Patah Harapan Tanda Kegagalan: Refleksi Penurunan Kinerja Polri Sebagai Lembaga Penegak Hukum
A. Problematika Kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia
Progresif dan regresif merupakan dua diksi maknawi perihal kinerja suatu lembaga. Setiap lembaga tentu memiliki cita-cita mencapai progresivitas kinerja sesuai visi misi lembaga tersebut. Namun, tak ayal dalam meraih progresivitas kinerja seringkali menempuh jalan yang berkerikil. Silih berganti datang problematika yang menjadi hambatan, sehingga probabilitas tidak tercapainya tujuan progresivitas seakan menjadi nyata, dan justru jatuh ke jurang regresif. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai suatu lembaga pun turut menghadapi sejumlah permasalahan bersangkut paut mengenai kinerja dalam melaksanakan tujuan dan fungsi lembaga tersebut. Berkaca pada praktiknya, sejatinya masih dijumpai pelanggaran atau penyelewengan tugas yang dilakukan oleh anggota Polri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Perwira Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) AKBP M yang melakukan pemerkosaan dan menjadikan seorang remaja putri sebagai budak seks. Kasus tersebut membuat publik geram karena secara jelas menunjukan anggota Polri yang tidak memenuhi kewajiban untuk memelihara keamanan, tetapi justru mengancam masyarakat. Selain melihat pada kasus, sesungguhnya berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia pun tercatat bahwa Polri merupakan salah satu institusi yang paling banyak dilaporkan karena maladministrasi sepanjang tahun 2020 yang mana sebanyak 11,34% dari 7.204 laporan yang masuk ke Ombudsman berkaitan dengan kinerja Polri.
Merujuk pada kasus dan data di atas, maka bukan menjadi suatu hal yang ganjil apabila terjadi penurunan kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap lembaga Polri. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang dilakukan pada 6–11 Desember 2021, tercatat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri turun tajam, yakni dari 80,2% (hasil survei IPI November 2021) ke 74,1 persen (hasil survei IPI Desember 2021). Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi, menuturkan bahwa penurunan tingkat kepercayaan terhadap Polri karena maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri itu sendiri. Selain itu, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 31 Juli hingga 2 Agustus 2021 turut menyatakan hal yang sama bahwa Polri dianggap sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki tingkat kepercayaan paling rendah di mata publik.
Fakta penurunan kinerja Polri yang beriringan pula dengan penurunan harapan masyarakat terhadap institusi tersebut dapat dipahami bersama sebagai kesenjangan atau ketidaksesuaian antara rumusan yuridis normatif dari tujuan dan fungsi Polri dengan implementasi di lapangan. Sebagaimana rumusan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa tujuan adanya Polri adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karena itu, penjelasan di atas sejatinya merupakan segelintir contoh dari problematika kinerja yang dihadapi oleh lembaga Polri.
Kendati demikian, problematika kinerja lembaga Polri bukan sesederhana berbicara mengenai hambatan atas niat mulia untuk mencapai progresivitas. Namun, lebih luas daripada itu, berbicara pula mengenai konsepsi dasar hukum, khususnya aktualisasi nilai keadilan dan kepastian hukum sebagai tiang pancang konstruksi hukum. Hal ini disebabkan Polri sebagai lembaga berkaitan erat dengan perwujudan hukum dalam realitas kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, pada tulisan kali ini akan berfokus pada pembahasan mengenai implikasi perwujudan dan aktualisasi pilar pokok hukum dengan situasi kinerja Polri saat ini, dan solusi atas persoalan penurunan kinerja Polri sebagai lembaga penegak hukum.
