Mengurai Kontroversi Surrogate Mother dan Kesenjangan Hukum di Indonesia
a. Pendahuluan
Setiap orang berhak untuk membentuk rumah tangga nya dan melanjutkan keturunan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa pada hakikatnya perkawinan dianggap sebagai sebuah ikatan yang sakral bagi pasangan yang menjalaninya untuk menciptakan sebuah keluarga yang kekal. Namun pada kenyataannya, tidak semua pasangan suami istri dapat memperoleh buah hati dengan mudah, hal ini dapat terjadi apabila salah satu dari suami atau istri mempunyai kelainan pada alat reproduksinya yang menyebabkan infertilitas, yang berarti suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum mampu memiliki anak meskipun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2–3 kali dalam seminggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan, terdapat berbagai cara dan temuan baru yang dihasilkan. Salah satunya metode yang disebut sebagai program bayi tabung atau inseminasi buatan (In Vitro Fertilization) yang dapat membantu permasalahan bagi pasangan suami dan istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan. Hal ini yang disebut sebagai perjanjian surogasi (Surogation Agreement) merupakan suatu kesepakatan diantara seorang wanita, dimana melalui perjanjian tersebut berkomitmen untuk hamil dengan menggunakan hasil pembuahan dari pasangan suami dan istri yang kemudian ditanamkan ke dalam rahimnya. Setelah melahirkan, ia diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami dan istri berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.
Praktik mengenai sewa rahim telah banyak dilakukan diluar negeri seperti di Amerika Serikat, Ukraina, Australia, Georgia, Thailand, Pakistan, Meksiko, Kolombia, India, Bangladesh, dan China. Beberapa negara tersebut diberikan fasilitas oleh pemerintah di negaranya dengan dibuatkan pusat untuk model sewa rahim termasuk pembuatan visa khusus dan visa medis. Sebelumnya, Surrogate Mother pernah diterapkan di Indonesia, salah satunya di daerah Mimika, Papua tahun 2004 yang berawal dari pasangan suami istri yang mengalami kesulitan untuk memiliki keturunan. Saat mencoba proses bayi tabung, hal tersebut tidak memungkinkan karena sang istri mengalami infeksi parah dalam kandungannya. Kemudian, dokter menjelaskan terkait Surrogate Mother atau Ibu Pengganti, dimana hasil pembuahan suami istri dapat ditanamkan pada rahim wanita lain. Prosedur tersebut dijalankan dengan bantuan M yaitu adik dari S yang bertindak sebagai ibu pengganti.
Meskipun pada kenyataannya, penerapan aturan mengenai sewa rahim di Indonesia hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Timbulnya praktik tersebut masih menjadi perdebatan karena menimbulkan berbagai persoalan hukum, sebagaimana yang diketahui bahwa di Indonesia praktik mengenai sewa rahim bertentangan dengan hukum positif Indonesia dan tidak memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sah perjanjian yang tidak terpenuhi dalam perjanjian Surrogate Mother yang dapat dibatalkan secara hukum jika salah satu syarat objektifnya, yaitu “suatu sebab yang tak terhalang” tidak terpenuhi. Maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sehingga, segala bentuk perjanjian terkait Surrogate Mother di Indonesia akan batal demi hukum dan bertentangan dengan aturan dalam KUHPerdata, Undang-Undang Kesehatan, dan Undang-Undang Perkawinan.
B. Bagaimana Legalitas Surrogate Agreement berdasarkan Hukum Positif Indonesia?
Pada dasarnya, pelaksanaan mengenai Surrogate Mother di Indonesia yang melibatkan Surrogate Agreement tidak dapat dilakukan karena belum ada regulasi spesifik yang mengaturnya. Indonesia, melarang segala bentuk tindakan Surrogacy yang dianggap tidak sesuai dengan berlakunya hukum positif di Indonesia. Sejalan dengan hal ini, sama halnya bahwa sebagian besar negara Eropa juga menolak konsep Surrogate Mother karena dianggap tidak sesuai dengan kebijakan publik dan komersialisasi tubuh manusia. Persoalan mengenai sewa rahim, berkaitan dengan moral manusia meskipun bukan dari benih ibu tersebut, namun anak yang dilahirkan berasal dari benih yang ditanamkan pada seorang ibu pengganti yang kemudian diserahkan kepada keluarga yang menyewa rahim. Bahwasanya, rahim yang dimiliki oleh seorang wanita bukanlah mesin untuk memproduksi seorang anak, namun organ reproduksi proses pembuahan yang didasarkan pada syarat dan nilai moral yang terkandung.
Secara moral, seorang ibu ditunjukkan pada perempuan yang pernah mengandung dan melahirkan anak, kendati jika anak yang dikandung bukan berasal dari rahimnya sendiri, hal ini cukup bertentangan dengan keberadaan ibu pengganti dalam perspektif moral dan hukum di Indonesia. Dimana Surrogate Agreement yaitu sebuah perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak kepada seseorang, dimana dua orang tersebut berjanji untuk melaksanakan hal yang menimbulkan suatu perikatan berupa janji yang bentuknya tertulis berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, pada kenyataanya tindakan tersebut justru bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata, sebagaimana yang disebutkan dalam butir 4 mengenai suatu sebab yang halal bahwa tindakan Surrogacy ini bukan merupakan tindakan yang halal, karena pelaksanaannya batal demi hukum dan tidak terdapat aturan dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
Berkaitan dengan aturan yang serupa, dalam Pasal 124 ayat (3) Undang-Undang No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan bahwa organ atau jaringan tubuh sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilarang dikomersialisasikan atau diperjualbelikan dengan alasan apapun. Hal tersebut dikarenakan organ manusia bukan untuk diperjualbelikan atau disewakan. Transplantasi organ atau jaringan tubuh hanya dapat dilalkukan untuk tujuan penyembuhan penyakit tertentu dan memulihkan kesehatan dengan tujuan kemanusiaan. Selain itu, jika ditinjau berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa untuk memperoleh suatu keturunan harus melalui perkawinan yang sah, sementara dalam prosedur Surrogate Mother bahwa anak yang dilahirkan bukan berasal dari suatu perkawinan yang sah jika wanita sebagai ibu pegganti berstatus sebagai seorang janda. Sehingga, upaya kehamilan di luar cara alamiah dan tidak berkaitan selain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut, termasuk aturan menganai Surrogate Mother secara hukum tidak dianggap illegal diterapkan di Indonesia.
