir di negara tersebut?

Secara khusus, garis pangkal normal diatur dalam Article 5 UNCLOS 1982 yang berbunyi:

Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State”.

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka dapat diidentifikasi terdapat dua elemen dari penentuan garis pangkal, yakni titik pangkal dan diukur berdasarkan permukaan air rendah. Lebih lanjut, International Law Association (ILA) Committee on Baselines under the International Law of the Sea menafsirkan Article 5 UNCLOS 1982 bahwa garis permukaan air rendah yang sebenarnya adalah garis dasar normal yang sah dan situasi demikian harus dianggap sebagai bukti fisik dari realitas pesisir pantai atau dapat dikatakan pula sebagai konfigurasi pesisir pantai yang sebenarnya. Adapun ketentuan lain mengenai penentuan permukaan air rendah ini bahwa negara-negara pantai juga dapat menentukan garis permukaan air rendah tergantung pada pilihan datum vertikal, yakni tingkat acuan pengukuran permukaan air laut secara vertikal yang akan menghasilkan situasi pasang surut.

Pada praktiknya, ketentuan di atas masih menimbulkan ketidakpastian bagi negara-negara pantai untuk menentukan jalur permukaan air rendah yang mana apabila secara inheren jalur pada awalnya mengalami perubahan karena keadaan alamiah geografis di negara tersebut. ILA menanggapi hal ini bahwa terhadap negara-negara pantai yang menghadapi situasi ketidakstabilan konfigurasi pesisir akibat keadaan alamiah geografis, maka penentuan garis pangkal disesuaikan dengan situasi geografis di negara tersebut secara aktual menggunakan pendekatan pergeseran garis pangkal. Situasi ini dilegitimasi dalam Article 14 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa “The coastal State may determine baselines in turn by any of the methods provided for in the foregoing articles to suit different conditions”. Dengan demikian, negara pantai dapat menentukan garis pangkal baru sesuai dengan perubahan konfigurasi pesisir pantai akibat perubahan geografis secara alamiah. Dalam hal ini, kenaikan permukaan air laut sebagai fenomena alamiah geografis dapat dijadikan dasar bahwa penentuan garis pangkal pada negara pantai disesuaikan berdasarkan perubahan kenaikan permukaan air laut tersebut. Dengan kata lain, perubahan garis pangkal dalam situasi ini dimungkinkan tidak dilakukan secara tetap atau permanen. Adapun perubahan garis pangkal disini dimungkinkan terjadi penambahan ataupun pengurangan wilayah laut dari suatu negara pantai.

Perlu diperhatikan bahwa perubahan garis pangkal dengan dasar pergeseran konfigurasi wilayah pesisir pantai tentu membawa persoalan baru mengenai sengketa batas internasional. Hal ini dapat terjadi karena adanya ketidakpastian hukum dalam delimitasi perbatasan laut suatu negara yang sewaktu-waktu dapat berubah atas dasar pergeseran wilayah pesisir pantai di negara tersebut yang begitu dinamis. Situasi ini tentu berbeda dengan penentuan dan penetapan garis pangkal suatu negara secara permanen sesuai ketentuan dalam Article 16 (2), 47 (9), 75 (2), dan 76 (9) UNCLOS 1982. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur bahwa selama negara telah mendaftarkan garis pangkal negara yang bersangkutan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka garis pangkal yang didaftarkan tersebut merupakan garis pangkal tetap atau permanen.

Menilik dari aspek hukum internasional yang lain, perjanjian perbatasan juga erat kaitannya dengan pengaturan hukum laut. Artinya, UNCLOS 1982 bukan menjadi satu-satunya sumber hukum yang menentukan dan mengatur mengenai kelautan sekaligus hak-hak negara atas wilayah laut nya. Berdasarkan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, stabilitas perjanjian perbatasan harus diwujudkan terlepas dari adanya perubahan garis pesisir pantai. Artinya, perjanjian perbatasan laut dan koordinat geografis dari suatu negara tetap stabil dan aman, walaupun terjadi perubahan situasi geografis secara alamiah yang menyebabkan pergeseran garis pangkal dari negara tersebut.

