Landasan Konstitusionalitas Sistem Pemilu Proporsional Tertutup bagi Indonesia serta Implikasinya terhadap Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat
A. Wacana Sistem Proporsionalitas Tertutup pada Pemilihan Umum 2024
Akhir-akhir ini muncul wacana sistem proporsional tertutup yang diusulkan oleh PDI Perjuangan (PDIP) yang mana usulan ini sudah muncul Februari kemarin oleh partai politik besutan Megawati Soekarnoputri. Mereka mengusulkan agar pemilu 2024 nanti diadakan secara proporsional tertutup dengan alasan bahwa sistem proporsional terbuka menghasilkan berbagai masalah seperti politik uang, calon yang oportunis, pelemahan kelembagaan partai, biaya pemilu yang mahal, dan lain-lain.
Isu tersebut semakin menguat sejak PDIP-Nasdem yang pemilu kemarin berkoalisi resmi melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak partai politik yang menolak dan meminta agar MK tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka di pemilu 2024. Penolakan ini didasari karena sistem proporsional tertutup dianggap sebagai kemunduran demokrasi dan melanggar konstitusi. Oleh karena itu,timbul suatu pertanyaan, benarkah sistem proporsional tertutup melanggar konstitusi? Jika Indonesia kembali ke sistem proporsional tertutup, apakah hal tersebut sesuai dengan jiwa konstitusi Indonesia?
Biaya ongkos dari sistem pemilu proporsional tertutup relatif lebih murah dan mudah untuk dikontrol karena pemilih hanya memilih partai politik saja yang jumlahnya hanya 17 partai politik dibandingkan dengan memilih individu yang bisa mencapai ratusan calon legislatif. Di dalam sistem proporsional terbuka yang hanya untuk menduduki level DPR saja, calon legislatif harus mengeluarkan 4 miliar bahkan 20 miliar rupiah. Hal ini akan berkorelasi positif dengan tingginya kasus korupsi. Tentu saja sistem pemilu seperti ini melanggar konstitusi karena melanggar asas pemilu, yaitu jujur. Mengingat bahwa untuk mengadakan pemilu dengan jujur dan adil, sebaiknya memberikan kesempatan kepada semua pihak yang kompeten untuk berkompetisi, tidak hanya para pemilik modal saja yang bisa mengikuti Pemilu.
Berdasarkan penjelasan di atas, manakah sistem pemilu yang cocok dan efisien untuk diterapkan di Indonesia? Apa dampak positif dan negatif darisistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka? Apa jalur yang tepat untuk ditempuh jika ingin merubah sistem pemilu?
B. Apakah Mengganti Sistem Pemilu Dapat Dikatakan sebagai Bentuk Inkonstitusional?
Jika membaca ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa “Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pemilu yang dimaksud harus diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan. Prinsip keterwakilan sendiri memiliki arti bahwa orang yang terpilih harus menjadi wakil untuk rakyat dan kepentingan bersama, tidak untuk kepentingan elit dan pengusaha. Dengan demikian, untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan keterwakilan rakyat diperlukan sistem pemilu yang sesuai dengan konstitusi negara Indonesia
Secara literal dapat dipahami bahwa konstitusi tidak menentukan jenis sistem pemilu seperti apa yang harus dilaksanakan. Undang-Undang Dasar hanya menyebutkan pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Melalui ketentuan tersebut, maka penulis dapat menafsirkan bahwa secara konstitusional, mengubah kembali sistem pemilu proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup tetaplah konstitusional. Hal tersebut disebabkan sistem proporsional tertutup dapat mendorong peningkatan peran partai politik dalam kaderisasi partai karena dengan sistem tertutup partai mempunyai kekuatan penuh untuk memilih kader yang sudah lama dibina secara ideologis, sehingga hal ini sejalan dengan semangat demokrasi dalam konstitusi Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan melakukan uji materiil terhadap UU Pemilu ke MK adalah sesuatu yang tepat dan tidak melanggar Undang-Undang Dasar 1945 karena hanya MK yang berwenang menguji Undang-Undang Dasar.
