Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut : Kebijakan atau Kecerobohan?

PLEADS FH Unpad
12 min readJun 29, 2023

--

Photo by Marcin Jozwiak on Unsplash

A. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023: Peluang Kembali Terulangnya Sejarah Kelam Kerusakan Ekosistem Bahari Indonesia?

Dalam sebuah negara, permasalahan hukum merupakan suatu keniscayaan yang harus dihadapi. Begitupun di Indonesia, per tanggal 15 Mei 2023, masyarakat dikejutkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Di Laut (PP 26/2023) yang mana salah satu pasalnya mengundang banyak kekhawatiran dari berbagai pihak, khususnya para pemerhati lingkungan. Pasalnya, dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa negara bisa melakukan pengerukan pasir sebagai bentuk dari pengelolaan hasil sedimentasi laut yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri dan juga ekspor. Pasal 9 ayat (2) mengatakan “Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk: (a) reklamasi di dalam negeri; (b) pembangunan infrastruktur pemerintah; (c) pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau (d) ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut nyatanya menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya sejarah kelam Indonesia yang terjadi sekitar dua dekade lalu.

Diundangkannya PP 26/2023 menjadi penanda pelegalan pengerukan sedimentasi pasir dalam skala besar sekaligus menjadi indikator berhentinya pemberlakuan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut di seluruh wilayah Indonesia. Sejak tahun 1970 hingga penghentian sementara pada tahun 2002, Indonesia gencar dalam penambangan dan pemasaran ekspor pasir laut. Namun, kegiatan ekspor tersebut akhirnya diberhentikan karena dalam pelaksanaannya timbul beberapa permasalahan kompleks. Tindakan penghentian tersebut menjadi jalan terakhir agar setidaknya permasalahan tersebut bisa mendapatkan penanggulangan meskipun terdapat dampak yang sulit untuk ditanggulangi, yaitu permasalahan lingkungan.

Eksploitasi dan ekspor pasir laut yang dilakukan selama 32 tahun menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan terutama pada sektor lingkungan. Pengerukan yang terus menerus menyebabkan adanya kekeruhan air laut yang berdampak pada kerusakan biota laut sehingga kuantitas dari ikan pun menurun. Dengan demikian, para nelayan merupakan pihak yang terdampak langsung dari praktik eksploitasi laut tersebut. Lebih khusus, dampak yang paling parah adalah tenggelamnya Pulau Nipa yang berada di titik terluar garis pangkal kepulauan Indonesia di Selat Singapura. Fenomena tersebut menimbulkan kemungkinan akan perubahan tata letak garis pangkal kepulauan dan mempengaruhi pengukuran lebar laut teritorial yang termasuk luas wilayah laut Indonesia. Di sisi lain dalam kurun waktu 32 tahun itu, tercatat Singapura mengalami perluasan wilayah sebanyak 100,7 km persegi dari 586,4 km persegi menjadi 687,1 km persegi. Hal itu tentu saja menimbulkan persepsi bahwa tindakan ekspor pasir laut menyebabkan perluasan negara lain dengan resiko wilayah Indonesia berkurang, yaitu wilayah lautnya terutama pulau-pulau kecil di perbatasan.

