Mengkaji Konsep Living Law dalam RKUHP dan Implikasinya terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
A. RKUHP dan Konsep Living Law
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan jantung dari pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Hingga saat ini, KUHP yang berlaku di Indonesia adalah peninggalan Kolonial Belanda. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia berupaya menggagas rencana pembaharuan KUHP agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dengan membuat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Upaya tersebut telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. RKUHP yang dicanang-canangkan, tidak kunjung rampung dibahas dan disahkan menjadi KUHP nasional. Setelah melalui berbagai proses dan terpaan dari masyarakat, pemerintah akhirnya menyatakan akan mengesahkan RKUHP sebelum tanggal 17 Agustus tahun 2022. Sayangnya, pada draf terakhir yang diberikan kepada masyarakat tanggal 4 Juli tahun 2022, masih terdapat pasal-pasal yang kontroversial. Salah satunya adalah Pasal 2 RKUHP mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Pengadopsian living law terhadap RKUHP dilakukan karena Hukum Pidana Indonesia tengah berusaha untuk melepaskan diri dari citra “warisan kolonial” yang selama ini disandangnya (Nawawi, 2015). Namun, pengadopsian living law dalam RKUHP tidak semudah membalikan telapak tangan, masyarakat menimbang bahwa banyak konsekuensi buruk yang akan terjadi apabila Pasal 2 RKUHP mengenai living law tetap akan diadopsi tanpa kepastian lebih lanjut akan penerapannya.
Adapun bunyi Pasal 2 RKUHP sebagai berikut, “(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.”
Selanjutnya penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana’ adalah hukum pidana adat. Kemudian, untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah (Perda) masing-masing tempat berlakunya hukum pidana adat. Kemudian yang dimaksud dengan ‘berlaku dalam tempat hukum itu hidup’ pada ayat (2) adalah berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut.”
Penjelasan tersebut menegaskan serta mengerucutkan pengadopsian hukum pidana adat (delik adat) sebagai living law. Pemerintah Indonesia maupun Tim Perumus RKUHP menyatakan bahwa pemberlakuan living law dalam RKUHP dimaksudkan untuk menghidupkan dan mengakomodir keberlakuan hukum pidana adat. Selain itu, pembentukan kompilasi hukum pidana adat yang berasal dari Perda diyakini oleh perumus sebagai cara yang lebih menjamin rasa keadilan masyarakat. Namun, keefektivitasan bunyi pasal serta penjelasan yang penulis garis bawahi di atas masih perlu dikaji serta didiskusikan lebih lanjut lagi mengenai kesesuaiannya oleh masyarakat, terutama masyarakat adat serta pemerintah sehingga usaha meleburkan living law dengan sistem hukum nasional dapat mencapai tujuan hukum yaitu, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Tidak serta merta hanya untuk membangun kesan keindonesiaan pada RKUHP tanpa esensi dan justru menimbulkan kesemrawutan, penyalahgunaan, serta situasi yang mengkhawatirkan lainnya.
B. Hukum Pidana dan Hukum Pidana Adat
Sebelum mengkaji lebih lanjut, pembaca harus memahami terlebih dahulu konsep hukum pidana serta konsep hukum pidana adat itu sendiri. Ada berbagai pengertian dari para ahli hukum mengenai hukum pidana. Menurut Simons, hukum pidana adalah semua tindakan keharusan dan larangan yang dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya yang diancamkan dengan derita khusus, yaitu pidana. Di sisi lain, Hilman Hadikusuma yang dikutip oleh Dr Erdianto Effendi mendefinisikan bahwa hukum pidana adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) karena peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditegaskan kembali bahwa hukum pidana barat menekankan pada peristiwa apa yang dapat diancam dengan hukuman pidana (mati, penjara, denda, dll), dikarenakan peristiwa itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan hukum pidana adat menitikberatkan pada adanya akibat sehingga seseorang harus bertanggung jawab atas akibat itu walaupun perbuatan tersebut tidak tertulis dalam undang-undang (Erdianti Efendi, 2018).
Pada hakikatnya eksistensi hukum adat harus dijaga oleh masyarakat dan negara. Hal tersebut juga didukung oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” yang menyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama bekas jajahan kolonial), pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.
C. Analisis Potensi Kisruh Pasal 2 RKUHP
Berdasarkan penjelasan di atas, memang terdapat urgensi untuk menjaga eksistensi hukum adat. Namun, ada beberapa kerancuan yang ditemukan dan diperdebatkan oleh masyarakat mengenai Pasal 2 RKUHP. Pengakomodiran hukum pidana adat sebagaimana niat pemerintah memunculkan pasal tersebut masih sangat sederhana dan cenderung menciptakan ketidakpastian hukum di tengah kompleksitas masyarakat Indonesia. Sebagaimana mestinya, living law bersifat tidak statis dan seharusnya tidak terkodifikasi dalam Perda. Pembakuan hukum tersebut justru mengurangi bahkan dapat menghilangkan sifat kedinamisan hukum adat. Persoalan lainnya penulis sajikan sebagai berikut:
- KETIDAKTEPATAN PEMAKNAAN LIVING LAW
RKUHP memaknai living law sebagai hukum pidana adat yang diatur dan dikompilasi dalam Perda. Padahal, hukum adat memiliki sifat dinamis yang turut berkembang beriringan dengan masyarakat. Dinamisasi tersebut merupakan sifat esensial dari hukum adat. Oleh karena itu, upaya positivisasi hukum adat dalam Perda justru akan mengaburkan ciri utama dari hukum adat.
