Menilik Potret Modus PHK Karyawan dalam Bingkai Penghindaran Kewajiban Perusahaan untuk Membayar THR

PLEADS FH Unpad
10 min readMay 25, 2023

--

A. Pendahuluan

Pada hakikatnya, Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan pastinya membutuhkan orang lain di kehidupannya, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan. Narasi tersebut sesuai dengan pernyataan dari Aristoteles yang mengemukakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Hakikat ini tentu membawa konsekuensi bahwa hubungan antar manusia sejatinya diciptakan untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dasar hidup masing-masing. Tidak terkecuali, hubungan dalam aktivitas pekerjaan guna menyokong kehidupan dasar manusia. Berkaca pada hak seseorang untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D ayat (2) telah memberikan jaminan bahwasanya “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Dalam pasal tersebut, implementasi dari imbalan yang diberikan kepada para pekerja berupa penghasilan yang layak dan mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar. Salah satu wujud penghasilan yang bisa didapatkan adalah Tunjangan Hari Raya (THR).

THR menjadi salah satu hal yang sangat berkaitan dengan pekerja, khususnya para pekerja di lingkup perusahaan. Hal ini disebabkan THR Keagamaan menjadi sebuah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan. THR menjadi salah satu penghasilan non upah para pekerja untuk perusahaan tertentu dan perlu ditekankan kembali, bahwa THR wajib dibayar ke pekerja oleh perusahaan. Akan tetapi, pada faktanya di lapangan, pada tahun 2023 masih banyak perusahaan yang belum membayarkan THR kepada para pekerjanya.

Pada tahun 2023, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat ada 2.368 aduan terkait pembayaran THR dari berbagai pegawai di 1.529 perusahaan. Dari beberapa aduan tersebut, terdapat perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada pekerjanya demi mencegah pemberian THR pada pekerja yang telah di PHK. Padahal, THR Keagamaan wajib dibayarkan paling lama 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. Walaupun pada faktanya Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, telah menghimbau para pengusaha untuk tidak melakukan modus tersebut, tetapi apakah langkah PHK yang dilakukan oleh perusahaan benar-benar akan menghindari mereka dari membayar THR terhadap pekerja yang dikenakan PHK tersebut?

Pada dasarnya, PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Bagi pekerja, PHK berdampak langsung pada jaminan pendapatan (income security) bagi diri dan keluarganya, sedangkan bagi pengusaha, PHK berarti kehilangan pekerja yang selama ini telah dididik dan memahami prosedur kerja di perusahaannya. Namun, dalam literatur hukum ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK yang salah satunya disebabkan oleh pengusaha karena adanya keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur tertentu. Walaupun PHK tidak serta merta dikarenakan oleh kemauan pengusaha, tulisan ini hanya akan memfokuskan terkait PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerjanya. Lantas, apakah dengan PHK setiap pekerja masih memiliki haknya untuk mendapatkan THR? Kajian ini ditulis untuk menjawab pertanyaan tersebut serta untuk menguraikan terkait sanksi bagi perusahaan yang tidak membayar THR serta bentuk perlindungan bagi pekerja yang di PHK, tetapi tidak mendapatkan THR sesuai dengan haknya.

Photo by Fauzan on Unsplash

B. Jenis pekerja yang berhak mendapatkan THR setelah terkena PHK dan mekanisme pemberiannya

Pada umumnya, THR diberikan oleh pengusaha kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan dari pekerja tersebut. THR diberikan dengan tujuan untuk meringankan beban pekerja akibat melonjaknya pengeluaran pekerja dalam menjalankan hari raya keagamaannya. Semenjak diatur dalam produk hukum, ketentuan mengenai THR Keagamaan sejatinya telah menjadi hak normatif bagi pekerja dari pengusaha, tempat ia menjalankan pekerjaannya tersebut. Sesuai dengan aturan yang berlaku, THR wajib diberikan oleh Pengusaha kepada pekerja yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Kedua jenis perjanjian tersebut hadir dalam rangka dibutuhkannya perjanjian bagi pekerja dengan pengusaha sebagai landasan hubungan kerja. Walaupun PKWTT dan PKWT terdengar hampir sama, tetapi kedua hal ini memiliki pengertian yang berbeda. Adapun PKWT adalah perjanjian kerja yang didasarkan pada jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Sifat dari PKWT yaitu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Sementara itu, PKWTT adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan Hubungan Kerja yang bersifat tetap.