Pemberian julukan negara kepulauan kepada Indonesia bukanlah tanpa suatu alasan, lantaran pada tahun 2022, berdasar pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat ada 17.001 pulau yang tersebar luas di wilayah tanah air. Pemerintah berpendapat bahwa akan ada keuntungan ekonomis yang didapatkan dari kegiatan pengerukan hasil sedimentasi itu. Kebutuhan pasir laut bagi negara-negara asing, misalnya Singapura yang memerlukan pasir laut untuk reklamasi dan proses perencanaan serta merancang fase ketiga proyek Pelabuhan Tuas, juga menjadi perhatian dari latar belakang pembukaan kembali keran ekspor pasir ini. Penetapan PP 26/2023 seakan menjadi ajang atau sarana dari terciptanya abrasi yang mengakibatkan terkikisnya daratan–hal ini pernah terjadi pada tahun 2000 di perairan Kelurahan Pemping, Belakang Padang, Kota Batam, dimana tiang-tiang rumah panggung warga di Pulau Labuh melayang sebab pasir yang menjadi pondasi terkikis– dan membiarkan negara lain memperluas daratannya melalui pasir dari Indonesia. Apabila hal itu benar-benar terjadi maka negara kepulauan yang digaungkan dengan ribuan pulaunya lama kelamaan akan mengalami pengurangan jumlah pulau. Berangkat dari fakta-fakta tersebut, bisa dipahami bahwa kekhawatiran dari berbagai pihak yang menentang dan tidak setuju atas adanya PP 26/2023 adalah karena ketidakmauan terhadap pengulangan kembali permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya. Banyaknya pertentangan terkait PP 26/2023 ini kemudian memunculkan pertanyaan, apa alasan dan urgensi pemerintah mengeluarkan PP 26/2023 serta bagaimana dampak yang berpotensi timbul dari penerapan kebijakan tersebut?

B. Justifikasi dan Peneguhan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023

Pada 15 Mei 2023 lalu, Presiden Joko Widodo resmi menetapkan peraturan yang melegalkan kembali ekspor pasir laut setelah lebih dari dua dekade kebijakan itu dihentikan. Hal itu tentu saja menimbulkan respon negatif dari berbagai pihak yang menganggap peraturan ini sangat merugikan. Meskipun demikian, pemerintah memiliki alibi tersendiri mengapa aturan ini bisa sampai diundangkan. Menurut pemerintah, sesuai dengan keterangan pada Pasal 2 PP 26/2023 bahwa pengelolaan hasil sedimentasi bertujuan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut. Dalam aturan itu juga dijelaskan bahwa regulasi ini berperan sebagai optimalisasi hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tsarif mengatakan bahwa alasan pemerintah membuat aturan ini adalah untuk menjaga kelancaran proses pelayaran karena sedimentasi pasir laut nyatanya membahayakan alur pelayaran. Secara lebih luas, situasi ini juga berdampak pada persoalan ekonomi karena proses pelayaran tersebut sejatinya menyangkut pengangkutan barang-barang hasil kegiatan ekspor-impor. Selain itu, pengerukan pasir hasil sedimentasi ini dalam pelaksanaannya memerlukan ongkos yang tinggi maka pemerintah memutuskan untuk membentuk suatu aturan yang membuka peluang beberapa pihak melakukan pengerukan dan mendapatkan keuntungan dari hasil pengerukan pasir laut tersebut. Arifin juga menambahkan bahwa wilayah perairan yang berpotensi menjadi tempat pengerukan ialah wilayah sekitar Batam, Selat Malaka, dan Selat Singapura. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasid juga memiliki pernyataan yang selaras dengan Menteri ESDM, dirinya memiliki optimisme dalam hal peminatan negara-negara asing untuk mengimpor pasir laut Indonesia. Ketum Kadin tersebut menyebutkan bahwa pasti ada yang akan berinvestasi–membutuhkan, karena tidak semua negara memiliki pasokan pasir laut. Karenanya, Ia menyimpulkan bahwa terdapat potensi ekonomi tinggi dari penetapan regulasi pemanfaatan hasil sedimentasi pasir laut.