C. Bagaimana Kedudukan Status Anak yang Lahir dari Hasil Surrogate Mother?
Status anak yang dilahirkan berdasarkan Surrogate Agreement dapat ditinjau dari dua sudut pandang. Apakah ibu pengganti tersebut seorang janda atau telah terikat perkawinan dengan suaminya? Jika ibu pengganti tersebut seorang janda, maka anak yang dilahirkan termasuk anak di luar perkawinan. Bahwa anak yang lahir tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu pengganti dan keluarga ibunya tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, jika anak tersebut lahir dari ibu pengganti yang telah bersuami atau telah terikat dengan perkawinan, maka anak tersebut adalah anak sah dari pasangan suami istri yang menyewakan rahimnya.
Meskipun suami dari ibu pengganti tersebut dapat menolak kehadiran anak yang lahir yang bukan anak kandungnya. Hal ini dapat dilakukannya pengajuan ke pengadilan untuk melakukan tes DNA sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata anak sah merupakan anak yang dilahirkan dari Perkawinan yang sah, berdasarkan hal tersebut bahwa anak yang lahir dari hasil Surrogacy dianggap anak yang tidak sah. Pandangan mengenai hal ini masih memicu perdebatan dan hingga saat ini bertentangan dengan hak anak untuk mendapatkan identitas dan hak yang dijamin oleh hukum.
D. Surrogate Agreement yang Telah Diterapkan di Berbagai Negara
Meskipun di Indonesia masih memicu perdebatan mengenai berlakunya Surrogate Agreement dan belum ada aturan spesifik yang mengaturnya yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Namun, terkait dengan Surrogate Agreement diberbagai negara telah diterapkan dengan berbagai aspek yang berbeda di setiap negaranya. Seperti di negara Amerika Serikat yang mengaku adanya pemberlakuan terkait prosedur tersebut yang dianggap legal bagi pasangan suami istri yang datang dari luar Amerika Serikat sebagai Surrogate Mother, India merupakan salah satu negara pertama yang melegalkan terkait adanya Surrogate Agreement yang dipengaruhi oleh ketentuan dalam Assisted Reproductive Technology Regulation Bill pada tahun 2010, dimana proses ini dilakukan oleh orang tua sebagai pembawa benih yang harus membayar semua biaya yang digunakan selama kehamilan berlangsung sampai lahirnya bayi tersebut.
Kemudian, ada di negara Thailand yang melegalkan Surrogate Agreement melalui beberapa klinik Invitro Fertilisation yaitu penyedia jasa ibu pengganti yang memperbolehkan meminjam rahim dari wanita Thailand sebagai ibu pengganti. Selain itu, Australia yang mengizinkan praktek peminjaman rahim dengan melibatkan warga asing yang rahimnya dapat disewa, dengan kompensasi akan dibayar sejumlah uang dan biaya perawatan selama kehamilan berlangsung, serta beberapa negara lainnya. Namun, praktik ini harus dilaukan murni untuk menolong pasangan suami istri yang sangat ingin mempunyai anak.
E. Penutup
Indonesia hingga saat ini masih belum melegalkan terkait adanya Surrrogate Mother dan belum adanya aturan spesifik yang mengatur terkait prosedur tersebut, dikarenakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan permasalahan etis mengenai moralitas rahim, dimana rahim bukan objek untuk diperjualbelikan atau disewakan. Berkaitan dengan hal tersebut, bahwa anak yang lahir dari Surrogate Mother dapat ditinjau dari dua hal tergantung dengan status perkawinan ibu pengganti tersebut. Jika ibu pengganti tersebut janda, maka anak dianggap lahir di luar perkawinan, sedangkan jika ibu pengganti tersebut sudah menikah, anak dianggap sah dari pasangan suami istri yang menyewakan rahimnya. Kendati demikian, bahwa status hak anak tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Meskipun Indonesia tidak menyetujui terkait berlakunya Surrogate Mother, namun di berbagai negara telah menerapkannya dengan berbagai perspektif. Seperti di negara Amerika Serikat yang mengakui legalitasnya bagi pasangan suami istri asing, India sebagai negara pertama yang telah melegalkan Surrogate Agreement, Thailand dan Australia, serta sejumlah negara lainnya yang mempunyai penerapan dan regulasi yang berbeda terkait praktek tersebut.
Ditulis oleh:
Nathania Ratna Debriana*
*Penulis adalah Wakil Kepala Biro Pengembangan Hukum PLEADS Board ke-12, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis.
Editor:
Nusaibah F. Makarim & Reza Nulvetrian**
**Editor adalah Kepala dan Wakil Kepala Biro Kajian PLEADS Board ke-13. Editor bertanggung jawab terhadap keseluruhan fungsi penyuntingan naskah, dengan tanggung jawab terkait kesalahan substansi akan dikembalikan kepada penulisnya.
Sumber: