Pemberian Sanksi Administratif kepada Perusahaan Swasta yang Tidak Memenuhi Kuota Pekerja Penyandang Disabilitas
A. Hadirnya Isu Sanksi Administrasi
Sejatinya, Indonesia adalah negara yang menjamin perlindungan hak asasi manusia setiap warga negaranya, hal ini sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Namun, di dalam pelaksanaannya, masih banyak terdapat tantangan untuk pemenuhan hak ini, salah satunya pemenuhan hak pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah seseorang yang memiliki keterbatasan baik fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama.
Melihat kondisi dari penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan, tentunya akan sangat kesulitan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam bermasyarakat khususnya dalam bekerja. Hal ini akan berakibat pada banyaknya penyandandang disabilitas yang menganggur sehingga berdampak pada kualitas hidup yang rendah. Adapun, beberapa peraturan perundang-undang saat ini telah mengatur terkait perlindungan hak-hak penyandang disabilitas termasuk hak mendapatkan pekerjaan, salah satunya seperti yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas “Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”. Namun, pada pelaksanaannya, peraturan ini belum bisa dipenuhi dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada data dari Kementerian Ketenagakerjaan yang mengungkapkan bahwa saat ini tenaga kerja disabilitas yang berhasil ditempatkan dalam sektor tenaga kerja formal baru sekitar 2.851 orang atau sekitar 1,2 persen. Sedangkan total jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat sebanyak 23 juta, di mana 4,9 juta diantaranya merupakan generasi muda di usia produktif. Adapun kuota ini tidak secara konsisten dipenuhi oleh perusahaan dikarenakan tidak adanya penjelasan terkait sanksi yang akan dikenakan kepada perusahaan yang tidak memenuhi kuota penyandang disabilitas tersebut, padahal jika kita mengacu kepada pasal di atas terdapat kata “wajib” yang didefinisikan sebagai sebuah keharusan untuk memenuhi kuota tersebut.
Sehingga, menyikapi permasalahan ini, muncul usulan bahwa diperlukannya regulasi tambahan berupa pemberian sanksi administrasi kepada perusahaan swasta yang tidak memenuhi kuota minimal penyandang disabilitas di perusahaannya. Hal ini ditujukan guna menjamin terealisasinya pemenuhan hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia. Namun, di sisi lain terdapat kekhawatiran bahwasanya pemberlakuan sanksi administrasi ini terlalu berlebihan dan tidak proporsional. Hal ini dikarenakan permasalahan utama rendahnya daya serap tenaga kerja disabilitas bukan hanya tentang faktor perusahaan bersikap diskriminatif, tetapi juga disebabkan oleh berbagai faktor lainnya. Misalnya tidak semua penyandang disabilitas ingin bekerja di perusahaan swasta, minimnya informasi terkait pekerjaan yang sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki penyandang disabilitas, hingga belum semua perusahaan swasta mempunyai fasilitas memadai untuk penyandang disabilitas dalam bekerja. Selain itu, jika perusahaan swasta diberikan sanksi karena tidak memenuhi kuota disabilitas 1% maka akan berdampak pada terganggunya hak bekerja 99% karyawan lainnya. Inilah yang menjadi konsen pembahasan pada tulisan ini, yaitu apakah pemberian sanksi administrasi ini merupakan solusi atau malah hanya akan menimbulkan efek domino negatif bagi permasalahan-permasalahan baru.
B. Perlindungan Hukum Penyandang Disabilitas
Pekerja penyandang disabilitas pada dasarnya sudah mendapatkan perlindungan hukum guna menjamin hak-haknya di bidang ketenagakerjaan. Hal ini tercermin dalam peraturan perundang undangan baik yang mengatur mengenai ketenagakerjaan maupun yang mengatur tentang disabilitas itu sendiri. Beberapa peraturan yang melindungi penyandang disabilitas diantaranya:
- UUD 1945
ketentuan mengenai perlindungan penyandang disabilitas dapat kita lihat pada pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Maksud dari setiap warga negara Indonesia disini adalah semua orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan bebas dari diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam hal ini, penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan diperlakukan dengan adil dalam bekerja.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Di dalam undang-undang ini diatur secara umum tentang hal-hal terkait HAM. Salah satunya mengatur mengenai hak dalam bekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 38 “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”. Hal ini mengisyaratkan bahwa syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian kerja tidak boleh bersifat diskriminatif, yang terpenting adalah setiap orang dalam bekerja berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasi yang diberikan dalam pekerjaannya.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang ini sejatinya sudah menjamin perlindungan penyandang disabilitas dalam dunia kerja sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat (1) dijelaskan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Selain itu, Pasal 5 juga mengatur mengenai jaminan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam dunia kerja yang menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”.
