Meninjau Pasal Bermasalah pada Permenkominfo No. 5 tahun 2020: Ancaman Kebebasan Berpendapat dan Penyalahgunaan Data Pribadi
A. Latar Belakang Munculnya Permenkominfo No. 5 tahun 2020
Pada era globalisasi yang serba elektronik ini, aktivitas digital telah menjelma menjadi ruang kedua warga negara untuk menyimpan segala bentuk aktivitasnya, baik yang bersifat publik maupun privat. Kondisi demikian menjadikan platform media sosial menjamur dan berubah menjadi pusat peradaban baru bagi setiap orang. Berdasarkan Laporan terbaru dari agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite yang berjudul Digital 2021: The Latest Insights into The State of Digital mengungkap bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia menjadi pengguna media sosial aktif. Kurang lebih 170 juta orang dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, terkonfirmasi telah menggunakan media sosial. Data menarik lainnya adalah rata-rata orang Indonesia memiliki 10 akun media sosial per orang dimana 60 persen digunakan untuk bekerja, seperti menjalin relasi dan menjalankan bisnis. Pada perkembangannya, lonjakan arus digital sebagai efek dominasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya membuat variasi platform digital tersebut semakin menjamur. Menyikapi hal ini, pemerintah menghadirkan Permenkominfo №5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pelaku usaha di industri digital. Penerbitan peraturan ini diimajinasikan oleh pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan di dalam penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 97 ayat (5), Pasal 98 ayat (4), dan Pasal 101 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Penyelenggara Sistem Elektronik (“PSE”) didefinisikan sebagai setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Pada dasarnya, PSE ini dibedakan menjadi dua, yaitu PSE lingkup publik dan PSE lingkup privat. PSE lingkup publik meliputi instansi dan institusi yang ditunjuk oleh instansi sedangkan PSE lingkup privat meliputi :
a. PSE yang diatur atau diawasi oleh Kementerian atau Lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PSE yang memiliki portal, situs atau aplikasi dalam jaringan melalui internet yang dipergunakan untuk:
- Menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan penawaran dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa;
- Menyediakan,mengelola dan/atau mengoperasikan layanan transaksi keuangan;
- Pengiriman materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data baik dengan cara unduh melalui portal atau situs, pengiriman lewat surat elektronik, atau melalui aplikasi lain ke perangkat pengguna;
- Menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan layanan komunikasi meliputi namun tidak terbatas pada pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik dan percakapan dalam jaringan dalam bentuk platform digital, layanan jejaring dan media sosial;
- Layanan mesin pencari, layanan penyediaan informasi elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film dan permainan atau kombinasi dari sebagian dan/atau seluruhnya; dan/atau
- Pemrosesan Data Pribadi untuk kegiatan operasional melayani masyarakat yang terkait dengan aktivitas Transaksi Elektronik.
c. Kewajiban melakukan pendaftaran bagi PSE Lingkup Privat dilakukan sebelum Sistem Elektronik mulai digunakan oleh Pengguna Sistem Elektronik.
d. Pendaftaran ISP sebagai PSE Lingkup Privat dilaksanakan melalui perizinan yang diselenggarakan oleh Kementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Masyarakat dapat memberikan pengaduan/informasi terhadap PSE Lingkup Privat yang tidak melakukan kewajiban pendaftaran.
Pada dasarnya, PSE dibentuk untuk memberikan regulasi dan memberikan kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan elektronik. Namun, di dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa pasal yang bermasalah dan berpeluang menimbulkan kerancuan serta kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat elektronik. Apalagi pasal-pasal yang bermasalah ini adalah pasal-pasal yang sangat mengancam keberadaan Hak Asasi Manusia masyarakat Indonesia.
B. Klausula Abstrak yang Berpeluang Menghambat Hak Kebebasan Berpendapat
Pasal 9 ayat 3 Permenkominfo menjelaskan bahwa :
“PSE Lingkup Privat wajib memastikan: (a) Sistem Elektroniknya tidak memuat informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang dilarang; dan (b) Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebaran Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilarang”.
Selanjutnya mengenai klasifikasi “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang” dijelaskan di dalam pasal 9 ayat 4 :
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi: (a) melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; dan © memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilarang”.