B. Perwujudan dan Aktualisasi Pilar Pokok Hukum: Akankah Tercapai?
Gagasan hukum menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Artinya, elemen dasar bangunan hukum dikonstruksikan melalui asas dan kaidah. Namun, agar hukum dapat berperan sebagai sarana pembangunan, maka dibutuhkan elemen lembaga dan proses. Sejatinya, keempat elemen tersebut saling bersinergi demi menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Dengan demikian, diharapkan salah satu perwujudan dan keniscayaan hukum dalam kenyataan direalisasikan melalui lembaga penegak hukum. Kedudukan lembaga penegak hukum sesungguhnya memiliki peran vital untuk menciptakan dan menjamin perwujudan daripada pilar pokok hukum, yakni keadilan dan kepastian hukum secara prosedural dan substansial. Adapun salah satu lembaga penegak hukum adalah Polri yang mana institusi tersebut dibentuk secara resmi pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 11/S.D.
Konsepsi filosofis mengenai peran hukum dalam realitas sosial akan menjadi angan-angan belaka apabila eksekusi atau pelaksanaan dari elemen lembaga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemaparan di muka menjadi pembuka bahwasannya problematika kinerja Polri sebagai lembaga penegak hukum turut berimplikasi pada pengejawantahan peran hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai gambaran, Penulis memberikan salah satu kinerja Polri perihal penanganan laporan perkara yang diajukan oleh masyarakat.
Dewasa ini, bukan lagi menjadi suatu hal yang ganjil di telinga masyarakat, apabila mendengar fenomena “no viral no justice”. Artinya, kasus atau laporan pengaduan akan segera ditangani oleh Kepolisian apabila kasus tersebut terkuak di ruang publik dan ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Situasi ini dimungkinkan terjadi karena masyarakat dapat dianalogikan sebagai golongan penekan. Pencerminan tekanan tersebut diwujudkan dalam penyampaian kritik dan saran terhadap kinerja Polri. Dengan demikian, tidak jarang apabila terdapat korban yang lebih memilih menuangkan atau mencurahkan kasus yang dialaminya di ranah media sosial semata-mata demi memenuhi rasa keadilan yang tidak ditunaikan oleh institusi Polri. Cedera tunai pemenuhan keadilan tersebut terlihat pada penindakan lanjut proses hukum terhadap laporan perkara yang cenderung lamban, bahkan hingga mengabaikan dan menolak laporan pengaduan yang diajukan oleh masyarakat.
Kilas balik terhadap kasus perundungan, perbudakan, hingga pelecehan seksual yang dialami oleh seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS sejak 2012 silam. Selama mengalami tindakan yang tidak senonoh tersebut, MS sempat melaporkan kasusnya kepada atasannya dan pihak kepolisian, tetapi laporannya tidak ditangani secara serius. MS pertama kali mengadukan kasusnya ke Kepolisian Sektor (Polsek) Gambir pada 2019, tetapi petugas polisi justru menyuruhnya untuk melapor terlebih dahulu kepada atasan di KPI agar diselesaikan secara internal. Berselang satu tahun kemudian, MS kembali mencoba melapor ke Polsek Gambir, tetapi laporan perkara yang diajukannya tidak kunjung ditangani sesuai harapan. Putus asa dan sudah menemukan jalan buntu, akhirnya MS menuliskan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya dalam surat yang kemudian viral di media sosial Twitter pada awal September 2021. Berlikunya jalan yang ditempuh oleh MS untuk mendapatkan keadilan menjadi bukti nyata bahwa Polri belum mampu untuk menjadi lembaga penegak hukum.
Terlebih apabila meninjau pada ketentuan yuridis normatif, maka sejatinya fenomena “no viral no justice” bertentangan dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat; memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan atau pengaduan masyarakat; dan melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab.