Fenomena kenaikan permukaan air laut ini memang membawa ancaman besar bagi seluruh negara di dunia. Bukan hanya negara-negara pantai yang mengalami tantangan dalam penentuan garis pangkal akibat kenaikan permukaan air laut, tetapi negara kepulauan juga berada pada posisi yang jauh lebih terancam sebab perubahan permukaan air laut dapat menenggelamkan pulau terluar yang menjadi tanda fisik untuk mengukur batas teritorial suatu negara. Mengingat kembali bahwa UNCLOS 1982 telah mengatur secara spesifik rasio yang harus dipenuhi suatu negara agar dapat dianggap sebagai negara kepulauan. UNCLOS 1982 akan menganggap suatu negara sebagai negara kepulauan apabila negara tersebut wilayah laut dan wilayah daratnya memenuhi rasio satu banding satu sampai satu banding sembilan. Hilangnya suatu pulau terluar sebagai sebab dari kenaikan air laut juga turut mengancam status ‘negara kepulauan’ suatu negara. Kemudian, dengan hilangnya status ‘negara kepulauan’, permasalahan lain dari berbagai aspek akan muncul dan turut mengacaukan keutuhan kedaulatan negara. Merespon atas situasi di atas, sejatinya masyarakat internasional tidak memiliki pengalaman lebih jauh untuk menyelesaikan persoalan hilangnya suatu bangsa akibat fenomena alam berupa kenaikan permukaan air laut. Hal ini disebabkan pada faktanya, tidak ada norma hukum internasional yang menentukan dan mengatur timbulnya potensi permasalahan-permasalahan di atas. Oleh karena itu, krisis perubahan iklim berupa kenaikan permukaan air laut secara jelas telah menjadi tantangan bagi dunia internasional.

C. Perubahan Iklim sebagai Fundamental Changes of Circumstances? Sebuah Telaah dari Sudut Pandang Perjanjian Internasional

Climate change atau perubahan iklim merupakan sebuah topik yang tidak pernah lepas untuk dibahas dalam perbincangan baik di skala nasional maupun internasional. Seperti yang sudah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa keberadaan perubahan iklim berpotensi untuk mempengaruhi beberapa bidang kehidupan seperti bidang kesehatan, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi. Tak sampai disitu, perubahan iklim juga memberikan pengaruh pada batas penguasaan negara terhadap wilayah laut di sekitarnya. Akibat perubahan iklim, masyarakat pesisir dan daerah dataran rendah di berbagai belahan dunia harus pasrah menerima adanya kenaikan permukaan air laut karena adanya fenomena banjir, erosi dan perendaman, serta hilangnya pulau-pulau kecil. Selain itu, kenaikan air laut dinahkodai oleh dua faktor utama yang berhubungan dengan pemanasan global, yaitu bertambahnya volume air akibat dari mencairnya lapisan es dan gletser, serta perluasan air laut seiring kenaikan suhu air laut. Hal ini sangat dirasakan oleh negara-negara kepulauan seperti Indonesia. Bahkan pada tahun 2007, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) membuat suatu prediksi bahwa dampak dari kenaikan permukaan air laut akan menenggelamkan 6% daerah Belanda, 17,5% daerah Bangladesh dan kurang lebih 2000 pulau kecil di Indonesia.

Dalam bagian pertama kajian ini, telah dipaparkan bahwa sebetulnya UNCLOS 1982 telah memberikan landasan pengaturan mengenai besaran wilayah laut masing-masing negara. Hal tersebut berlaku baik bagi negara pada umumnya, maupun bagi negara dengan garis kontur tertentu seperti negara pantai dan negara kepulauan. Meskipun begitu, untuk mengakomodir kepentingan negara-negara terkait penentuan batas wilayah laut, kebanyakan negara memilih untuk menyepakatinya dalam suatu perjanjian internasional. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian hukum, menjaga keamanan wilayah, serta menjalin hubungan baik dengan negara lain. Salah satu contoh konkrit perjanjian antar negara mengenai batas wilayah laut adalah perjanjian antara Indonesia dengan Singapura pada tahun 1973 dan 2014. Pada bagian preambule perjanjian tersebut disebutkan bahwa selain untuk menetapkan batas wilayah, tujuan dibentuknya perjanjian tersebut adalah untuk mempererat hubungan antara Indonesia dengan Singapura.

