PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN DEEPFAKE PORNOGRAFI: EVALUASI EFEKTIVITAS HUKUM POSITIF DAN KEBUTUHAN AKAN REFORMASI HUKUM

PLEADS FH Unpad
13 min readAug 24, 2023

--

Photo by Markus Winkler on Unsplash

LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau diketahui sebagai kecerdasan buatan manusia ini semakin pesat dan cepat. Kini AI tidak hanya berbentuk robot humanoid, melainkan juga berkembang dalam berbagai bentuk seperti, perangkat lunak, sistem komputer, dan program yang dapat mengambil alih pekerjaan manusia hingga mengambil keputusan yang kompleks selayaknya manusia. Kemajuan teknologi yang sangat pesat dan membawa dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan manusia nyatanya berimplikasi bahwa hampir semua fasilitas kehidupan saat ini turut menggunakan teknologi AI guna memberikan efisiensi untuk membuat suatu hasil kreasi yang memudahkan bagi kehidupan manusia.

Salah satu hasil kreasi AI yang menjadi perhatian adalah deepfake. Deepfake berasal dari penggabungan kata dari teknologi yang digunakan, yaitu deep learning, dengan tujuan penggunaan teknologi itu, yaitu membuat konten palsu (fake). Deep learning sendiri merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk melatih AI agar bisa melakukan suatu tugas. Oleh karena itu, teknologi deepfake bisa didefinisikan sebagai penggunaan AI untuk membuat video atau audio baru, dengan tujuan untuk menunjukkan seseorang sedang mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak pernah dia katakan atau lakukan. Secara sederhana, deepfake diartikan sebagai teknologi yang digunakan untuk membuat konten palsu yang tampak sangat realistis dengan memanipulasi audio dan visual yang mengganti wajah maupun tubuh orang asli dengan wajah atau tubuh orang lain yang tidak terlibat dalam adegan konten video palsu tersebut.

Istilah “deepfake” menjadi terkenal pada tahun 2017, awalnya terkait dengan pengguna platform Reddit yang menggunakan teknologi Generative Adversarial Networks (GAN) yang merupakan sebuah algoritma machine learning dan TensorFlow, sebuah perangkat lunak open-source yang dikembangkan oleh Google untuk keperluan deep learning dan machine learning. Ketika GAN dan TensorFlow digabungkan, kedua teknologi tersebut mampu untuk membuat video porno palsu atau deepfake dengan menggabungkan wajah atau tubuh selebriti atau tokoh publik ke dalam video asli yang berisi konten pornografi. Semakin banyak data yang digunakan sebagai sampel suara dan gambar wajah dari subjek sumber, akan semakin realistis dan autentik konten yang dihasilkan. Sehingga, pembuktian keaslian konten yang dibuat menggunakan bantuan teknologi deepfake tidak mudah untuk dianalisis secara kasat mata kepalsuannya. Hal ini menimbulkan perhatian yang luas terhadap potensi dan risiko deepfake yang memiliki kemampuan untuk menipu mata manusia dan masalah serius dalam hal pemfitnahan atau penyebaran konten pornografi palsu dengan melibatkan individu-individu terkenal.

Permasalahan deepfake semakin serius setelah munculnya aplikasi bernama FakeApp pada Januari 2018. FakeApp merupakan aplikasi yang bisa diunduh oleh siapa saja dan memungkinkan mereka untuk membuat konten foto dan video palsu. Mudahnya akses penggunaan aplikasi tersebut telah meningkatkan kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Oleh sebab itu, pemahaman dan kemampuan menggunakan teknologi tentang perkembangan teknologi seperti AI perlu terus diperbaharui. Pengguna harus kritis dan bijak dalam menggunakan teknologi seperti AI agar tidak menimbulkan permasalahan yang mengganggu ketertiban masyarakat ataupun merusak hubungan antar individu.