Pemberian THR kepada pekerja PKWTT dan PKWT pun memiliki beberapa syarat dan mekanisme yang harus dipenuhi. THR biasanya dibayar menjelang hari raya agama dari masing-masing pekerja. Namun, THR juga bisa dibayarkan sekaligus kepada semua pekerjanya menjelang satu hari raya agama tertentu selama hal tersebut diatur di dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau di Perjanjian Kerja Bersama (PKB) perusahaan tersebut. Bagi pekerja yang masa kerjanya 12 bulan secara terus menerus atau lebih, maka ia akan mendapatkan THR sebesar 1 bulan upahnya pada perusahaan tersebut. Bagi pekerja yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: jumlah masa kerja dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah. Dari ketentuan tersebut, maka pekerja yang masa kerjanya masih dibawah 1 (satu) bulan tidak akan mendapatkan THR.

Namun, jika berbicara mengenai pihak yang masih berhak mendapatkan THR setelah di PHK, tak semua jenis pekerja berhak untuk mendapatkannya. Hal ini dikarenakan dalam regulasi yang berlaku di Indonesia, hanya pekerja yang didasarkan pada PKWTT lah yang berhak mendapatkan THR Keagamaan setelah di PHK, bukan pekerja yang didasari dengan PKWT. Secara tegas dinyatakan bahwa pekerja yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan berhak atas THR Keagamaan.

Sayangnya, ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi pekerja di Perusahaan seperti di atas, hanya berlaku bagi pekerja dengan PKWTT. Hal ini berarti bahwa bagi pekerja kontrak (pekerja yang dipekerjakan dengan PKWT), walau kontrak hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap tidak berhak atas THR. Berdasarkan ketentuan yang mengatur terkait pihak yang mendapatkan THR setelah di PHK, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada toleransi ketentuan mengenai batasan waktu 30 hari sebagaimana yang dimaksud di atas. Alhasil, terkhusus pekerja kontrak yang berhak atas THR harus benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja sekurang-kurangnya sampai pada “Hari H” Hari Raya Keagamaan, sesuai agama yang dianut oleh pekerja yang bersangkutan. Namun, patut menjadi perhatian bahwa pekerja yang berhak mendapatkan THR setelah di PHK adalah pekerja yang mengalami PHK terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaannya.

PHK menurut jenisnya tidak hanya oleh pihak perusahaan saja, tetapi dapat juga terjadi karena keinginan dari pekerja itu sendiri atau biasa dikenal dengan resign. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan pribadi harus memenuhi syarat yaitu mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal resign, tidak terikat dalam ikatan dinas, dan telah menjalankan kewajibannya hingga tanggal dimulai pengunduran diri. Pekerja yang melakukan resign dalam jangka waktu 30 hari menjelang hari raya keagamaan masih berhak untuk mendapatkan THR. 30 hari yang dimaksud disini, yaitu dalam tanggal efektif resign dan bukan tanggal pengajuan surat resign. Jika tanggal pengajuan surat resign adalah sebelum 30 hari menjelang hari raya keagamaan, tetapi tanggal efektif resign masih dalam jangka waktu 30 hari tersebut, maka pekerja masih berhak untuk mendapatkan THR.

Pada kenyataannya, berdasarkan peraturan yang telah ada, melakukan PHK terhadap pekerja bukanlah menjadi kunci atau solusi untuk tidak membayar THR. Hal ini disebabkan berdasarkan pada ketentuan serta kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun perusahaan telah melakukan PHK ternyata kewajiban untuk membayar THR masih ada, terkecuali untuk pekerja yang berdasarkan PKWT dan pada hari raya keagamaan statusnya sudah tidak aktif sebagai pekerja.