Meskipun telah diakomodir dalam perjanjian internasional, akan tetapi tetap saja dalam prakteknya terjadi berbagai permasalahan yang tidak dapat dihindari terutama terkait hubungan antara negara. Apabila terjadi suatu peristiwa dimana salah satu negara pihak ingin mengakhiri perjanjian atau menunda pelaksanaan dari perjanjian terkait, terdapat sebuah aturan yang mengatur mengenai hal tersebut. Ketentuan ini diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (“VCLT 1969”) tepatnya dalam Pasal 54 hingga Pasal 64. Beberapa alasan mengapa sebuah perjanjian dapat diakhiri meliputi:

i. karena perjanjian tersebut sudah kadaluarsa;

ii. telah terpenuhinya tujuan utama dari perjanjian tersebut;

iii. pengakhiran dilakukan atas dasar persetujuan bersama;

iv. terjadinya konflik bersenjata antara para pihak;

v. dibuatnya perjanjian baru oleh para pihak yang menghapus perjanjian sebelumnya -

vi. diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan pengakhiran tersebut diterima pihak lain.

Apabila suatu perjanjian resmi diakhiri, maka terdapat konsekuensi dari hal tersebut. Merujuk pada Pasal 70 VCLT 1969, apabila perjanjian telah diakhiri maka tidak ada kewajiban bagi para pihak untuk menjalankan isi perjanjian tersebut (kecuali jika terdapat ketentuan lain dalam perjanjian yang bersangkutan). Suatu kewajiban yang diemban oleh negara pihak dari perjanjian internasional tidak jarang memberikan tanggung jawab yang besar bagi negara tersebut, karenanya tidak jarang apabila terdapat sengketa yang muncul dari suatu perjanjian internasional, negara terkait mencari-cari alasan agar terbebas dari kewajiban yang semula mengikatnya berdasarkan perjanjian internasional. Salah satu alasan yang cukup kontroversial, yang dapat digunakan untuk mengakhiri suatu perjanjian adalah karena adanya fundamental changes of circumstances atau bila diartikan adalah adanya perubahan keadaan yang mendasar. Alasan tersebut diatur dalam Pasal 62 VCLT 1969 yang berbunyi:

1. A fundamental change of circumstances which has occurred with regard to those existing at the time of the conclusion of a treaty, and which was not foreseen by the parties, may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from the treaty unless:

(a) the existence of those circumstances constituted an essential basis of the consent of the parties to be bound by the treaty; and

(b) the effect of the change is radically to transform the extent of obligations still to be performed under the treaty.

2. A fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from a treaty:

(a) if the treaty establishes a boundary; or

(b) if the fundamental change is the result of a breach by the party invoking it either of an obligation under the treaty or of any other international obligation owed to any other party to the treaty.

3. If, under the foregoing paragraphs, a party may invoke a fundamental change of circumstances as a ground for terminating or withdrawing from a treaty it may also invoke the change as a ground for suspending the operation of the treaty.

Terdapat 5 (lima) buah syarat kumulatif, yang berarti semua kondisi harus dipenuhi agar perjanjian dapat diakhiri karena adanya perubahan mendasar, yaitu:

  1. Supervening changes of circumstances (perubahan yang tiba-tiba)
  2. The change is ‘fundamental(perubahan bersifat ‘mendasar/fundamental’)
  3. Change is not foreseen by the parties (perubahan tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh para pihak perjanjian)
  4. Existence of circumstances constituted an ‘essential basis of the consent of the parties to be bound by the treaty (keadaan tersebut menyebabkan perubahan terhadap persetujuan awal dari para pihak untuk terikat pada perjanjian tersebut)
  5. Radical transformation of extent of remaining obligations (perubahan yang mendasar pada kewajiban untuk terikat pada perjanjian)

Sebelumnya telah disebutkan bahwa syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif. Hal ini dapat dilihat pada penyusunan ketentuan Pasal 62 ayat (1) International Law Commission menggunakan kata hubung “and” yang menandakan bahwa komponen ini bersifat kumulatif. Maka dari itu, apabila salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka perubahan iklim tidak dapat dianggap sebagai fundamental change of circumstances. Dalam hal ini, terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah lebih jauh yakni terkait kelima persyaratan di atas.