Dalam kajian ini, fokus pembahasan Penulis adalah melakukan evaluasi terhadap perlindungan hukum yang ada bagi korban deepfake pornografi, terutama terhadap evaluasi efektivitas hukum positif yang ada dan kebutuhan atas reformasi hukum di bidang ini. Dengan melakukan evaluasi mendalam, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperkuat perlindungan hukum bagi korban deepfake pornografi. Perlindungan hukum yang lebih baik akan memastikan bahwa para korban memiliki akses yang memadai terhadap keadilan dan memberikan efek jera bagi pelaku deepfake pornografi.

PEMBAHASAN

  1. PERLUNYA REFORMASI HUKUM TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR KASUS DEEPFAKE PORN

Kehadiran AI dilakukan sebagai bentuk penelitian tentang bagaimana komputer mampu melakukan tugas-tugas yang saat ini dilakukan lebih baik oleh manusia. Karakteristik AI meliputi kemampuan untuk merasionalisasi dan mengambil tindakan yang paling memungkinkan mencapai tujuan tertentu. Tujuan utama AI adalah untuk digunakan dalam pembelajaran, penalaran, dan sebagainya. AI dalam otomatisasi pengolahan informasi dapat dianggap sebagai “Agen Elektronik” dalam peraturan-perundangan Indonesia. Pengertian Agen Elektronik sendiri diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang berbunyi, “perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.”

Walaupun telah diatur dalam UU ITE, penyalahgunaan teknologi AI tidak dapat dihindari. Salah satu bentuk penyalahgunaannya adalah tindak kejahatan deepfake. Menurut survei yang dilakukan oleh Deeptrace pada tahun 2019, ditemukan bahwa sebanyak 96% dari video deepfake merupakan konten pornografi yang merugikan korban baik secara moril maupun materil. Dampak dari kemampuan AI yang semakin hari semakin canggih ini memungkinkan masyarakat awam semakin sulit dalam mengidentifikasi atau mendeteksi keaslian suatu gambar atau video yang telah dimanipulasi. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi hukum bagi pelaku di balik kejahatan deepfake yang tidak hanya mengintai para selebriti, namun juga masyarakat umum.

Meskipun kehadiran AI diatur dalam UU ITE, namun tidak ada undang-undang khusus yang didedikasikan untuk mengatur AI secara tersendiri. Akibatnya, terhadap tindak kejahatan seperti deepfake porn yang dibuat menggunakan AI dan melalui jaringan internet ini hanya akan dikenakan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan informasi elektronik, kesusilaan, pornografi, dan defamasi. Tidak adanya perlindungan hukum yang khusus, maka sanksi yang dikenakan belum efektif.

Menurut penulis, tidak sama dengan manusia, teknologi tidak mempunyai batasan tertentu sebagai acuan, seperti moral pada manusia. Dalam kontras nyata antara manusia dan teknologi, manusia memiliki kapasitas untuk memahami, merenungkan, dan bertindak berdasarkan norma-norma etika dan moral yang telah berkembang dalam masyarakat. Mereka mampu menilai informasi secara kontekstual, mempertimbangkan aspek hukum, dan mengukur implikasi moral sebelum mengambil keputusan. Sebaliknya, meskipun teknologi AI memiliki kapabilitas luar biasa dalam memproses data dan mengenali pola yang rumit, ia tetap terbatas pada instruksi yang telah diberikan padanya oleh manusia. Oleh karena itu, AI tidak bisa menentukan apakah informasi yang diolahnya bertolakan secara norma, legal atau moral karena tidak memiliki pemahaman tentang nilai-nilai manusia secara alami. AI beroperasi berdasarkan algoritma dan data yang telah diberikan padanya, tanpa memiliki pandangan pribadi atau perasaan, sehingga tanggung jawab untuk memastikan bahwa penggunaan AI sesuai dengan standar etika, hukum, dan moral tetap berada di tangan manusia, termasuk para pengembang dan pengguna teknologi tersebut.

Indonesia sampai pada saat ini belum memiliki payung hukum yang secara spesifik dan rinci mengenai penggunaan AI. Peraturan atau regulasi yang ada sejauh ini hanya sebatas mengatur tentang aspek keterlibatan AI sebagai agen elektronik yang merupakan perangkat elektronik yang dibuat untuk melakukan perbuatan atas informasi elektronik secara otomatis. Dalam hal ini, keberadaan peraturan ini belum sepenuhnya mencakup isu-isu yang lebih mendalam terkait etika, privasi, dan implikasi sosial yang terkait dengan pemanfaatan AI. Kurangnya kerangka hukum yang spesifik dan rinci untuk penggunaan AI bisa menyebabkan ketidakjelasan dalam hal tanggung jawab, etika, dan dampak sosial dari teknologi AI.