Bayangkan, jika suatu norma pidana adat tertentu harus ditetapkan terlebih dahulu dalam sebuah Perda, maka secara a contrario norma adat lain yang sejatinya masih benar benar berlaku dan hidup di dalam masyarakat, tetapi tidak diatur dalam Perda justru akan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum.
Keberadaan hukum adat sebagai living law membawa konsekuensi logis akan adanya perkembangan makna dari norma itu sendiri. Sehingga, bentuk penetapan tertulis yang kaku berdasarkan Perda sebagaimana diwacanakan RKUHP justru bertabrakan dari hakikat hukum adat sebagai living law.
Perlu kita pahami bersama, saat ini politik hukum pembentukan peraturan perundang undangan sedang tidak baik baik saja. Besar kemungkinan wacana agar pemerintah akan mengkompilasi living law dalam sebuah Perda tidak akan pernah terwujud. Alih alih memperkuat, hal tersebut justru akan menciptakan deadlock bagi hukum adat itu sendiri. Berdasarkan hal itu, pemerintah masih membutuhkan kajian yang sangat panjang dengan membuka seluas luasnya, partisipasi masyarakat yang komprehensif (meaningful participation) untuk kembali mengkaji kedudukan living law dalam pasal 2 RKUHP.
2. KONTRADIKSI ASAS LEGALITAS
Kalimat “seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini” pada Pasal 2 ayat (1) RKUHP terkesan secara gamblang menyatakan kontradiksi terhadap Pasal 1 ayat (1) RKUHP yang berbunyi “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Pasal 1 atau asas legalitas tersebut sejatinya merupakan dasar dari berlakunya seluruh pasal dalam RKUHP dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penegak serta penguasa hukum. Apabila Pasal 2 RKUHP nantinya disahkan, boleh jadi pasal tersebut menjadi sarana pembuka celah kesewenang-wenangan penguasa hukum. Selain itu, kehadiran Pasal 2 RKUHP dapat meluaskan sekaligus mengabstraksi makna asas legalitas itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum yang abstrak sangat berbahaya bagi masyarakat. Akan tetapi, jika ditelisik, penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa berlakunya living law yang dipersamakan dengan hukum adat tersebut akan ditegaskan dan dikompilasi dalam Perda sehingga apabila nantinya memang tertuang dalam Perda maka hal tersebut dapat menepis kontradiksi asas legalitas.
3. TINGGINYA SEMANGAT KRIMINALISASI
Pasal 601 ayat (1) RKUHP juga mengatakan bahwa “Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang diancam dengan pidana.” Berdasarkan pasal tersebut, RUU KUHP hanya menggunakan “living law” untuk menjatuhkan pidana, tetapi mengabaikan “living law” sebagai dasar mengurangi pidana atau membebaskan seseorang dari pidana.
Sebagai informasi, hukum adat sesungguhnya bersifat holistik (menyeluruh). Tidak ada pembedaan antara hukum adat yang sifatnya privat (perdata) maupun publik (pidana). Hukum adat yang bersifat melarang, mantang, beserta sanksi-sanksi yang didapatkan, tidak langsung dapat digolongkan sebagai sebuah hukum pidana. Sebab pada praktiknya, hukum adat tidak selalu berakhir pada penjara, cambuk, dan hukuman semacamnya. Melainkan dapat juga berupa pemberian ganti rugi, upacara, ataupun ritual mistik tertentu. Selain itu, esensi dari hukum adat serta pemidanaan RKUHP sangat berbeda. Dimana tujuan pemidanaan dalam RKUHP cenderung untuk membalas, membuat jera, menjaga moral dan kepentingan publik, serta mencegah repetisi peristiwa serupa. Berbeda dengan esensi hukum adat yang masih kental dengan tujuan untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan diri, komunitas, serta semesta. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat diindikasikan tingginya semangat kriminalisasi pemerintah terhadap masyarakat. Peliknya, lagi-lagi hal tersebut kontradiksi dengan situasi over kapasitasnya lapas di Indonesia.
4. DUALISME HUKUM
RKUHP menjelaskan bahwa untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat, perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Perda masing-masing. Artinya, pengaturan mengenai living law akan ditindaklanjuti dengan pembuatan kompilasi hukum adat melalui Perda sebagai panduan hakim. Pembakuan ini akan menghasilkan dua corak hukum adat, yaitu hukum adat yang telah dinormalisasikan (berdasarkan Perda) dan hukum adat yang benar-benar hidup di masyarakat.