Terhadap permohonan ini, Hakim MK Arief Hidayat menyarankan agar para pemohon menguraikan kedudukan hukumnya. Utamanya menyoal kerugian yang bersifat faktual dan konkret, seperti pelemahan partai dan politik uang serta biaya ongkos yang mahal dan tidak efisien. Hal ini disebabkan pada alasan permohonan, para pemohon hanya menjelaskan kerugian yang bersifat filosofis, seperti pancasila dan konstitusi yang sifatnya multitafsir dari diterapkannya UU Pemilu. Selain itu, para pemohon juga bisa membuatkan matriks perbandingan dari sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup dalam pelaksanaan pemilu yang misalnya dengan biaya tinggi, maka memunculkan sifat liberalis, kedaulatan partai, dan lainnya.
C. Dampak Positif dan Negatif dari Sistem Proporsional Terbuka
Sistem pemilu proporsional terbuka mempunyai sisi positif dalam berbagai hal. Pertama, sistem ini mendekatkan kandidat dengan rakyat. Sebagai contoh berkeliling ke berbagai daerah untuk mendapatkan simpati rakyat dan memberikan visi dan misinya, sehingga rakyat kenal dengan calon yang mereka akan pilih dan mengetahui apa janji yang akan diberikan.
Kedua, sistem proporsional terbuka berdampak baik pada demokrasi karena telah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih secara langsung dan menentukan pihaknya terhadap calon legislatif dengan suara terbanyak. Hal tersebut tentu akan menciptakan suatu keadilan, tidak hanya bagi anggota legislatif, melainkan juga bagi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya meskipun ia tidak bergabung sebagai anggota partai politik peserta pemilu.
Ketiga, tidak bergantung terhadap kebijakan partai politik. Sistem proporsional terbuka akan menyebabkan pemenang seorang anggota legislatif tidak bergantung kepada kebijakan partai politik peserta pemilu. Namun, didasarkan kepada seberapa besar dukungan rakyat yang diberikan kepada calon tersebut.pemohon memaparkan melalui pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 22–24/PUU-VI/2008 telah memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka dengan menyatakan bahwa Pasal 22E ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya atas prinsip demokrasi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilu. Selain itu, dapat menjadi landasan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan dalam UU Pemilu agar penyelenggaraan pemilu dapat dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, dampak negatif pada sistem proporsional terbuka nyatanya memberikan masalah yang cukup kompleks yang mana sistem proporsional terbuka dalam empat kali pemilu telah memunculkan banyak sisi gelap. Pertama, sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan untuk menghilangkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat, justru nyatanya memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat itu sendiri. Hal ini tentu dapat melemahkan fungsi partai yang mana bertujuan sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Yang kedua, partai politik tidak lagi berfokus untuk mengejar fungsi sebagai penyalur, pendidikan dan partisipasi politik yang benar. Partai politik tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas program-programnya yang mencerminkan ideologi partai melainkan hanya sekedar untuk mencari fokus kandidat-kandidat yang dapat menjadi magnet untuk meraih suara terbanyak. Di sinilah letak pelemahan partai politik itu terjadi secara struktural. Partai tidak lagi fokus membina kader-kader muda secara serius untuk kepentingan jangka panjang ideologi partai melainkan fokus mencari jalan pintas dengan memburu kader-kader populer berkemampuan finansial untuk mendanai kebutuhan partai. Sebagaimana yang diketahui, banyak sekali kader-kader yang telah mengalami pendidikan kaderisasi partai politik nyatanya harus disingkirkan oleh orang orang yang lebih populer, seperti para artis dan agamawan, yang mana mereka belum tentu bisa bekerja dengan baik ketika di pemerintahan.
Yang ketiga, sistem proporsional terbuka telah mengubah medan pemilu yang seharusnya pertarungan gagasan dan ide menjadi pertarungan kepopuleran dan finansial. Partai politik tidak bisa memberikan sanksi terhadap kader yang terkenal dan yang berkemampuan bagus karena akan berdampak pada partai tersebut. Hal ini membuat posisi partai lemah dalam membuat keputusan dan pemberian sanksi tersebut.