Terkait dengan syarat pertama yaitu supervening changes of circumstances atau perubahan yang tiba-tiba, berbagai situasi yang dapat memenuhi syarat ini termasuk factual changes (perubahan nyata), political changes (perubahan politis), legal changes (perubahan secara hukum), personal scope of change (jangkauan tersendiri dari perubahan) dan supervening character of change (sifat perubahan secara tiba-tiba). Selain hal-hal tersebut, terdapat tiga hal yang menjadi pengecualian, yaitu meletusnya peperangan, suksesi negara, dan pemutusan hubungan diplomatik atau hubungan konsuler. Khusus untuk ketiga pengecualian tersebut tidak bersifat kumulatif. Perubahan iklim tidak dapat dianggap sebagai perubahan politis, perubahan secara hukum, jangkauan tersendiri dari perubahan, ataupun sifat perubahan secara tiba-tiba. Kondisi terdekat dimana perubahan iklim dapat dikategorikan sebagai fundamental change of circumstances ialah factual change, karena perubahan iklim merupakan faktor eksternal yang memengaruhi keadaan suatu negara. Fakta bahwa naiknya permukaan air laut dapat memengaruhi batas maritim suatu negara mengindikasikan hal tersebut sebagai perubahan nyata atau factual change. Namun tetap saja, perlu ditekankan kembali bahwa kata kuncinya adalah perubahan secara tiba-tiba. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, dampak dari perubahan iklim dapat diperkirakan bahkan sejak jauh-jauh hari walaupun sulit. Maka dari itu, mengingat bahwasanya perubahan iklim dapat diprediksi atau diperhitungkan dapat dimaknai bahwa perubahan iklim tidak memenuhi syarat pertama ini.

Kemudian, syarat kedua adalah the change is ‘fundamental’ (perubahan bersifat ‘mendasar/fundamental’). Sulit untuk menentukan pengertian yang pasti mengenai keadaan seperti apa yang dapat dianggap sebagai fundamental atau mendasar dalam syarat ini. Mengacu pada commentary VCLT 1969, ‘fundamental change’ atau perubahan yang bersifat mendasar mengacu pada suatu keadaan yang bersifat substansial dan sangat penting (substantial and of considerable importance), dimana keadaan tersebut tidak akan lagi sama seperti sebelumnya. Lebih lanjut lagi, travaux préparatoires dari pasal ini menyarankan bahwa apabila a change of circumstance atau perubahan keadaan memenuhi kriteria-kriteria yang ditentukan dalam Pasal 62 ayat (1)(a) dan 1(b), maka hal tersebut dapat dijadikan dasar yang kuat untuk dianggap sebagai fundamental. Oleh sebab itu, pertanyaan mengenai apakah perubahan iklim dapat dianggap sebagai fundamental change of circumstances didasarkan pada apakah syarat keempat dan kelima nya terpenuhi.

Selanjutnya, perubahan tidak dapat diprediksi oleh kedua pihak merupakan syarat ketiga. Syarat ini mengharuskan agar perubahan tersebut tidak bisa diprediksi oleh para pihak selama proses penyusunan perjanjian. Syarat ini juga tidak dapat terpenuhi apabila para pihak secara implisit mengetahui perubahan tersebut akan terjadi, namun tidak memasukkannya sebagai suatu pasal dalam perjanjian. Dengan kata lain, syarat ini digunakan untuk menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditaati karena ada situasi force majeure yang membuat objek dari suatu perjanjian tidaklah mungkin untuk dilaksanakan. Definisi dari force majeure sendiri dapat dilihat dari Pasal 23 ARSIWA, yang mengatur bahwasanya terdapat beberapa situasi kumulatif yang menyebabkan suatu negara tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam suatu perjanjian tanpa menjadikan kelalaian tersebut menjadi sebuah wrongful act. Pada kasus ini, perubahan iklim haruslah memenuhi seluruh syarat-syarat dalam Pasal 23 ARSIWA agar dapat dikatakan sebagai sebuah keadaan force majeure. Keadaan-keadaan tersebut mencakup:

  1. suatu tindakan negara haruslah akibat dari situasi yang tidak dapat diprediksi,
  2. sesuatu yang tak dapat diprediksi tersebut haruslah di luar kuasa negara untuk mencegahnya,
  3. situasi tersebut haruslah membuat tidak mungkin sama sekali bagi negara untuk memenuhi kewajibannya.