4. UU Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Undang-Undang ini mempunyai perbedaan dibandingkan undang undang sebelumnya. Perbedaan signifikan dalam undang-undang ini adalah lebih mengutamakan pemberdayaan dan perlindungan hak-hak. Adapun hak-hak di dalam ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas yang diatur dalam undang-undang ini diantaranya:
- Hak untuk bekerja di sektor pemerintahan maupun swasta;
- Hak memiliki upah yang sama dalam jenis pekerjaan dan jabatan yang sama dengan bukan pekerja penyandang disabilitas;
- Hak mendapatkan akomodasi yang layak;
- hak tidak diberhentikan karena alasan disabilitas;
- Hak untuk mendapatkan jenjang karier;
- Hak diperlakukan dengan adil dan bermartabat; dan
- Hak untuk memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri dan berwirausaha.
C. Affirmative Action bagi Penyandang Disabilitas
Affirmative action merupakan cara yang banyak dipilih oleh berbagai negara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif. Menurut Tom Campbell, affirmative action merupakan kebijakan yang dikeluarkan untuk grup tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskriminasi. Atau dengan kata lain affirmative action merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu mendapat kesetaraan dan kesamaan peluang antar kelompok/golongan lain dalam bidang relevan, sehingga tidak heran affirmative action ini juga dikenal dengan diskriminasi positif.
Kebijakan afirmatif ini sejalan dengan amanat Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Untuk mendapatkan perlindungan diskriminatif, ditegaskan dalam Pasal 28 H Ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Berdasarkan hal ini, maka seharusnya pengaturan tentang hak mendapatkan pekerjaan bagi disabilitas dapat dianggap sebagai bentuk eksklusifitas dari ranah hak asasi manusia yang harus dilindungi di Indonesia. Hal ini dikarenakan penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan akan perlakuan diskriminatif sehingga diperlukan suatu kebijakan afirmasi untuk menjamin eksistensi mereka dalam mendapatkan keadilan. Adapun kebijakan affirmative yang sudah diatur oleh pemerintah guna menjamin penyerapan tenaga kerja disabilitas di Indonesia adalah salah satunya dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas “Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”.
D. Penerapan Sanksi Administratif
Sejak diberlakukannya peraturan perundang-undangan mengenai penyandang disabilitas hingga saat ini masih banyak perusahaan-perusahaan yang belum mengimplementasikan amanat Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Saat ini, jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas di perusahaan BUMN dan swasta terus menunjukkan peningkatan. Namun, jika ditilik dari segi persentase target kuota tenaga kerja disabilitas sebanyak 2% untuk BUMN/BUMD dan 1% untuk perusahaan swasta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, maka kuota ini masih belum terpenuhi. Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani sebagaimana dikutip di dalam tempo.co mengatakan bahwa penyerapan tenaga kerja difabel di sektor formal dan non-formal masih jauh dari ideal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2022, sekitar 17 juta penyandang disabilitas masuk usia produktif. Namun hanya 7,6 juta orang yang bekerja.
Rendahnya pemenuhan kuota minimal penyandang disabilitas di perusahaan swasta ini disebabkan oleh adanya kekosongan hukum, yaitu tidak adanya aturan mengenai sanksi tegas dari pemerintah bagi perusahaan milik swasta jika tidak mempekerjakan penyandang disabilitas. Sehingga, dirasa perlu hadirnya sanksi bagi perusahaan swasta dalam upaya pemenuhan pekerja penyandang disabilitas, dalam hal ini berupa sanksi administratif ketika perusahaan swasta tidak mampu memenuhi kuota penyandang disabilitas. Hal ini ditujukan untuk menjamin kepastian hukum penegakan berlakunya peraturan ini guna terpenuhinya hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia terutama di sektor swasta yang seringkali diskriminatif.