Mendukung pernyataan Menteri ESDM dan Kadin Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP) Sakti Wahyu Trenggono juga memberikan penjelasan bahwa alasan penetapan PP 26/2023 adalah kebutuhan reklamasi dalam negeri yang demikian luas sehingga diperlukan adanya regulasi khusus untuk mengatur persoalan pemanfaatan hasil sedimentasi laut. Sakti juga menilai bahwa kerusakan ekosistem alam maupun kehidupan masyarakat pesisir tidak akan timbul karena aturan yang termaktub dalam PP 26/2023 memiliki dampak positif bagi lingkungan. Pernyataan tersebut berdasar dari kepercayaan bahwa dengan adanya regulasi khusus dari pemanfaatan hasil sedimentasi pasir, maka tidak akan ada sembarang orang yang dapat melakukan pengerukan hasil sedimentasi, sehingga kerusakan lingkungan bisa dicegah. Mengenai hal ini juga disampaikan oleh Maret Priyanta, Dosen Departemen Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria Universitas Padjadjaran (Unpad), yang menyatakan bahwa dengan adanya PP tersebut diharapkan pemanfaatan hasil sedimen laut dapat terjamin perlindungannya terhadap ekosistem pesisir dan laut dengan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Sesuai dengan pernyataan Menteri KKP, Maret juga menambahkan bahwa Peraturan Pemerintah ini dapat menjawab kekhawatiran terhadap banyaknya aktivitas ilegal dari penambangan ekspor pasir laut, dan juga dapat mendorong optimalisasi kepentingan ekonomi serta lingkungan.

C. Kemelut Dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023

Di Indonesia, pembentukan suatu peraturan perundang-undangan haruslah mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tersebut menyatakan bahwa dalam setiap pembentukan Peraturan Perundang-Undangan haruslah melibatkan setiap lapisan masyarakat dengan cara pemberian masukan baik secara lisan maupun tulisan dalam setiap tahapannya. Untuk itu, Naskah Akademik maupun Rancangan Peraturannya haruslah dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Bertentangan dengan hal itu, PP 26/2023 dalam pembentukannya saja telah mengandung kecacatan formil karena tidak menerapkan prinsip meaningful participation dan cenderung tergesa-gesa sehingga banyak menimbulkan pertentangan dari masyarakat.

Selain itu, tidak transparannya dalam penyusunan peraturan ini juga menimbulkan miskomunikasi antar pemangku kebijakan di internal pemerintahan sendiri. Pada Menteri Perdagangan misalnya, sebagai pihak yang nantinya mengurusi soal perizinan ekspor pasir laut, pihaknya justru tidak tahu menahu soal penyusunan peraturan ini. Ia mengungkapkan bahwa penyusunan PP 26/2023 murni dilakukan oleh Kementerian KKP dan dirinya sama sekali tidak terlibat. Fakta tersebut sekaligus menjadi pembuktian bahwa ketidaktransparan penyusunan PP 26/2023 merupakan suatu hal yang tak terelakkan karena pihak yang memiliki sangkut paut langsung dengan aturan ini pun tidak mengetahui apalagi terlibat dalam penyusunannya.

Cacatnya penyusunan peraturan ini dibuktikan langsung dengan timbulnya respon yang kurang baik dari pelbagai pihak terutama para pemerhati lingkungan. Penolakan tersebut bukanlah suatu respon tak berdasar atau sekadar bualan belaka karena implementasi dari PP 26/2023 memiliki beberapa potensi negatif yang dapat terjadi, diantaranya:

  1. Merusak ekosistem

Niat baik pada PP 26/2023 sebagai bentuk pengelolaan hasil sedimentasi laut agar kelestarian ekosistem laut dapat terjaga sesuai dengan penjelasan umum pada peraturan ini nyatanya masih memiliki celah yang berdampak negatif terhadap lingkungan itu sendiri. Kegiatan perlindungan ekosistem laut melalui pengelolaan sedimentasi dengan cara pengerukan pasir menggunakan kapal isap hakikatnya masih sangat berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut. Hal tersebut disebabkan oleh pasir-pasir yang dikeruk dapat meningkatkan kekeruhan perairan laut yang kemudian berdampak kepada ekosistem terumbu karang. Selain itu, air laut yang keruh juga mengakibatkan penetrasi cahaya yang berkurang sehingga ekosistem laut mengalami kerusakan.