Berdasarkan Pasal 21 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, agen elektronik dijelaskan sebagai pihak yang harus memiliki status subjek hukum, seperti negara, individu, badan hukum, dan masyarakat, sebagai penyelenggara sistem elektronik. Namun, AI merupakan sebuah platform open-source yang tidak dioperasikan oleh subjek hukum tertentu. Hal ini berbeda dengan platform digital lainnya seperti marketplace, contohnya Bukalapak atau Tokopedia, yang merupakan badan usaha penyelenggara sistem elektronik. Perbedaannya terletak pada AI open-source yang bukan badan usaha atau individu yang mengendalikan suatu unit usaha yang menyelenggarakan sistem elektronik. Dengan demikian, regulasi saat ini belum sepenuhnya dapat mencakup teknologi AI.

Dalam teori “law as a tool of social engineering” yang diungkapkan oleh Profesor Mochtar Kusumaatmadja, hukum harus berperan sebagai alat rekayasa sosial. Ini berarti, hukum harus “berada di depan” dalam menciptakan iklim sosial-teknologi yang baik. Para pemangku kepentingan kemudian akan mengikuti jalur yang telah dirancang oleh regulasi tersebut. Salah satu peran krusial regulasi adalah memberikan pedoman tentang bagaimana cara AI dapat dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab atas tindakannya. Kesetaraan perlakuan AI sebagai subjek hukum ini akan mempermudah penertiban dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, peran regulator sangat penting untuk melindungi hak-hak masyarakat dan menciptakan iklim yang mendukung perkembangan teknologi AI.

Urgensi penciptaan hukum yang khusus mengatur AI merupakan salah satu hal yang mendesak. Selain untuk melindungi para korban atas kejahatan deepfake porn, kebutuhan hukum yang khusus ini juga dikarenakan memungkinkannya muncul berbagai kejahatan lain seiring teknologi yang kian canggih dan tidak ada batasan dalam perkembangannya. Mendeteksi keaslian dari sebuah foto atau video yang telah dimanipulasi dengan teknik deepfake juga membutuhkan teknologi yang sama canggihnya, seperti dengan melakukan forensik digital. Walaupun, forensik digital dapat mengidentifikasi keaslian dari sebuah gambar atau video, forensik digital dinilai Ardi selaku Ketua Indonesia Cyber Security (ICSF) juga memiliki sebuah kelemahan yaitu jika video tersebut direkam dari satu layar menggunakan perangkat lain, ketika dipelajari oleh machine learning, video tersebut akan dianggap asli sehingga dibutuhkan teknologi lain yang mampu mengatasi hal tersebut.

2. EFEKTIVITAS DARI HUKUM YANG ADA SAAT INI SEBAGAI INSTRUMEN REGULASI UNTUK MENINDAK PARA PELAKU DARI KASUS DEEPFAKE PORN

Saat ini Indonesia masih belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif dan spesifik mengatur mengenai teknologi AI yang disalahgunakan untuk melakukan deepfake porn. Namun, penyalahgunaan teknologi deepfake dapat dianggap sebagai kejahatan dunia maya atau cyber crime karena penyebaran hasil konten foto atau video disebar melalui internet. Selain itu, pornografi telah diatur dalam beberapa peraturan perundangan di Indonesia seperti, ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan berkaitan dengan informasi elektronik, kesusilaan, pornografi, serta defamasi. Sehingga, pada kasus deepfake yang menyebarluaskan konten palsu edit foto atau video akan dikenakan UU ITE sebagaimana dianggap lex specialis atau hukum khusus yang secara khusus mengatur masalah berkaitan dengan transaksi elektronik, termasuk penyebaran konten deepfake yang melibatkan pornografi, pelecehan, atau pencemaran nama baik.