Penulis menarik benang merah bahwasannya Polri sebagai lembaga penegak hukum belum mampu untuk mewujudkan dan mengaktualkan nilai keadilan dan kepastian hukum dalam realitas sosial. Argumentasi ini didasarkan pada sudut pandang korban. Mereka dianalogikan sebagai yustisiabel atau pihak pencari keadilan yang tidak memperoleh rasa adil atas suatu perkara, sehingga diharapkan upaya pemerolehan nilai keadilan tersebut dimanifestasikan melalui Polri sebagai lembaga penegak hukum. Namun, harapan tersebut seakan pupus menilik kinerja Polri yang lamban dalam menangani laporan perkara yang diajukan oleh korban. Selain itu, sejumlah peraturan tertulis terkait Polri hanya akan menjadi dokumen hampa apabila tidak digunakan sebagaimana mestinya. Nilai kepastian hukum menjadi kosong sebab aturan hukum yang sudah digariskan sedemikian rupa tidak diindahkan untuk ditaati. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hukum khususnya aktualisasi pilar pokok hukum dalam kehidupan bermasyarakat belum tercapai apabila meninjau kinerja Polri saat ini. Pemaparan di atas menjadi suatu kontemplasi bersama bahwa dibutuhkan evaluasi terhadap kinerja Polri sebagai lembaga penegak hukum.
C. Evaluasi dan Solusi atas Penurunan Kinerja Polri
Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa empat elemen konstruksi hukum harus saling bersinergi satu sama lain demi menciptakan ketertiban dan keteraturan. Apabila salah satu elemen tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka tidak akan tercipta tertib dan teratur dalam realitas sosial.. Berkaca pada problematika lembaga Polri, maka sudah sepatutnya diadakan evaluasi kinerja demi menjamin peran hukum untuk mengejawantahkan tujuan hukum itu sendiri dalam kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, Penulis memberikan dua solusi, yakni evaluasi badan internal Polri melalui revitalisasi dan adanya peran anggota masyarakat dalam menjamin penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri.
Sebelum membahas revitalisasi, dapat dipahami terlebih dahulu mengenai reformasi birokrasi. Menurut Sedarmayanti, reformasi birokrasi adalah upaya pemerintah meningkatkan kinerja melalui berbagai cara dengan tujuan efektivitas, efisien dan akuntabilitas. Artinya, reformasi birokrasi dapat dilakukan sebagai berikut: perubahan cara berpikir (pola pikir, pola sikap, pola tindak), perubahan penguasa menjadi pelayan, mendahulukan peranan dari wewenang, tidak berpikir hasil produksi tetapi hasil akhir, perubahan manajemen kinerja dan pantau percontohan reformasi birokrasi, serta mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, transparan, dan profesional, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ruang lingkup reformasi pun mencakup proses revitalisasi. Sebagaimana yang dituturkan oleh Sedarmayanti bahwa terdapat dua model strategi yang digunakan dalam melakukan reformasi administrasi. Yang pertama, merevitalisasi kedudukan, peran, dan fungsi kelembagaan yang menjadi penggerak reformasi administrasi. Yang kedua, menata kembali sistem birokrasi baik struktur, proses, sumber daya manusia, serta relasi antara negara dan masyarakat. Penulis pun memberikan catatan kepada lembaga pengawas kinerja Polri, yakni Inspektorat Pengawasan Umum Polri, Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Biro Pengawasan Penyidikan Bareskrim untuk meningkatkan pengawasan terhadap kinerja Polri.
Selain evaluasi internal badan Polri, sejatinya masyarakat pun mendapatkan jaminan hukum untuk menyampaikan kritik, saran, atau gagasan yang membangun kepada Polri, yakni melalui Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melalui peraturan hukum ini, diharapkan anggota masyarakat dapat membantu mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan. Berkaca kepada solusi yang telah dipaparkan, maka sesungguhnya dibutuhkan sinergitas antara badan internal Polri dengan anggota masyarakat demi mewujudkan aktualisasi peran hukum dalam realitas kehidupan bermasyarakat.
Oleh
Emillia Isni Maulidina*
Nurhidayah Muhcti*
*Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS FH Unpad ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis
Referensi dapat dilihat pada link berikut
https://docs.google.com/document/d/17juBQCim3DDb-PlxO1UkKSioz01QAnm3p3l9V3BmsA8/edit?usp=sharing