D. Dampak Positif dan Negatif dari Sistem Proporsional Tertutup
Sistem proporsional tertutup mempunyai dampak positif dari berbagai aspek. Pertama, dari segi biaya yang cukup murah. Menurut data dari Kementerian Keuangan bahwa pada pemilu tahun 2020, pemerintah telah mengeluarkan 61 triliun rupiah, sedangkan pada pemilu sistem proporsional tertutup jauh lebih rendah disebabkan yang berpartisipasi hanya partai politik saja. Kedua sistem ini memberikan efek jera pada partai, jika partai mengusung orang-orang yang kurang berkualitas di parlemen, maka rakyat bisa memberikan kritik langsung pada partai, sehingga partai akan memilih orang-orang yang berkualitas. Selain itu, medan tempur pemilu pada sistem proporsional tertutup membentuk pertarungan ide dan ideologis yang mana hal ini berbeda dengan sistem proporsional terbuka yang menitikberatkan pada popularitas dan finansial.Sebagai contoh, masyarakat bisa melihat pertarungan ideologis antara islam dan sekuler/nasionalis di sistem proporsional tertutup dan menurut penulis hal itu jauh lebih baik untuk kepentingan rakyat.
Banyak ahli yang berkata, jika kembali ke sistem proporsional tertutup adalah suatu bentuk kemunduran demokrasi karena pemilih tidak mengetahui siapa calon yang akan dipilih ibaratkan memilih kucing dalam karung. Sebagai contoh, sebelum era reformasi kedekatan rakyat dan wakil cukup jauh karena hanya di sistem proporsional terbuka lah wakil melakukan blusukan, memasang baliho, berkeliling ke daerah-daerah untuk mendapatkan suara.Dampak negatif Penerapan sistem proporsionalitas tertutup yang pertama akan menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif. Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik.
Kedua, sistem proporsional tertutup sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan dari calon wakil ke masyarakat menjadi calon wakil ke partai politik. Hal ini disebabkan kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. Sebagaimana Yang pernah terjadi di zaman orde baru dimana tren politik uang tetap ada dan hanya memindahkan politik uang dari masyarakat ke elit partai. Ketiga, sistem proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin, calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu. Sebagaimana Yang terjadi di zaman orde baru bahwa tingginya praktik nepotisme dapat dilihat dari banyaknya anggota keluarga Soeharto menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Keempat, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat. Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon anggota legislatif berada di bawah kekuasaan partai politik dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik.
E. Penutup
Pemilu Indonesia tahun 2024 harus dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi yang matang dari pemilu beberapa periode ke belakang. Mulai dari perintah konstitusi, demokrasi, kecurangan, biaya politik, anggaran pemilu dan hak asasi manusia. Dengan sistem yang ada sekarang dikhawatirkan hanya akan membuat demokrasi dan kedaulatan rakyat serta kecerdasan politik masyarakat akan semakin memburuk. Sistem proporsional terbuka harus diperbaiki, termasuk salah satunya mempertimbangkan pembahasan sistem proporsional tertutup dengan konvensi internal partai yang ketat.
Mahkamah Konstitusi harus jeli melihat dampak dari sistem proporsionalitas terbuka tanpa mengenyampingkan konsep kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam teknis pelaksanaan, regulasi yang mengaturnya harus memperhatikan kemungkinan money politic yang jika dibiarkan akan menjadi prevalensi di tengah masyarakat Indonesia, serta efisien waktu dan hak dari penyelenggara.
Guna mengubah sistem pemilu lagi pemerintah dan masyarakat sipil harus membuka diskursus dengan terbuka dan melihat dari berbagai aspek, seperti politik, hukum, dan sosiologis. Jangan sampai dengan mementingkan aspek efisiensi saja justru membuat demokrasi dan partisipasi rakyat menurun. Pemilu yang baik harus menitikberatkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebagaimana standar hukum internasional penyelenggara pemilu untuk menjamin agar lembaga bekerja secara independen, yaitu berdasarkan pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1944 dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Tahun 1966 pasal 5.
Ditulis Oleh:
Fadel Imam Muttaqin*
*Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS Board ke-12, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis
Daftar Pustaka dapat diakses melalui link berikut ini:
https://docs.google.com/document/d/1N-f67gWCbkDDUvVk9TFubL3HHfwZWu67cx8sowgH6hA/edit?usp=sharing