PLEADS FH Unpad
7 min readDec 8, 2022

Kontradiksi dan Konsekuensi Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Persyaratan Pemilu

Penafsiran Mahkamah Konstitusi

Perpolitikan Indonesia kini tengah diterpa kontroversi baru setelah beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan penafsiran baru. Penafsiran tersebut menyangkut persyaratan bagi pejabat negara untuk mengundurkan diri ketika hendak mencalonkan diri sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut dengan UU Pemilu) yang berbunyi:

Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.”

Selanjutnya perlu diketahui yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam pasal di atas apabila melihat Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu salah satunya adalah menteri dan pejabat setingkat menteri. Maka dapat disimpulkan bahwa apabila menteri dan pejabat setingkat menteri ingin mencalonkan diri sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatannya.

Penafsiran yang dilakukan oleh MK tertuang dalam amar Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022 yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang digelar pada Senin 31 Oktober 2022 di Ruang Sidang Pleno MK. Penafsiran ini dilatarbelakangi oleh adanya pemohon, yakni Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang memohon atas dasar salah satu fungsi MK dalam kewenangannya menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 yaitu MK sebagai Pengawal Konstitusi, Penafsir Akhir Konstitusi, Pengawal Demokrasi, Pelindung Hak Konstitusional Warga Negara, dan Pelindung Hak Asasi Manusia. Pemohon beralasan bahwa dalam kehidupan berdemokrasi melalui pemilihan umum sangatlah wajar apabila kader terbaik dari partai politik ditunjuk dan diangkat oleh Presiden terpilih untuk menduduki jabatan menteri. Termasuk juga Menteri tersebut dicalonkan oleh partai politik sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum.

Alasan lain yang menjadi pertimbangan pemohon adalah menegakkan hak asasi manusia dan menghilangkan praktik diskriminatif manakala menteri harus mengundurkan diri terlebih dahulu apabila ingin mencalonkan diri. Sedangkan Presiden tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya ketika mencalonkan diri kembali untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan pemerintahan padahal keduanya masuk ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

Perlu dikritisi bahwa ada beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pemohon dalam pengujian konstitusional. Syarat ini menjadi legal standing agar permohonan berperkara di MK dapat diterima. Beberapa syarat terkait yaitu adanya kerugian dari pemohon karena berlakunya suatu undang-undang dan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya suatu undang-undang. Partai Garuda tidak terdampak kerugian secara langsung akibat adanya persyaratan yang diatur dalam UU Pemilu ini karena tidak ada satupun kader dari Partai Garuda yang menduduki jabatan menteri. Namun dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa partai politik yang telah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional melalui perwakilannya di DPR atas pengesahan suatu Undang-Undang, tidak dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang tersebut. Pemohon yakni Partai Garuda sebagai Partai Politik “non-parlemen” sebelumnya tidak ikut membahas UU 7/2017 sehingga menurut MK, Partai Garuda memiliki legal standing untuk mengajukan uji konstitusi.

Pada akhirnya, MK dalam putusan a quo mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dengan menambahkan makna baru terhadap Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu yakni “termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri, sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden”. MK pun memberikan pemaknaan terhadap Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu yakni menghilangkan frasa “menteri atau pejabat setingkat” sehingga hal ini berarti menteri dan pejabat setingkat tidak lagi terikat pada persyaratan yang diatur oleh Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu.

Kontradiksi terhadap Prinsip Pemerintahan

Optimalisasi budaya demokrasi di tengah masyarakat yang menganut ideologi Pancasila sangatlah dibutuhkan bagi para pejabat sebagai bentuk kepekaan moral dan tanggung jawab politik. Bentuk kepekaan moral ini dapat dilihat dari perilaku dalam praktik etika politik bernegara. Etika politik pada dasarnya memenuhi pemikiran teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, objektif dan rasional. Dalam hal ini menteri kabinet tidak seharusnya terlibat secara aktif dalam proses politik negara karena menyalahi etika politik yang terkesan tidak bertanggung jawab. Praktik penyelenggaraan pemerintahan seharusnya tidak lagi hanya bertopang pada prinsip rule of law melainkan juga membutuhkan rule of ethics. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan iklim pemerintahan yang tidak sekedar memenuhi ritual demokrasi prosedural saja. Sistem demokrasi akan kuat manakalah sistem hukum dan etika dapat tegak dan dihormati secara bersamaan. Tanggung jawab politik sudah seharusnya menjadi nilai yang tertanam di setiap diri para pejabat karena nilai ini bukanlah suatu nilai yang memerlukan sebuah aturan tertulis. Etika politik inilah yang menentukan apakah pemerintahan negara berjalan dengan penuh integritas.