Berdasarkan pasal tersebut terdapat klausula “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”. Jika kita analisis lebih dalam, penggunaan klausa semacam ini tanpa disertai dengan penjelasan konkret akan menimbulkan penafsiran yang luas. Sejatinya, klausa ini adalah suatu hal yang bersifat subjektif dan sangat berbahaya jika dimasukkan ke dalam sebuah aturan hukum mengingat setiap orang memiliki subjektivitas yang berbeda-beda. Inilah yang menjadi dilema bagi para pengusaha lingkup privat untuk mendaftarkan perusahaan mereka atau tidak. Namun, jika mereka tidak mendaftarkan perusahaan mereka, mereka akan mendapatkan sanksi administratif sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 Permenkominfo No 5 tahun 2020 :
(1)Menteri mengenakan sanksi administratif kepada PSE Lingkup Privat yang:
a. tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4;
b. telah mempunyai tanda daftar tetapi tidak melaporkan perubahan terhadap informasi pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
c. tidak memberikan informasi pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (4), dan Pasal 4 ayat (2) dengan benar.
(2) Dalam hal PSE Lingkup Privat tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Menteri memberikan sanksi administratif berupa Pemutusan Akses terhadap Sistem Elektronik (access blocking).
Adapun sanksi administratif yang dimaksud sebagaimana dijelaskan dalam pasal 8 :
- Menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada PSE Lingkup Privat berdasarkan permohonan dari Kementerian atau Lembaga atas dasar pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Kementerian atau Lembaga yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dalam hal sanksi administratif yang diberikan kepada PSE Lingkup Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pemutusan Akses terhadap Sistem Elektronik (access blocking), Menteri melakukan Normalisasi berdasarkan pengajuan rekomendasi oleh Kementerian atau Lembaga atas dasar layanan PSE lingkup privat yang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika kita perhatikan lebih detail, pasal ini mengandung klausula yang berpeluang besar untuk terciptanya sifat represif dari pemerintah. Di dalam pasal tersebut, terdapat klausula yang menyatakan “berdasarkan permohonan dari kementerian atau lembaga yang memiliki wewenang”. Inilah yang sangat rawan disalahgunakan oleh para pihak yang berkepentingan dalam hal ini untuk membungkam hak kebebasan berpendapat di dalam sistem elektronik. Jika pemerintah tidak setuju dengan kritikan dan saran yang dipublikasi di dalam suatu PSE lingkup privat, maka pemerintah dengan sangat mudah memberikan sanksi administrasi berupa access blocking kepada PSE lingkup privat tersebut dengan dalih “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu kepentingan umum”.
Hal ini, tentunya sangat bertentangan dengan amanat pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Menurut hipotesis John Locke, Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak individu yang sifatnya kodrati dan dimiliki oleh setiap insan sejak ia lahir. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU №9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dijelaskan bahwa “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
Sejatinya kebebasan berpendapat adalah bagian dari demokrasi. Menurut Hans Kelsen, demokrasi yang kuat adalah yang bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama dimana demokrasi pada dasarnya berasal dari kebebasan yang berada dalam benak manusia. Selain itu, Mengutip teori Jean Jacques Rousseau, demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Penyampaian pendapat merupakan dasar hak warga negara dalam menyampaikan keluh kesah warganya demi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan. Sehingga, terdapatnya klausula pasal Permenkominfo №5 tahun 2020 yang melanggar hak kebebasan berpendapat sejatinya telah melanggar Hak Asasi Manusia dan melanggar prinsip demokrasi.
C. Pasal Riskan untuk Terjadinya Penyalahgunaan Data Pribadi
Pasal 21 ayat (1) dan (2) Permenkominfo menyatakan :
(1) PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Aparat Penegak Hukum dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 39 ayat (1) :
PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Sistem Elektronik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada Narahubung PSE Lingkup Privat.
Adapun proses pemberian akses PSE kepada Aparat Penegak Hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat 4 :
Pemberian akses terhadap Sistem Elektronik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui pemberian hasil pemeriksaan atau audit atas Sistem Elektronik yang ruang lingkup pemeriksaan atau auditnya diminta oleh Aparat Penegak Hukum.