Perlu untuk diketahui bahwasanya terdapat perbedaan antara fundamental change of circumstances dengan force majeure. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwasanya perbedaan antara keduanya terletak pada batasannya, yang mana force majeure disebut sebagai suatu keadaan yang tidak memungkinkan para pihak untuk melaksanakan kewajiban dari perjanjian karena hilangnya objek atau tujuan yang dijadikan inti perjanjian.

Keadaan-keadaan tersebut dibarengi dengan ketentuan dalam Pasal 61 VCLT 1969 menetapkan sebuah standar yang begitu tinggi untuk dipenuhi. Seperti yang telah dijelaskan pada syarat sebelumnya, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan perubahan iklim dapat diprediksi. Sulit untuk mengatakan bahwa perubahan iklim dapat diterima sebagai sebuah force majeure jika melihat pada persyaratan kumulatif tersebut. Hal ini dikarenakan negara-negara dapat menghitung dampak dari perubahan iklim dari awal, serta mencari cara untuk setidaknya meminimalisir efek dari perubahan iklim tersebut. Negara-negara tidak dapat mengatakan bahwa perubahan iklim tidak memengaruhi mereka dalam cara apapun, konkritnya dapat dilihat pada negara kepulauan dan negara dengan perairan pantainya yang akan merasakan perubahan yang signifikan dari perubahan iklim, terutama dalam aspek kenaikan air laut. Oleh karena itu, perubahan iklim tidak memenuhi unsur force majeure yang membuat para pihak perjanjian tidak dapat melaksanakan isi dari perjanjian.

Adapun syarat keempat, yakni essential basis of the consent of the parties (hal mendasar yang menjadi alasan persetujuan para pihak) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mendasari mengapa para pihak perjanjian terlibat dalam perjanjian tersebut. Faktor utama atau faktor penentu yang membentuk alasan dasar dari persetujuan para pihak harus ditentukan menggunakan ordinary means of interpretation seperti yang diatur dalam Pasal 31–33 VCLT 1969. Penafsiran yang dimaksud mencakup annex dan pembukaan perjanjian tersebut, perjanjian tambahan atau praktik nyata dari para pihak, hukum internasional yang berkaitan, dan travaux préparatoires atau dokumen persiapan perjanjian international. Karenanya para pihak perjanjian harus menelaah terlebih dahulu apakah objek dan tujuan perjanjian terkena dampak besar dari perubahan iklim, sebelum memutuskan dari penggunaan fundamental change of circumstances sebagai dasar pengakhiran suatu perjanjian internasional tersebut. Apabila perjanjian tersebut dibangun atas kepentingan para pihak untuk menentukan batas wilayah yang mana hal tersebut dapat terganggu oleh kehadiran dari perubahan iklim, maka alasan tersebut dapat digunakan untuk mengajukan pengakhiran perjanjian, kecuali terdapat ketentuan lain di dalam perjanjian terkait yang melarang hal tersebut.

Lalu syarat terakhir yaitu syarat kelima adalah radical transformation of the extent of remaining obligations. Dalam kasus Fisheries Jurisdiction antara Jerman v. Islandia disebutkan bahwa “the change must have increased the burden of the obligations to be executed to the extent of rendering the performance something essentially different from that originally undertaken”. Penafsiran paling mendekati terkait apa yang dianggap sebagai kewajiban dapat didefinisikan sebagai “radically transform all the remaining obligations under the treaty and not only the obligations of one party” atau merubah secara menyeluruh semua sisa kewajiban dalam perjanjian dan tidak hanya kewajiban dari satu pihak saja. Pada intinya, perubahan mendadak tersebut harus berdampak cukup besar hingga dapat memengaruhi kemampuan para pihak perjanjian untuk menjalankan kewajibannya. Pemenuhan dari syarat kelima ini tidak bisa digeneralisir secara umum, bergantung pada jawaban terkait pertanyaan apakah perubahan iklim menjadikan kewajiban dari salah satu pihak menjadi lebih berat atau tidak. Apabila memang perubahan iklim memberi beban yang signifikan terhadap kewajiban dari suatu negara dalam perjanjian, maka syarat ini dapat terpenuhi. Namun jika kewajiban suatu negara pihak tidak terpengaruhi atau hanya sedikit dipengaruhi oleh adanya perubahan iklim, maka syarat ini tidak terpenuhi.