C. Sanksi yang akan Diterima oleh Perusahaan yang Telat atau Tidak Membayar THR Kepada Pekerjanya serta Bentuk Perlindungan Hukum bagi sang Pekerja

Sesuai dengan regulasi yang ada, THR Keagamaan menjadi hal yang krusial antara pengusaha dan juga pekerja. Hal inilah yang menyebabkan THR menjadi hal yang wajib untuk dipenuhi pengusaha dan sudah menjadi hak pekerja untuk mendapatkannya. Walaupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara rinci terkait THR, hal ini berhasil dilengkapi dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja di Perusahaan. Namun, perlu diingat bahwa perusahaan dapat mengatur lain mengenai besaran THR dalam perjanjian kerja, PP, PKB, atau kebiasaan, dengan syarat besarnya THR yang diatur tersebut lebih besar dari nilai THR yang diatur dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2016.Hal lain yang patut diperhatikan adalah kesepakatan THR dalam PP dan PKB perlu tetap dilandaskan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menekankan agar semua perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik.

Adapun sanksi yang dapat didapatkan pengusaha jika terlambat untuk membayar THR yakni akan dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar. Hal ini mengacu pada aturan yang mengharuskan THR untuk dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan sang pekerja. Namun, perlu diperhatikan bahwa pengenaan denda lima persen terhadap keterlambatan pemberian THR tersebut tidak serta-merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR tersebut terhadap pekerja yang bersangkutan. Denda lima persen tersebut pun diharuskan untuk dikelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan pekerja yang diatur dalam PP dan PKB.Namun sayangnya, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 belum mengatur lebih spesifik mengenai mekanisme dan juga pengelolaan denda tersebut. Hal ini mengakibatkan kurang kuatnya kepastian hukum bagi pekerja jika mekanisme pengelolaan denda tersebut belum atau bahkan tidak tercantumkan di PP ataupun PKB di perusahaan yang bersangkutan. Alangkah lebih baik jika dihadirkannya ketentuan lebih lanjut terkait mekanisme dan pengelolaan denda 5% bagi perusahaan yang telat membayarkan THR agar tidak terlalu bergantung dengan isi ketentuan yang ada di PP ataupun PKB sebuah perusahaan.

Bagaimana jika pada kasusnya sang pengusaha sama sekali tidak membayar THR Keagamaan yang sudah menjadi hak sang pekerja? Pada kondisi tersebut, pengusaha yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administratif yang akan dilakukan secara bertahap, yakni :

  1. Teguran tertulis
  2. Pembatasan kegiatan usaha
  3. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi
  4. Pembekuan kegiatan usaha

Sanksi-sanksi administratif tersebut dikenakan kepada pengusaha yang melanggar atau tidak memberikan THR ke pekerjanya oleh menteri, menteri terkait, gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya untuk mengenakan hal tersebut. Namun, pengenaan sanksi harus berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak pengawas ketenagakerjaan yang berasal dari pengaduan dan tindak lanjut hasil pengawasan ketenagakerjaan. Tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut harus dituangkan dalam nota pemeriksaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sanksi administratif bagi pengusaha yang tidak membayar THR pun memiliki mekanisme dan juga prosedurnya tersendiri dan wajib untuk dipatuhi.

Pada kondisi perusahaan yang tidak membayar THR sama sekali, para pekerja bisa melaporkan hal tersebut ke pengawas ketenagakerjaan. Pengawas ketenagakerjaan lah yang menjadi pihak dalam pemberian sanksi ke perusahaan atas tindakannya yang tidak membayar THR. Tak hanya itu, Kementerian Ketenagakerjaan pun juga sudah mewadahi dengan hadirnya posko THR sebagai tempat layanan dan konsultasi THR yang sangat mudah dijangkau. Kini, para pekerja tak hanya bisa menghadiri posko THR secara langsung, tetapi bisa mengaksesnya melalui website poskothr.kemnaker.go.id. dan menghubungi call center terkait. Namun, permasalahan sebenarnya tidak terkait dengan bagaimana para pekerja menjangkau wadah pengaduan pengabaian THR, tetapi terkait sedikitnya pengaduan yang ditindaklanjuti. Sebagai gambaran, pada 15 April 2023, Kementerian Ketenagakerjaan telah menerima 938 pengaduan pengabaian THR keagamaan. Jumlah perusahaan yang melanggar tercatat ada 669 dan terus meningkat menjadi 1.394 kasus dengan total 992 perusahaan. Namun, dari jumlah aduan itu, hanya 36 aduan atau hanya 2,5 persen yang ditindaklanjuti. Hal ini tentunya membuktikan bahwa pemerintah pun harus turut meningkatkan kesigapan dan juga pergerakannya agar persentase total aduan yang dapat ditindaklanjuti bisa ditingkatkan guna tercapainya kesejahteraan para pekerja yang tidak mendapatkan hak THRnya.