Kehadiran hukum adat versi negara tentu tidak akan menghapus keberadaan hukum adat yang berlaku dan terinternalisasi dalam perilaku masyarakat. Oleh karena itu, dualitas ini berpotensi untuk menimbulkan kebingungan bagi penegak hukum ketika kedua versi hukum adat tersebut saling bertentangan ini. Di satu sisi, penegak hukum memiliki kewajiban untuk menemukan dan menggali hukum yang senyatanya hidup di masyarakat. Pada sisi yang lain, penegak hukum juga diwajibkan tunduk pada hukum adat yang telah dituliskan dalam Perda. Opsi yang pertama membutuhkan penegak hukum yang memiliki kemampuan untuk memahami tatanan lokal dimana hukum adat tersebut tumbuh dan keberanian untuk mengesampingkan Perda. Sementara itu, memilih opsi yang kedua justru mengabaikan tatanan lokal yang senyatanya berlaku di masyarakat. Apapun opsi yang dipilih, RUU KUHP tidak menyediakan pedoman yang memadai bagi penegak hukum untuk merespon dualitas tersebut (Tody Sasmitha, 2020).
5. Ketidakpastian Hukum
Pasal 2 ayat (2) RKUHP mengatakan bahwa “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup …” Artinya, living law berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut. Di satu sisi, hukum Indonesia menganut asas fictie hukum dimana begitu suatu norma hukum diberlakukan, maka pada saat itu pula setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan seseorang itu dari tuntutan hukum (Jimly Asshiddiqie, Makalah, 2008). Disisi lain dalam hukum pidana berlaku asas gen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan), dimana hanya orang yang willen dan witten (mengetahui dan menyadari ketercelaan suatu perbuatan) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Lingkup pemberlakuan RKUHP, tentunya berskala nasional. Di lain sisi, saat ini adalah zaman modern, seseorang dapat bepergian dari satu daerah ke daerah lain entah karena kebutuhan pekerjaan, berlibur, dan lain-lain. Apabila seseorang di luar adat suatu daerah melakukan tindakan yang menurut adat disana adalah tindak pidana, sedangkan menurut yang ia ketahui (sesuai daerahnya) hal tersebut bukan tindak pidana, maka akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum ditengah masyarakat
6. SARANA INVENTARISASI PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT ADAT
Pasal 96 serta pasal 66 dalam RKUHP menggolongkan hukum pidana adat sebagai pidana pokok apabila belum diatur dalam RKUHP dan juga sebagai pidana tambahan apabila sudah diatur dalam RKUHP. Hal tersebut menyebabkan pelaku pidana akan terkena hukuman dobel, yaitu berdasarkan pidana biasa sekaligus hukum adat.
Selain begitu memberatkan, kedudukan hukum adat juga bergeser hanya sebagai hukuman tambahan sedangkan pokok acuan menyelesaikan hukuman tetap berada pada pidana biasa. Kewenangan masyarakat adat sendiri untuk menegakkan hukum adatnya akan diintervensi oleh pemerintah karena hukum adat yang dikompilasikan dalam Perda akan dilaksanakan atau ditegakkan oleh “orang asing” atau hakim di pengadilan negeri sebagaimana mekanisme pidana umum bukan diselesaikan oleh “tuan rumah” alias komunitas adat melalui musyawarah adatnya sendiri.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, “apakah pasal ini kedepannya dapat mengakomodir hukum adat?” Kendati mengakomodir, boleh jadi penyusunan Perda pidana adat tidak melibatkan tuannya.
D. Solusi
Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi bahwa penggunaan istilah masyarakat adat di dalam peraturan perundang-undangan masih tidak konsisten. Seyogyanya, pemerintah mengkompilasi terlebih dahulu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence), sehingga akan memperjelas hukum adat apa, bagaimana penerapannya, dan dimana pemberlakuannya. Hal tersebut dapat mencegah interpretasi asal masyarakat mengenai hukum adat yang berlaku sehingga tidak terjadi over kriminalisasi dan diskriminasi. Selain itu, hal tersebut juga dapat memperjelas kedudukan masyarakat adat untuk tetap menegakkan hukum adatnya.
Sebagaimana pernyataan pemerintah, pengesahan RKUHP sudah sangat mendesak. Apabila RKUHP tetap akan disahkan dengan mengadopsi Pasal 2 mengenai Living Law-nya. Penulis sedikit berpendapat bahwa setidaknya, harus ada pasal dalam RKUHP yang menyatakan “Barang siapa yang telah dihukum berdasarkan hukum adat, maka tidak dapat dikenai hukuman pidana berdasarkan delik-delik yang dirumuskan dalam RKUHP ini” Begitupun sebaliknya, jika sudah dihukum berdasarkan KUHP, maka tidak bisa dihukum dengan hukum adat karena tidak menutup kemungkinan adanya duplikasi delik, melanggar adat dan juga melanggar KUHP, begitupun sebaliknya.
…
Oleh
Kartika Eka Pertiwi*
*Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS FH Unpad ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis.
…
Daftar Pustaka dapat dilihat melalui link berikut
https://docs.google.com/document/d/1Hn3nclRDgKeHdD2mb3EQpZTU2V_9hKp3tXsemHox05Y/edit?usp=sharing