2. Mengancam keberadaan pulau-pulau kecil

Keterangan pada Pasal 11 PP 26/2023 menyebutkan bahwa “Pelaku Usaha dalam melakukan Pembersihan Hasil Sedimentasi di Laut wajib menjamin dan memperhatikan: b. keseimbangan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil”

Hal tersebut juga didukung oleh penjelasan umum yang terkandung dalam PP 26/2023 sendiri, yaitu lokasi dan volume sedimen merupakan salah satu poin yang diperhatikan dalam pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Kendati demikian, Kebijakan dalam PP 26/2023 sebagai halnya pelaksanaan aturan ini dipimpin oleh kementerian KKP dari mulai pemberian izin hingga bagian pengawasan yang mana ketentuan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan terjadi ketidaksempurnaan pengawasan dikarenakan jumlah infrastruktur, SDM dan anggaran yang terbatas. Akibatnya, peraturan ini berpotensi menimbulkan kegiatan pengerukan pasir laut yang tidak terkendali. Apabila hal tersebut benar-benar terjadi maka akan ada perubahan struktur pesisir yang signifikan, semisal penurunan garis pantai yang dalam jangka panjang dapat mengakibatkan pulau-pulau kecil di sekitar wilayah tambang pasir laut tenggelam. Hal ini juga diamini oleh organisasi aktivis lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang memprotes keras kebijakan PP 26/2023. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi mengatakan bahwa dampak dari regulasi ini adalah krisis ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan semakin parah. Banyak pesisir akan terkena abrasi, desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil pun diproyeksi. Maka dari itu, sesungguhnya pengerukan pasir laut secara masif dapat menimbulkan perubahan kontur dasar laut, pola arus, dan juga gelombang laut sehingga tenggelamnya pulau-pulau kecil bisa-bisa tidak akan dapat dihindari.

3. Menurunkan produktivitas nelayan

Kegiatan penambangan pasir laut dapat menyebabkan pengurangan besar-besaran terhadap pasokan pasir laut yang digunakan sebagai keperluan konstruksi, pertanian, dan industri kreatif oleh masyarakat sekitar. Selain itu, penyedotan pasir laut dengan kapal isap juga berdampak pada rusaknya wilayah tangkapan ikan nelayan kecil yang beroperasi di perairan dengan jarak kurang dari 12 mil.

4. Mempercepat dampak bencana iklim

Dampak jangka panjang dari ekspor pasir laut sewajarnya memang dapat menambah ancaman kenaikan permukaan air laut, abrasi dan intrusi air laut. Bahkan, mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang mempunyai argumen berlawanan dengan Menteri KKP saat ini mengungkapkan bahwa perubahan iklim yang sudah dirasakan sekarang akan diperparah dengan adanya proses penambangan pasir sehingga Ia secara tegas mengharapkan adanya pembatalan dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023.

5. Kelangkaan pangan

Organisme yang keberadaannya berfungsi untuk membentuk rantai makanan, yaitu plankton akan terdampak oleh kegiatan pengerukan pasir. Pengerukan pasir menyebabkan berkurangnya keanekaragaman plankton di suatu perairan yang mana tentu mengganggu produktivitas perikanan di laut karena sesuatu yang menjadi makanan alaminya terganggu oleh kegiatan ini. Sebagai contoh ada pada kasus penambangan pasir laut di wilayah Deli Serdang dengan kurun waktu dari 2007 hingga 2017 ditemukan fakta bahwa produksi perikanan laut pada 2017 mengalami penurunan sebanyak 239,47 ton/tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut juga diakibatkan oleh abrasi yang mengakibatkan berkurangnya luas pantai sampai ratusan meter persegi. berdasarkan hal itu, maka benar bahwa ekspor pasir laut dapat merubah pola aliran air dan tanah sehingga mengurangi produksi pangan lokal, juga merusak siklus hidup ikan yang mengakibatkan penurunan populasi ikan sebagai sumber pangan utama bagi masyarakat lokal.