Jika mengacu kepada beberapa pasal di atas, kita bisa melihat bahwa adanya intervensi langsung pemerintah untuk mengakses data pribadi pengguna yang terdapat pada PSE lingkup privat. Adanya aturan ini membuat pemerintah dalam hal ini aparat hukum berpeluang besar untuk mengakses data privasi masyarakat secara bebas. Akses data pribadi yang tidak terbatas oleh pemerintah dalam PSE lingkup privat ini membuka peluang penyalahgunaan data pribadi yang cukup besar oleh pemerintah. Cakupan wewenang untuk mengakses data pribadi ini terlalu berlebihan sehingga menghadirkan risiko serius bagi hak kebebasan privasi, kebebasan berbicara, dan akses informasi para pengguna PSE lingkup privat di Indonesia.
Apalagi penjelasan data pribadi spesifik yang dimaksud di dalam pasal ini sangat absurd. Sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 1 ayat (21) :
“Data Pribadi Spesifik adalah data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan hal ini, data pribadi yang dimaksud terlalu berlebihan. Bahkan terdapat klausula “orientasi seksual” dan “pandangan politik” yang tidak wajar untuk diakses dan diketahui oleh pemerintah. Adanya klausula “pandangan politik” di dalam sebuah pasal terkesan aneh dan akan berpeluang disalahgunakan oleh pemerintah untuk kepentingan politik dalam hal ini melakukan upaya represif terhadap masyarakat agar memiliki pemahaman politik yang sama. Secara singkat pasal ini akan berpeluang untuk dijadikan sebagai senjata “electronic social control” oleh pemerintah terhadap masyarakat di ranah sistem elektronik. Padahal, perlindungan data pribadi merupakan salah satu wujud dari hak privasi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang №19 tahun 2016 bahwa hak ini mencakup hak menikmati kehidupan pribadi dan terbebas dari segala macam gangguan, hak untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa maksud mencurigai, dan hak mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi.
Sejatinya Pasal 28G ayat 1 UUD 1945 juga telah menjamin bahwa hak privasi merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Lebih lanjut di dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang telah disahkan melalui Undang-Undang №12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights juga menegaskan terkait kewajiban pemerintah Indonesia untuk melindungi privasi dan data pribadi warga negaranya. Sehingga, adanya kehadiran pasal bermasalah di Permenkominfo №5 tahun 2020 akan sangat mengancam privasi dan berpeluang terjadinya penyalahgunaan data pribadi masyarakat pengguna PSE lingkup privat oleh pemerintah.
D. Evaluasi dan Solusi untuk Perbaikan Pasal Bermasalah
Berdasarkan kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul dari keberadaan pasal kontroversial di dalam Permenkominfo No 5 tahun 2020, pemerintah hendaknya melakukan revisi dan perbaikan terhadap pasal-pasal yang bermasalah tersebut. Pemerintah harus memberikan definisi yang jelas serta konkrit untuk membatasi makna dari klausula “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu kepentingan umum” yang terdapat di dalam pasal tersebut. Revisi dan penjelasan secara konkrit ini diperlukan guna terciptanya kepastian hukum di dalam masyarakat Indonesia, terutama bagi para pelaku PSE lingkup privat. Pemerintah juga hendaknya menjaga hak-hak warga negaranya, termasuk menjamin hak privasi warga negaranya aman dari penyalahgunaan. Apalagi penyalahgunaan tersebut berpulang besar dilakukan oleh pemerintah itu sendiri.
Selain itu, selama peraturan tersebut belum diperbaiki, pemerintah hendaknya tidak menyalahgunakan kekuasaannya menggunakan peraturan ini untuk mengintervensi arus informasi di PSE lingkup privat. Pemerintah harus terus menjaga hak kebebasan berpendapat di Indonesia. Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan, tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.
Oleh
Nurhidayah Muhcti*
*Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS FH Unpad ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis
Daftar Pustaka dapat dilihat pada link berikut:
https://docs.google.com/document/d/1sUBBxrG8CSrkI5XTRGA7NCPZW26OyNhA4AoCdiMD9uU/edit?usp=sharing