Masalah seperti penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik telah termuat dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu bahwa :

”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Dalam undang-undang tersebut, juga ditentukan mengenai larangan mentransformasikan atau menyalahgunakan informasi elektronik sehingga seolah-olah tampak asli. Aksi kriminal pelaku yang memanipulasi foto misalnya foto seseorang yang ditransformasikan dari tidak bugil menjadi bugil (seakan-akan foto orisinal) merupakan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sebagai berikut :

”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”

Adapun pelaku dijatuhi sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak dua belas miliar rupiah. Pernyataan tersebut selaras dengan isi Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagai berikut :

”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.

Namun, tindakan pornografi yang mengkolaborasikan teknologi AI tidak diatur secara gramatikal dalam UU ITE. Implementasi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga mengalami beberapa tantangan atau hambatan sebab sulit untuk melakukan pembuktian hukum dan memperoleh bukti yang cukup untuk menuntut pelaku karena kompleksitas teknologi yang rumit dapat menyembunyikan jejak digital mereka, membuat para aparat penegak hukum sulit untuk mengidentifikasi dan menuntut pelaku. Selain itu, tantangan penerapan UU ITE pada kasus deepfake juga harus memperhatikan keseimbangan antara perlindungan privasi dan kebebasan berekspresi karena perlindungan terhadap korban harus diupayakan tanpa mengorbankan hak privasi dan kebebasan berekspresi individu secara luas.

Masalah deepfake porn berhubungan dengan tindak kriminal pornografi sehingga kasus tersebut secara logis juga bersentuhan dengan KUHP yang mengatur tindak pornografi. Di dalam KUHP Indonesia, ketetapan tentang aksi pidana pornografi juga tercantum dalam bagian keempat belas tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan yang meliputi Pasal 281 hingga Pasal 283 KUHP. Pornografi tergolong dalam aksi pidana yang menyalahi norma kesusilaan.

Berdasarkan interpretasi dan akibat evolusi teknologi informasi, terjadi transformasi makna kata pornografi dalam masyarakat. Transformasi tersebut seharusnya mempengaruhi interpretasi unsur delik pornografi. Jika menggunakan interpretasi lama, layar komputer yang dimiliki oleh rental komputer, perkantoran, atau pribadi tidak dapat diakui sebagai hal yang terbuka untuk umum sesuai dengan Pasal 282 KUHP. Konsep “umum” dalam hal ini seharusnya diinterpretasikan lebih luas dengan menaksir perkembangan teknologi informasi itu sendiri.

Selain itu, Pasal 282 KUHP juga tidak menyediakan batasan yang gamblang mengenai kesusilaan. Dalam keterangannya, disebutkan bahwa karakter cabul atau kesusilaan harus ditetapkan berdasarkan opini umum dan bertumpu pada kebiasaan setempat. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai pornografi atau perbuatan cabul itu sendiri. Batasannya bertumpu pada kondisi dan perkembangan masyarakat setempat. Akibatnya, ketidakjelasan batas pornografi dalam KUHP tersebut dapat mengakibatkan berbagai macam interpretasi.

Perkara tersebut ialah perkara yang eksis pada tahap teoritis yang berdampak pada tahap praktis dimana pihak penegak hukum belum atau tidak dapat berkutik jika tidak ada validasi dari para akademisi atau praktisi hukum di samping kesanggupan yang bersifat teknis dari teknologi informasi. Pembatasan perbuatan yang digolongkan menyalahkan kesusilaan tersebut krusial, mengingat hukum pidana harus dieksekusikan secara objektif. Keobjektifan penegakan hukum pidana berarti pasal-pasal yang dicantumkan dalam hukum pidana tidak menimbulkan interpretasi yang beragam.

Ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana tersebut dianggap lemah, terutama dalam hal pidana denda. Kelemahan ini terjadi pada KUHP secara umum, mengingat KUHP aslinya dibuat pada masa kolonial Belanda. Walaupun telah eksis beberapa transformasi dalam jumlah pidana denda, pada kenyataannya transformasi tersebut ketinggalan zaman. Jumlah denda yang tercantum dalam KUHP terakhir kali diubah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 18 Tahun 1960, yang mengatur perubahan jumlah hukuman denda dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Dalam perubahan ini, pidana denda diukur dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali. Oleh karena itu, pidana denda yang berkisar antara Rp225,- hingga Rp75.000,- saat itu merupakan jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan nilai mata uang rupiah saat ini.