Dalam konsep hukum, pada dasarnya sanksi hadir sebagai jaminan agar ditaatinya suatu peraturan yang ada. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh J.c.T. Simorangkir bahwa sanksi adalah ancaman hukuman yang dijadikan sebagai suatu alat guna ditaatinya suatu kaidah. Adapun yang dimaksud Hukum Administrasi adalah aturan-aturan hukum yang berisikan peraturan-peraturan yang menjadi pedoman atau acuan dari aparatur negara dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemerintahan. Dalam penerapannya, sanksi administrasi ditujukan untuk membalikkan kepada keadaan hukum semula yang dikenakan pada kegiatan yang tidak taat terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku. Contohnya: penarikan, perubahan, dan penundaan suatu ketetapan. Sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin perusahaan. Dalam hal ini, sanksi administrasi hadir sebagai daya paksa agar perusahaan swasta dapat memenuhi kuota penyandang disabilitas di perusahaannya yang tentunya akan berdampak baik terhadap meningkatnya daya serap tenaga kerja disabilitas di dalam dunia pekerjaan.
Namun, disisi lain, pemberian sanksi administrasi ini dinilai terlalu berlebihan dan tidak proporsional menyelesaikan akar permasalahan rendahnya penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ELSAM pada tahun 2021, rendahnya serapan tenaga kerja penyandang disabilitas ditengarai oleh dua faktor utama yakni faktor internal yang berasal dari diri penyandang disabilitas dan faktor eksternal yang berasal dari iklim kebijakan ketenagakerjaan. Faktor internal ini misalnya terjadi manakala penyandang disabilitas telah terlebih dahulu mundur dan tidak berani masuk ke pasar tenaga kerja. Kondisi ini disebabkan minimnya informasi dan kurangnya pelatihan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas. Selain daripada itu terdapat juga permasalahan yang bersumber dari eksternal yakni selain karena tidak terdapatnya peraturan yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir, penyebab lainnya juga karena sampai saat ini Indonesia tidak memiliki data yang akurat dan terkonsolidasi mengenai situasi penyandang disabilitas di Indonesia. Metode-metode yang digunakan untuk melakukan asesmen terhadap keadaan disabilitas selalu berubah dan menyebabkan berbedanya keluaran yang dihasilkan. Isu lain yang tidak kalah penting yakni gap penggunaan teknologi bagi penyandang disabilitas. Pada era digital penggunaan teknologi yang masif masih belum sepenuhnya dapat mendorong inklusivitas bagi tenaga kerja disabilitas. Selain itu, Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum di Yogyakarta sebagai organisasi yang berhadapan dengan teman disabilitas mengatakan bahwa penyandang disabilitas enggan mendaftar ke salah satu hotel yang telah membuka rekrutmen untuk teman disabilitas disebabkan oleh sulitnya akses ke tempat bekerja. Saat ini, belum tersedianya informasi terpusat mengenai kebutuhan bursa tenaga kerja penyandang disabilitas serta penyandang disabilitas kesulitan untuk mencari perusahaan yang sesuai dengan ragam disabilitas mereka.
Berdasarkan hal ini, kita bisa melihat bahwa faktor penyebab rendahnya daya serap tenaga kerja disabilitas tidak hanya disebabkan oleh kurangnya keterlibatan pemenuhan kuota oleh perusahaan swasta. Akan tetapi, rendahnya daya serap tenaga kerja disabilitas juga disebabkan oleh faktor lainnya seperti masih enggannya penyandang disabilitas untuk mendaftar, kurangnya kompetensi yang dimiliki, sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai kapabilitas mereka, hingga belum tersedianya fasilitas yang memadai yang ramah disabilitas. Selain itu, pemberian sanksi administrasi tidak proporsional dalam menyelesaikan permasalahan, hal ini dikarenakan ketika perusahaan tidak mampu memenuhi kuota 1% kemudian diberikan sanksi berupa pembekuan tentunya akan merugikan dan melanggar hak 99% karyawan lainnya yang pada akhirnya berdampak pada melemahnya perekonomian nasional. Logikanya, pemberian sanksi administrasi ini menyelesaikan satu masalah tapi menimbulkan berbagai permasalahan baru.