Merujuk pada pendapat Menteri ESDM terkait implementasi PP 26/2023 yang berpotensi meningkatkan perekonomian Indonesia sebenarnya adalah sebuah kekeliruan. Pasalnya, apabila mengacu dengan apa yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut dalam Perhitungan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak harga patokan untuk ekspor pasir adalah Rp228.000 per meter kubik. Patokan harga terhadap pasir laut dinilai cenderung murah karena sesuatu yang diekspor hanyalah pasir, bukan mineral yang jelas seperti nikel ataupun batu bara. Jika rujukannya adalah keuntungan ekonomi, maka keuntungan ekonomi yang akan didapat hanyalah sebuah keuntungan semu. Potensi kerugian alam yang tinggi beserta biaya untuk penanggulangannya tidaklah sebanding dengan keuntungan jangka pendek yang diharap-harapkan. Selain itu, Menteri ESDM juga menyinggung permasalahan terganggunya alur pelayaran yang sebenarnya dengan penetapan PP 26/2023 ini menimbulkan ketidakjelasan maksud dan tujuan dari pemerintah karena terdapat kontradiksi antara apa yang diungkapkan oleh pemerintah dengan apa yang termaktub dalam regulasi mengenai pemanfaatan hasil sedimentasi. Dalam Pasal 3 ayat (3) PP 26/2023 diterangkan bahwasannya pengelolaan hasil sedimentasi di laut dikecualikan di beberapa tempat yang salah satunya adalah alur pelayaran. Fakta tersebut tentu saja menimbulkan kebingungan tentang bagaimana cara menangani pendangkalan akibat sedimentasi yang mengganggu alur pelayaran sedangkan dalam aturannya sendiri alur pelayaran merupakan salah satu tempat yang dikecualikan dari pengelolaan hasil sedimentasi

D. Penutup

Kebijakan untuk membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 merupakan sebuah kemunduran karena disaat hampir semua negara menggencarkan untuk menjaga kelestarian lingkungan, negara ini malah membuat sebuah peraturan yang dapat menimbulkan efek kerusakan lingkungan jangka panjang. Pemerintah disini cenderung melakukan segala cara untuk tujuan ekonomi berkelanjutan tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya. Dampak ekonomi yang diharapkan dengan pengerukan sedimentasi ini sama sekali tidak ada artinya jika dibandingkan dengan efek-efek negatif lainnya. Penanganan dari kerusakan lingkungan sesungguhnya merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan sehingga tujuan kepentingan ekonomi dari peraturan ini tidak akan berpengaruh terlalu banyak untuk pendapatan negara. Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan ini lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dampak positifnya. Seraya begitu, sudah seharusnya dilakukan peninjauan ulang dan kajian lebih dalam terkait apakah kebijakan penetapan PP 26/2023 ini benar-benar suatu kebijakan atau malah kecerobohan.

Permasalahan-permasalahan yang dijadikan alasan oleh pemerintah demi teregulasinya kebijakan ini adalah suatu permasalahan yang masih memiliki jalan keluar atau alternatif lain dalam penanganannya. Pertama, permasalahan pengerukan pasir secara ilegal yang kerap kali terjadi di Indonesia memanglah menjadi tantangan tersendiri lantaran selain sebagai perbuatan melawan hukum, hal tersebut juga merupakan suatu tindak perusakan secara masif terhadap kelestarian ekosistem yang ada di perairan laut Indonesia. Kegiatan pengerukan atau penambangan pasir yang dilakukan tanpa adanya kajian atau analisis dampak lingkungan menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat tinggi dan cepat. Untuk itu, memang diperlukan perhatian khusus terhadap fenomena ini. Akan tetapi, menjadikan persoalan ini sebagai alibi dalam penetapan PP 26/2023 rasa-rasanya merupakan hal yang kurang tepat karena pada 2007 silam pemerintah melalui peraturan Menperindag Nomor 02/M-Dag/PER/1/2007 mengeluarkan larangan mengenai ekspor pasir yang disebabkan oleh maraknya penambangan secara ilegal. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, yaitu apabila alasannya untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dengan mengatasi penambangan ilegal mengapa tidak perkuat saja peraturan yang sudah ada dengan pengawasan yang lebih intens, alih-alih mencabut peraturan tersebut melalui Peraturan PP 26/2023 dengan tidak ada jaminan pelaksanaan peraturan baru akan lebih baik daripada pelaksanaan peraturan sebelumnya mengingat implementing agencynya hanya dari satu pihak dengan berbagai keterbatasan.