Selain itu, Penafsiran MK terkait persyaratan Pemilu mempengaruhi sensibilitas para pejabat yang mengisi susunan tatanan negara. Di sisi lain, pejabat negara sudah sepatutnya memiliki sensibilitas yang tinggi dengan keadaan negara. Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya sense of crisis yang harus dipegang oleh jajaran pemangku jabatan. Presiden Joko Widodo meminta perencanaan yang baik dalam semua kebijakan. Sense of crisis di sini dapat diartikan sebagai kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis yang dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele pada sebuah keputusan yang dilandaskan prinsip kemanusiaan dan saling menghargai. Dengan adanya perubahan melalui penafsiran ini pada dasarnya bertentangan dengan sense of crisis karena dapat menurunkan kinerja para menteri sehingga pemangku jabatan tidak bisa mengemban tanggung jawabnya secara optimal.

Dengan demikian, penafsiran MK terkait persyaratan Pemilu yang menyebabkan menteri atau pejabat setingkat menteri tidak perlu mengundurkan diri ketika ingin mencalonkan diri bertentangan dengan nilai-nilai prinsipil dalam jalannya roda pemerintahan.

Dampak terhadap Tatanan Negara

Perubahan rumusan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu melalui penafsiran MK ini berdampak pada stabilitas keberlangsungan pemerintah yang dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan bernegara. Konsep politik dan struktur politik yang tidak tersistematik dengan baik dapat mengundang political instability dalam tata pemerintahan negara. Sebagaimana pendapat Claude Ake dalam research notenya yakni an attempt to define political stability must begin by clarifying the concepts of politics and political structure. Claude Ake menganggap upaya mendefinisikan kestabilan politik harus dimulai dengan memperjelas konsep sekaligus struktur politik itu sendiri. Dengan munculnya political instability ini, terdapat beberapa dampak buruk terhadap tatanan negara yang seharusnya menjadi perhatian.

  1. Penyalahgunaan Kekuasaan

Dampak yang paling jelas akan timbul dari tidak perlunya menteri mengundurkan diri saat mencalonkan diri sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, yakni penyalahgunaan jabatan dan kewenangan oleh menteri dalam proses politik. menteri dalam susunan tata negara merupakan salah satu jabatan yang memiliki kedudukan dan kekuasaan yang cukup besar. Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai kekuasaan pribadi. Karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi.

Berdasarkan laporan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap survei mengenai Tantangan Reformasi Birokrasi pada tahun 2021 dengan sampel Pegawai Negeri Sipil (PNS) menghasilkan beberapa temuan. Bentuk penyalahgunaan korupsi yang paling banyak terjadi di instansi pemerintah ialah menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi (26.2%), kemudian kerugian keuangan negara (22.8%), gratifikasi (19.9%), menerima suap (14.8%), sementara lainnya kurang dari 5%. Faktor yang mempengaruhi PNS menerima uang/hadiah di luar ketentuan paling besar adalah kurangnya pengawasan, kemudian kedekatan PNS dengan pihak yang memberi uang, dan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa.

Dengan adanya kekuatan dari pihak yang lebih berkuasa ini, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh menteri yang mencalonkan diri menjadi cukup tinggi dan dapat mengintervensi urusan pemerintahan yang menyangkut hajat khalayak banyak dengan upaya politisasi yang semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi. Potensi terbesar penyalahgunaan kekuasaan oleh menteri yang mencalonkan diri namun tidak mengundurkan diri, yakni menjadikan lingkungan kerjanya sebagai sarana untuk melakukan kampanye atau kepentingan-kepentingan lainnya di luar lingkup tugas dan wewenang yang seharusnya. Kekuasaan yang tidak terkendali akan menjadi semakin sewenang-wenang dan pada akhirnya berujung pada penyimpangan. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan suatu keadaan yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan akibat mencampuradukkan tugas dan wewenang dengan upaya-upaya politik yang tidak berhubungan.