Lebih lanjut lagi, bahkan jika perubahan iklim memenuhi semua syarat-syarat di atas dan dapat dikategorikan sebagai a fundamental change of circumstances, ketentuan dalam Pasal 62(2) VCLT 1969 mengatur sebaliknya. Dalam Pasal 62(2)(a) disebutkan bahwasanya apabila perjanjian tersebut establishing boundary atau mengatur mengenai penentuan wilayah, maka fundamental change of circumstances ini tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri atau mengundurkan diri dari suatu perjanjian. Objek dan tujuan utama dari perjanjian batas wilayah adalah untuk melindungi integritas teritorial dari negara-negara, yang mana tidak dapat digunakan sebagai suatu hal untuk dijadikan dasar karena adanya perubahan keadaan. Hal ini didasarkan pada asas rebus sic stantibus dengan dasar persamaan derajat dan keadilan serta ditujukan untuk diaplikasikan pada keseluruhan ketentuan dalam VCLT 1969.

Pasal 62(2) dari VCLT 1969 juga mencakup perjanjian-perjanjian yang mengatur batas laut teritorial dari negara-negara. Dalam penyusunan Pasal 62(2)(a) International Law Commission (ILC) berpendapat bahwa istilah boundary merujuk hanya kepada batas wilayah darat. Walaupun begitu ILC di kemudian hari mengatakan bahwa batas wilayah laut termasuk ke dalam istilah boundary tersebut. Hal ini diperkuat oleh United Nations Handbook on Maritime Delimitation yang mengatur bahwa perjanjian wilayah laut memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perjanjian wilayah darat. Akan tetapi, kepastian yang sama tidak ditemukan untuk penentuan wilayah dari landas kontinen ataupun ZEE karena adanya perbedaan mendasar status hukumnya dari wilayah suatu negara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri sebuah perjanjian. Hal ini dikarenakan elemen dalam Pasal 62 ayat (1) huruf (a) tidak terpenuhi. Pun jika elemen b dalam ayat (1) ini memiliki kemungkinan untuk terpenuhi, tetap saja perubahan iklim tidak dapat dijustifikasi sebagai alasan untuk memenuhi fundamental changes of circumstances mengingat elemen pada ketentuan ini bersifat kumulatif. Bahkan, apabila seluruh elemen dalam Pasal 62 ayat (1) terpenuhi, para pihak dari perjanjian internasional akan tetap terikat dengan perjanjian tersebut, jika perjanjian tersebut mengatur mengenai batas wilayah antar negara. Disisi lain, dengan semakin terlihatnya dampak dari perubahan iklim diiringi dengan kemajuan teknologi untuk melihat kemungkinan dari perubahan iklim tersebut, maka dalam perjanjian perbatasan negara-negara dapat membuat suatu klausula yang berfungsi sebagai bentuk preventif apabila sewaktu-waktu perubahan iklim tersebut terjadi, sehingga para pihak dalam perjanjian internasional tidak menjadikan fundamental change of circumstances sebagai alasan untuk mengakhiri perjanjian internasional.

D. Kesimpulan

Batas wilayah dari suatu negara berperang penting untuk menentukan hak kedaulatan negara untuk menyelenggarakan pemerintahan secara penuh dan mandiri. Hak ini kemudian ditantang dengan hadirnya perubahan iklim seperti yang terjadi pada negara-negara di Pasifik Selatan yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut dan penurunan muka tanah. Kenaikan permukaan air laut dapat berdampak pada hilangnya garis pangkal kepulauan yang berujung pada hilangnya sebagian wilayah laut dari negara tersebut seperti ZEE, laut teritorial dan zona tambahan. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kedaulatan dan hak berdaulat dari suatu negara sebagaimana yang diatur dalam UNCLOS 1982, seperti melakukan eksploitasi, eksplorasi serta mengelola kekayaan lautnya.