Kedua, sesuai dengan nama peraturan dari PP 26/2023 yaitu tentang pemanfaatan hasil sedimentasi laut maka tentu saja substansi dan tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk mengatasi sedimentasi. Namun, sayangnya cara yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi suatu permasalahan adalah cara yang akan menimbulkan permasalahan baru. Apabila dilihat dari dampaknya sedimentasi memang berpotensi untuk menimbulkan pendangkalan wilayah perairan laut dan juga gangguan ekosistem laut seperti penghambatan tumbuhnya terumbu karang. Akan tetapi, kita juga tidak bisa tutup mata dari penyebab awal timbulnya sedimentasi yang mana menurut Triatmodjo sedimentasi adalah proses pengendapan suatu material oleh aliran dari bagian hulu ke hilir yang diakibatkan oleh erosi sehingga apabila demikian maka penanganan yang paling utama adalah penanganan permasalahan yang terjadi di hulu karena penyebab dari erosi pantai sebagian besar oleh proses alamiah, seperti pasang surut, gelombang, dan angin. Kemudian, untuk sebagian lagi adalah karena aktivitas manusia seperti penambangan pasir di sepanjang pesisir pantai. Maka dari itu, hal yang pertama bisa dilakukan adalah mengurangi penyebab yang berasal dari aktivitas manusia, baru setelah itu penanganan dari penyebab alamiah. Penanganan tersebut dapat dilakukan dengan metode:

  1. Menstabilkan sumber sedimentasi;
  2. Membelokkan arah aliran sedimentasi, dengan cara pembuatan struktur rekayasa penahan transpor sedimen di daerah pantai; dan
  3. Pemasangan perangkap sedimentasi.

Selanjutnya ketika terjadi kondisi dimana sedimentasi telah terjadi, maka dapat ditangani dengan metode penjagaan terhadap aliran sedimentasi. Metode tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

  1. Dibuat struktur yang dapat menjaga kecepatan aliran arus;
  2. Struktur didesain agar mampu meningkatkan gaya geser (Drag Force) aliran air untuk menggerakkan material kasar yang berada di dasar; dan
  3. Mendesain peralatan yang dapat menjaga pergerakan sedimen agar tidak terendap.

Dengan demikian, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 2023 haruslah dilakukan dengan pengkajian secara matang dan tanpa tergesa-gesa serta mengikutsertakan masyarakat dalam penyusunannya, agar tujuan utama dari diberlakukannya suatu aturan tidak menimbulkan kesengsaraan terhadap pihak yang melaksanakannya. Sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum yaitu terpelihara dan terjaminnya ketertiban (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat maka sudah sepatutnya pemerintah lebih hati-hati dalam pembentukan suatu peraturan terutama PP 26/2023 agar tujuan dan fungsi hukum tersebut dapat tercapai.

Ditulis Oleh:

Rafa Yunia*

Putri Khaerunissa Saepuloh*

*Penulis adalah Staff Biro Penulisan Hukum PLEADS Board ke-12, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis

Daftar Pustaka dapat diakses melalui link berikut ini:

https://docs.google.com/document/d/1FS9UvKPla1gcmyVQqNdvE2Yqri-vH-ISBbDpUihhYgQ/edit?usp=sharing

--

--

PLEADS FH Unpad
PLEADS FH Unpad

Written by PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.

No responses yet