2. Terganggunya Sektor Pemerintahan

Dampak yang juga tentu saja dapat terjadi yaitu terganggunya stabilitas pemerintahan yang direpresentasikan oleh kementerian. Dengan adanya penafsiran oleh MK dan turunnya optimalisasi kerja para pejabat kabinet dapat menghambat semua sektor pemerintahan yang seharusnya berjalan dengan lancar apalagi di tengah rentannya krisis dan permasalahan sosial lainnya. Kementerian yang ada di negara merupakan badan-badan yang mengurus segala aspek vital dalam negara, hal ini tercermin dari banyaknya jumlah kementerian di Indonesia yang mencapai 30 kementerian. Semua badan kementerian ini tidak bisa dikesampingkan secara fungsinya dikarenakan luasnya kepentingan-kepentingan yang harus diatur secara spesifik melalui pembagian sektor-sektornya.

Bayangkan apabila para menteri yang membawahi urusan-urusan penting ini justru menggunakan kesempatan untuk penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebagai salah satu contoh, perekonomian Indonesia terancam ikut dalam arus resesi yang tengah digembar-gemborkan oleh masyarakat dunia. Isu resesi ekonomi ini membutuhkan perhatian lebih oleh para pemegang kebijakan agar negara tidak terjatuh dalam lubang kehancuran hanya karena kinerja yang tidak fokus dan mementingkan kepentingan lain. Tak hanya itu, aspek lain seperti komunikasi, kesehatan, pertahanan, perindustrian, dan aspek lainnya juga dapat terancam akibat kinerja para menteri yang tidak optimal lagi.

3. Hilangnya Independensi terhadap Kebijakan Pemerintah

Independensi diartikan sebagai keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Pemerintah dalam pelaksanaan kebijakannya harus sepenuhnya dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas. Hal ini membutuhkan independensi agar kebijakan pemerintah yang seharusnya berorientasi kepada kebutuhan negara dapat terhindar dari campur tangan politik. Dengan adanya ketidakstabilan kinerja pemerintah akibat adanya penafsiran ini maka kebijakan pemerintah dapat dengan mudahnya kehilangan independensi. Akibat dari hilangnya independensi terhadap kebijakan pemerintah ini yaitu tugas dan kewajiban pemerintah akan dipengaruhi oleh pemangku jabatan yang menyalahgunakan kekuasaannya secara pribadi.

4. Potensi Hilangnya Indeks Kepercayaan Masyarakat terhadap Lembaga Pemerintahan

Kinerja pemerintah yang dicampuri oleh urusan politik dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pemerintah dianggap sebagai suatu lembaga yang mengemban amanah masyarakat sipil untuk menjalankan urusan kenegaraan. Apabila amanah ini disalahgunakan sehingga mengenyampingkan tugas dan wewenang utama pejabat maka masyarakat akan sulit mempercayai pemerintah. Kepercayaan masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam perjalanan roda pemerintahan. Apabila antara masyarakat dan pemerintah tidak memiliki kepercayaan, maka akan timbul defence mechanism pada individu masyarakat. Teori Freud secara gamblang menjelaskan tentang defence mechanism atau mekanisme pertahanan diri sebagai bentuk dari ketidaksadaran individu dalam menghadapi realita. Makna lain dari defence mechanism merupakan suatu keinginan seseorang untuk tidak menerima sesuatu yang tidak diinginkannya walaupun realitanya ada. Apabila defence mechanism telah tertanam dalam setiap individu maka akan berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Sebagaimana M.J. Herskovits menyatakan bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan.

Kesimpulan

Penafsiran terbaru oleh MK terkait persyaratan pencalonan diri menjadi presiden dan atau wakil presiden oleh menteri atau pejabat setingkat menteri merupakan upaya pemerintah yang kontradiksi terhadap tatanan Negara Indonesia. Beberapa dampaknya sangat mungkin terjadi apabila penafsiran ini tidak segera mendapatkan perhatian lagi oleh pihak yang berwenang. Pemerintah sebagai tonggak jalannya negara sudah sepatutnya menimbang keputusan yang dikeluarkan agar tidak merugikan masyarakat untuk kepentingan pribadi.

Oleh

Nadira Karisma Ramadanti*

*Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS Board ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis.

Daftar pustaka dapat dilihat dalam link berikut:

https://docs.google.com/document/d/1owloVSUvexvnR6Uv8CmxLyVXzj1QTQ_O9GbGbE3cCUU/edit?usp=sharing

PLEADS FH Unpad
PLEADS FH Unpad

Written by PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.

No responses yet