Adapun deepfake porn ini juga dapat digambarkan sebagai penyampaian informasi berbentuk pornografi dari suatu tempat ke tempat lain, dalam hal ini melalui teknologi berupa AI. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 1 angka 1, definisi telekomunikasi adalah sebagai berikut :

“Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan setiap informasi dalam bentuk, tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.”

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknologi berupa AI merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima informasi dalam berbagai bentuk seperti gambar, suara, dan film melalui sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang tersebut. Namun, undang-undang ini sama sekali tidak menyentuh secara eksplisit hal-hal yang menyangkut pengiriman dan penerimaan informasi secara elektronik melalui teknologi AI. Undang-undang ini juga tidak menyangkut pengaturan mengenai aspek-aspek pengamanan terhadap pengiriman dan penerimaan pesan melalui AI. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi belum secara spesifik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan telekomunikasi melalui teknologi AI.

Indonesia membutuhkan peraturan hukum yang spesifik mengatur Artificial Intelligence, yakni Undang-Undang Artificial Intelligence (Law of Artificial Intelligence). Undang-undang Artificial Intelligence merupakan undang-undang yang khusus mengatur mengenai pengiriman dan penerimaan pesan elektronik melalui teknologi AI. Peraturan tersebut harus menguraikan cara yang tepat dan bijaksana dalam menggunakan kecerdasan buatan pada teknologi, terutama dalam era gangguan besar-besaran dalam teknologi yang sedang berlangsung saat ini dan masa depan. Selain itu, aspek tanggung jawab hukum terkait pemanfaatan teknologi AI juga harus diatur, mengingat kaitannya dengan perlindungan masyarakat dan keberlanjutan untuk meminimalkan risiko yang mungkin muncul dari penggunaan kecerdasan buatan yang tidak bertanggung jawab atau tidak etis terhadap masyarakat.

Lebih jauh lagi, mekanisme pengawasan yang efektif dan alat deteksi deepfake yang canggih sangat penting untuk memastikan penggunaan teknologi AI yang bertanggung jawab dan etis. Pembuatan aturan dan regulasi yang jelas harus menjadi prioritas untuk membatasi dan mengontrol penggunaan teknologi. Karena itu, sektor pemerintah harus menerapkan pengaturan yang terintegrasi dan berkonsekuensi hukum yang jelas bagi pelanggar dengan penerapan sanksi berupa denda dan pidana yang signifikan bagi pelaku yang terbukti melanggar. Konsekuensi hukum yang mencakup pidana pokok penjara sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Dengan mengimplementasikan mekanisme pengaturan dan penerapan sanksi yang jelas diharapkan teknologi AI dapat dimanfaatkan secara bertanggung jawab, tanpa mengabaikan aspek privasi, keamanan, dan etika.

Selain pembuatan regulasi, edukasi tentang AI juga menjadi hal yang sangat penting untuk diberikan secara luas (education) agar pengguna dapat memahami implikasi dan risiko penggunaan teknologi ini. Karena di balik kemajuan teknologi, tergantung pada bagaimana kebijaksanaan dalam menggunakannya. Masyarakat yang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang teknologi AI akan menjadi lebih bijaksana dan bertanggung jawab dalam penggunaannya, sehingga persoalan hukum yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dihindari. Pengembangan AI juga harus mengacu pada standar etika dan hukum yang berlaku secara umum (standard). Karena implementasi penggunaan standar ini melalui penentuan tata laksana dan etika algoritma yang akan memastikan perkembangan AI berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, keamanan, dan privasi. Selanjutnya, untuk menghadapi tantangan hukum terkait AI di Indonesia, sangat diperlukan kolaborasi antara lembaga hukum, akademisi, dan sektor swasta industri (Together). Melalui kerjasama ini, dapat dirancang dan dibangun kerangka hukum yang sesuai untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan, serta mendukung perkembangan dan teknologi. Dengan demikian, pengembangan AI dapat berjalan harmonis, mendorong kemajuan masyarakat, dan memberikan rasa aman bagi semua pengguna dan pihak yang terlibat.