Walaupun UNCLOS tidak memberikan aturan yang ajeg untuk menentukan garis pangkal dari suatu negara, tetapi UNCLOS 1982 mengatur terkait elemen dari penentuan garis pangkal seperti yang diatur dalam Pasal 5 UNCLOS 1982, yakni titik pangkal dan diukur berdasarkan permukaan air rendah. Sebagai suatu fenomena alamiah geografis, kenaikan air laut dapat menjadi dasar bahwa penentuan garis pangkal disesuaikan pada perubahan kenaikan permukaan air laut, menjadikan situasi tersebut memungkinkan untuk tidak dilakukan secara tetap atau permanen.

Akan tetapi, naiknya permukaan air laut turut ikut membawa persoalan baru terkait sengketa batas internasional. Apabila melihat kepada aspek hukum internasional lainnya, perjanjian perbatasan memiliki hubungan yang erat dengan pengaturan hukum laut. Dengan kata lain, selain UNCLOS 1982, terdapat konvensi lain yang mengatur demikian. Peran inilah yang dijalankan oleh VCLT 1969. Konvensi tersebut mengharuskan para pihak untuk menjalankan kewajibannya terlepas dari ada atau tidaknya perubahan pada garis pesisir pantai.

Meskipun UNCLOS 1982 telah memberi landasan pengaturan mengenai besaran wilayah laut masing-masing negara, tetapi pada praktiknya sebagian besar negara masih memilih untuk menyepakati batas wilayah lautnya melalui sebuah perjanjian internasional. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian hukum, menjaga keamanan wilayah, dan menjalin hubungan baik dengan negara lain. Salah satu contohnya adalah perjanjian wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura pada tahun 2014.

Kendati demikian, permasalahan nyatanya berpotensi hadir dalam rezim perjanjian batas wilayah laut. Dalam suatu keadaan dimana salah satu negara ingin mengakhiri perjanjian atau menunda pelaksanaan perjanjian tersebut, VCLT 1969 telah mengatur hal demikian. Hal ini bertujuan agar negara tidak sewenang-wenang dalam mengakhiri atau menunda pelaksanaan perjanjian. Salah satu alasan yang cukup kontroversial yang dapat digunakan untuk mengakhiri perjanjian internasional adalah fundamental change of circumstances atau perubahan keadaan yang mendasar yang diatur dalam Pasal 62 VCLT 1969.

Pasal tersebut memberikan lima keadaan yang sifatnya kumulatif. Keadaan tersebut meliputi perubahan yang tiba-tiba, perubahan bersifat mendasar, perubahan tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh para pihak perjanjian, keadaan tersebut menyebabkan perubahan terhadap persetujuan awal dari para pihak untuk terikat pada perjanjian tersebut, serta perubahan yang mendasar pada kewajiban untuk terikat pada perjanjian.

Setelah dianalisis dapat ditarik kesimpulan bahwasanya perubahan iklim tidak dapat dianggap sebagai fundamental change of circumstances, maka perubahan iklim tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri perjanjian wilayah laut antar negara. Walaupun semisalnya perubahan iklim memenuhi semua syarat sebagai sebuah fundamental change of circumstances, namun terdapat aturan tambahan dalam Pasal 62(2) yang menentukan bahwa apabila perjanjian tersebut mengatur mengenai penentuan wilayah, fundamental change of circumstances tidak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian.

Ditulis oleh:

Adhistia Naufal*

Daniel Miracle**

Emillia Isni Maulidina***

*Penulis adalah Wakil Kepala Divisi Academic and Research Hima Internasional Board 2023, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis

**Penulis adalah Staf Divisi Academic and Research Hima Internasional Board 2023, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis

***Penulis adalah Kepala Biro Kajian PLEADS Board ke-12, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis

Daftar Pustaka dapat diakses melalui link berikut ini:

https://docs.google.com/document/d/1vvSnfSi87Kf4dJkF3_R6ZGNROBraKu-SQWEUtQdBFyU/edit?usp=sharing

--

--

PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.