Di Indonesia sendiri, pemberian sanksi bagi perusahaan sendiri sudah pernah diterapkan di Jawa Timur yaitu berupa sanksi administrasi dalam bentuk peringatan tertulis, pembekuan dan/atau pemberhentian pemberian bantuan, dan/atau tindakan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku sebagaimana diatur pada Pasal 84 dan Pasal 86 Perda Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013.
Pasal 84:
“Setiap pelaku usaha dan/atau masyarakat yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (3), dan Pasal 68 ayat (2) dikenakan sanksi administrasi.”
Pasal 86:
“1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 85 dapat berupa: (a) peringatan tertulis; (b) pembekuan dan/atau pemberhentian pemberian bantuan; dan/atau © tindakan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. 2) Tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.”
Meskipun begitu, catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Timur menjelaskan bahwa baru 43 perusahaan di Jawa Timur yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja. Angka ini dinilai masih jauh dibanding jumlah perusahaan yang tercatat yaitu sebanyak 39.861. Sehingga, walaupun sudah diterapkan pemberian sanksi masih belum bisa menyelesaikan permasalahan rendahnya pemenuhan kuota penyandang disabilitas di perusahaan swasta.
E. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, sejatinya pemberian kuota minimal untuk penyandang disabilitas dalam dunia kerja dalam hal ini kuota minimal 1 % bagi perusahaan swasta merupakan bentuk affirmative action pemerintah dalam melindungi dan menjamin terpenuhinya hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Akan tetapi, di dalam pelaksanaannya, regulasi tersebut belum dilengkapi dengan sanksi atau akibat yang dikenai jika perusahaan tidak mampu memenuhi kuota minimal yang ditetapkan. Sehingga diperlukan suatu sanksi agar regulasi yang ada tersebut bisa dijalankan dengan semestinya, dalam hal ini sanksi administrasi. Namun, terdapat tantangan dalam pemberian sanksi ini dikarenakan akar permasalahan utama dari rendahnya daya serap tenaga kerja disabilitas bukan semata-mata disebabkan oleh perusahaan yang diskriminatif, tetapi juga bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rendahnya kemauan penyandang disabilitas, tingkat pendidikan, hingga faktor kurangnya pusat informasi bagi penyandang disabilitas terkait pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Sehingga, ketika pemberian sanksi administrasi ini dipaksakan tentunya hanya akan menimbulkan efek domino negatif baru.
Menyikapi permasalahan ini, pemerintah dapat melakukan upaya berupa memberikan sanksi administrasi bagi perusahaan dengan kriteria tertentu. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin terpenuhinya fasilitas yang memadai untuk para penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Asosiasi Pedagang Indonesia (APINDO) menyatakan bahwa sebelum perusahaan menerima tenaga kerja disabilitas, Pemerintah perlu terlebih dahulu membentuk tata ruang yang inklusif. Ini berkaitan erat dengan faktor aksesibilitas. Hal ini terlihat dari contoh yang paling banyak digunakan ketika menggambarkan kondisi empirik tata ruang, misalnya ketika Kementerian Perindustrian RI mensyaratkan calon pekerja disabilitas untuk dapat berjalan selain dengan menggunakan kursi roda. Alasannya tata ruang di sekitar Kementerian Perindustrian belum mengakomodir tata ruang yang inklusif. Kemudian, ketimbang memberikan sanksi administrasi, pemerintah dapat memberlakukan pemberian apresiasi bagi perusahaan swasta yang mampu memenuhi kuota minimal 1% pekerja penyandang disabilitas di perusahaannya.
Oleh
Nurhidayah Muhcti*
*Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS FH Unpad ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis
Daftar pustaka dapat dilihat dalam link berikut:
https://docs.google.com/document/d/1SKSVGpPjn1oXLzpQ6xIbrQY_ogwyNy8FEUPGfFe7k04/edit?usp=sharing