PENUTUP

Setelah melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh guna menjawab permasalahan yang dikaji, maka pada bab ini penulis mencoba menyimpulkan hasil penulisan sesuai dengan masalah yang dikaji. Bertolak dari kesimpulan ini, maka penulis juga akan memberikan saran-saran kepada para pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang dikaji:

Pengaturan hukum positif Indonesia ternyata masih kurang memadai atau ketidaksesuaian jika dikaitkan dengan perkembangan pornografi melalui teknologi AI, diantaranya adalah pemberian batasan pornografi yang tidak jelas, ancaman hukuman yang terlalu ringan, ketidakjelasan pihak yang dianggap tepat mempertanggungjawabkan suatu bahan yang dikategorikan pornografi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi hukum untuk mengatasi tantangan hukum yang semakin kompleks akibat kemajuan teknologi AI.

Indonesia memerlukan Undang-undang Artificial Intelligence (Law of Artificial Intelligence). Undang-undang Artificial Intelligence merupakan undang-undang yang khusus mengatur mengenai pengiriman dan penerimaan pesan elektronik melalui teknologi AI. Apabila Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE) tersebut dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999, maka Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi akan merupakan lex generalis, sedang Undang-undang Artificial Intelligence merupakan lex specialis dari Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999.

Reformasi hukum juga harus mencakup upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang resiko deepfake dan pentingnya perlindungan data pribadi. Pemerintah perlu lebih aktif dalam memberlakukan undang-undang yang mengatur penggunaan teknologi AI, termasuk deepfake dengan mengintegrasikan konsekuensi hukum yang tegas bagi pelanggar. Selain pembuatan regulasi, sangat penting mengingat education, standard, dan together untuk membangun kerangka hukum yang memadai dan solusi yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat, diantaranya:

  1. Education: Edukasi dan kesadaraan terhadap teknologi AI, terutama deepfake, menjadi langkah penting dalam memberdayakan masyarakat untuk mengenali resiko dan ancaman yang ada. Dengan edukasi secara luas tentang teknologi AI, masyarakat akan lebih waspada dan berhati-hati dalam menggunakan teknologi tersebut. Serta, akan membantu masyarakat untuk memahami dan mengidentifikasi bagaimana deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan konten palsu atau merusak reputasi individu.
  2. Standard: Standar etika dan hukum yang berlaku secara umum merupakan hal yang sangat penting dalam penggunaan teknologi AI. Dengan memiliki standar etika dan hukum yang jelas, kita dapat memastikan bahwa pengembangan dan pemanfaatan AI dilakukan dengan pertimbangan moral dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Penentuan tata laksana dan etika algoritma dalam perkembangan AI menjadi kunci dalam memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan secara bertanggung jawab.
  3. Together: Kolaborasi pemerintah, lembaga hukum, akademisi, dan sektor swasta industri juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan hukum terkait AI di Indonesia. Dengan bekerja sama dapat dibangun kerangka hukum yang memadai untuk mendukung perkembangan teknologi dan melindungi masyarakat dari dampak negatif deepfake pornografi.

Perlindungan hukum yang efektif akan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bertanggung jawab dalam pemanfaatan teknologi AI, menjaga integritas dan privasi data pribadi, serta melindungi potensi korban dari dampak negatif deepfake pornografi. Dengan kerja sama yang kokoh dan kesadaran akan pentingnya regulasi yang sesuai, kita dapat menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan masyarakat dalam menghadapi era perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) yang semakin maju.

Ditulis Oleh:

ZENIFA SITI HAFSYARI*

KARINA SABELLA GUNAWAN*

GRACE CLARA SARI SINAGA*

REQUEL JOYLYN A. NAPITUPULU*

*Penulis adalah Staff Biro Hubungan Eksternal PLEADS Board ke-12, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis

--

--

PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.