Terlepas dari permasalahan tersebut, perlu disadari bahwa terlambat atau tidak dibayarnya THR juga menjadi wujud nyata dalam perselisihan hak yang terjadi di lingkup perusahaan. Dalam hal ini, pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, terdapat perselisihan hak yang menyatakan,

“Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”

Lalu, bagaimana cara para pihak dalam menyikapi permasalahan tersebut? Menurut UU PPHI langkah pertama yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah yaitu secara kekeluargaan antara pekerja dengan pengusaha dengan dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat. Bila langkah pertama gagal maka perselisihan diselesaikan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja dengan pengusaha yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam hal para pihak tidak menentukan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Bila tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

D. Penutup

THR menjadi salah satu bentuk penghasilan non upah yang krusial sekaligus menjadi hak dari para pekerja untuk mendapatkannya dan menjadi kewajiban bagi para pengusaha untuk membayarnya. Penghasilan non-upah tersebut menjadi bentuk penerimaan pekerja dari pengusaha dalam bentuk uang untuk pemenuhan keagamaan, memotivasi peningkatan produktivitas, atau peningkatan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Hak dan kewajiban tersebut menjadi wujud nyata pengimplementasian dari Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwasanya “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Namun, apakah perlakuan layak dan adil tersebut bisa tercapai disaat ada banyaknya pekerja perusahaan yang belum mendapatkan THR sebagai bagian haknya di dalam pekerjaannya? Tentu saja tidak.

Modus pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerjanya demi mencegah pemberian THR menjadi bukti nyata usaha untuk menghindari pemenuhan kewajiban sang pengusaha terhadap apa yang berhak diterima dari pekerjanya. Pekerja yang di PHK telah terbukti masih memiliki haknya untuk mendapatkan THR dan perusahaan memiliki kewajiban untuk tetap membayarkan THR pada pekerja yang terlibat kasus PHK. Sehingga, PHK tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak memberikan THR bagi pekerja tetap yang berdasarkan PKWTT. Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk pekerja PKWT.

Tak berlakunya pemberian THR kepada pekerja PKWT yang telah di PHK menjadi suatu hal yang perlu diberikan perhatian lebih lanjut agar keadilan dan juga hak dari pekerja PKWT memiliki kepastian hukum yang lebih utuh. Melihat dari kondisi ini, kami memandang bahwa perlu adanya pertimbangan lebih lanjut terkait ketentuan yang mengatur hak pemberian THR kepada pekerja PKWT agar tercapainya kesejahteraan kepada seluruh jenis pekerja. Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja di Perusahaan Pemerintah dan Undang-Undang №2 Tahun 2004 tentang PPHI yang menjadi perlindungan bagi pekerja memang telah membuktikan adanya perhatian pemerintah terhadap hak-hak para pekerja, tetapi alangkah lebih baik jika ada ketentuan lebih lanjut terkait hak para pekerja PKWT terkait haknya untuk mendapatkan THR bahkan jika mereka telah terkena PHK agar tindakan tersebut tak dimanfaatkan para pengusaha untuk tidak melakukan kewajibannya.

Oleh:

David Nathanael Maruhawa, Emma Yovela Sipahutar, Nisrina Hanun Malfadeskya*

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis

Daftar Pustaka dapat dilihat di:

https://docs.google.com/document/d/1sE3BSpivHJGI1MLUVmkSr2wfG0--QT0lWI2tkxECqfs/edit?usp=sharing

--

--

PLEADS FH Unpad
PLEADS FH Unpad

Written by PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.

No responses yet