RESEP RAHASIA KRABBY PATTY TERANCAM OLEH PLANKTON: INILAH LANGKAH HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH TUAN KRAB
A. Perseteruan antara Tuan Krab dengan Plankton
Siapa yang tidak tahu kartun Spongebob Squarepants, kartun legendaris asal Amerika Serikat yang menghibur anak-anak di dunia. Dalam kartun tersebut, terdapat dua karakter yang sangat sering berseteru, yakni Tuan Krab dan Plankton. Tuan Krab digambarkan sebagai seekor kepiting pemilik restoran burger terkenal di Bikini Bottom, Krusty Krab. Salah satu produknya yang sangat legendaris dan banyak digemari adalah burger yang bernama Krabby Patty. Ketenaran Krabby Patty yang luar biasa sampai membuat kompetitor Tuan Krab, yaitu Plankton iri hati. Bagaimana tidak? Plankton yang telah gigih membuat produk pesaing Krabby Patty selalu berakhir gagal. Hal ini kemudian membuat Plankton memiliki rencana jahat, yaitu mencuri resep rahasia Krabby Patty yang tersimpan rapat di dalam brankas milik Tuan Krab. Berbagai upaya untuk mendapatkan resep rahasia Krabby Patty telah dilakukan Plankton, mulai dari penyamaran, penipuan, memanfaatkan Spongebob, hingga upaya kekerasan kepada Tuan Krab. Namun, bagaimana apabila Tuan Krab, Plankton, dan restoran Krusty Krab berada di negara Indonesia? Apakah terdapat produk hukum yang dapat melindungi resep rahasia Krabby Patty dari Plankton? Lalu, adakah langkah hukum yang dapat ditempuh oleh Tuan Krab sebagai pelaku usaha kuliner agar Plankton dapat menghentikan aksinya? Kajian ini akan membahas lebih lanjut mengenai langkah perlindungan resep pada usaha kuliner dari perspektif kekayaan intelektual.
B. Mengenal Lebih Dalam tentang Hak Kekayaan Intelektual
Sebagaimana yang telah diketahui, Tuan Krab sangat hati-hati dalam menjaga resep rahasia Krabby Patty dari Plankton. Melihat situasi tersebut, dapat timbul beberapa pertanyaan, mulai dari apa itu resep hingga mengapa resep dianggap sangat penting dalam usaha kuliner. Pada dasarnya, resep dalam usaha kuliner dapat didefinisikan sebagai suatu formula yang meliputi alat dan bahan yang diperlukan, serta tata cara membuat atau memasak suatu makanan. Umumnya, setiap usaha memiliki versi resepnya sendiri yang diperoleh baik dari percobaan, penelitian, ataupun warisan turun-temurun. Hal ini tentu sangat selaras dengan definisi dari kekayaan intelektual, yakni hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat. Selanjutnya, guna melindungi pemilik dari kekayaan intelektual tersebut, terciptalah suatu aturan yang melindungi hak kekayaan intelektual.
Hak kekayaan intelektual, selanjutnya disebut sebagai HAKI, bermanfaat sebagai hak seseorang untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual yang telah dihasilkannya. HAKI juga dapat berfungsi sebagai perlindungan secara hukum yang dimiliki oleh pencipta atas usahanya dalam penciptaan karyanya. Ditinjau dari sejarah dunia, HAKI pertama kali muncul sebagai pengaturan paten dalam salah satu produk hukum di Inggris pada tahun 1623, yakni Statute of Monopolies. Sementara itu, di Indonesia, istilah HAKI diperkenalkan dalam ratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dewasa ini, Indonesia telah memiliki suatu badan khusus yang mengurus permasalahan HAKI, yakni Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Dalam konteks usaha kuliner, dapat disimpulkan bahwa resep dapat menjadi salah satu produk hasil kekayaan intelektual. Hal ini berarti Tuan Krab dan seluruh pengusaha kuliner juga dapat menempuh langkah-langkah hukum yang dibutuhkan untuk melindungi resep yang bersifat rahasia tersebut guna kepentingan kelancaran usahanya. Namun, langkah hukum apa sajakah yang dapat dilakukan oleh Tuan Krab? Selain itu, adakah upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir resiko timbulnya sengketa di kemudian hari?
C. Ingin Resep Mendapatkan Perlindungan Hukum, Apa yang Harus Dilakukan Pelaku Usaha?
Pada dasarnya, terdapat berbagai langkah yang dapat ditempuh oleh seseorang untuk melindungi kekayaan intelektual yang dimilikinya, seperti hak cipta, hak paten, hak merek, dan rahasia dagang. Namun pada implementasinya, hak cipta dan hak merek merupakan dua hal yang sebenarnya cukup jauh dan kurang relevan dari perlindungan resep rahasia. Ditinjau dari Pasal 40 dan 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dapat dianalisa bahwa resep tidak dapat diberikan hak cipta. Hal ini dikarenakan resep tidak termasuk dalam ciptaan yang dilindungi dalam Pasal 40. Lebih lanjut, daftar alat dan bahan yang merupakan bagian dari resep pun tidak dapat dilindungi oleh hak cipta. Perlindungan hak cipta terhadap resep juga tidak ideal karena apabila pemilik resep mengubah sedikit saja hal dalam resep, maka hak cipta yang telah didaftarkan akan menjadi tidak berlaku. Ditambah lagi, fokus dari hak cipta dan resep sebenarnya sangat berbeda, dimana resep fokus pada alat dan bahan, serta prosedur pembuatan, sementara hak cipta berfokus pada hasil akhir, yaitu ciptaan. Di sisi lain, jika ditinjau dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, resep juga tidak dapat dilindungi dalam hak merek. Hal ini dikarenakan merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis dengan beberapa rincian yang harus dipenuhi. Tentu resep bukan merupakan tanda yang dapat dilindungi hak merek, namun pelaku usaha kuliner dapat melindungi logo dari usahanya dengan hak merek.
Nyatanya, masih banyak pelaku usaha kuliner di Indonesia yang masih bingung mengenai cara yang paling tepat untuk melindungi resep yang telah dibuatnya. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya apakah resep dapat dipatenkan. Kebingungan ini tentu masuk akal dan dapat diterima. Pasalnya, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten), seorang pemegang paten dapat memiliki hak eksklusif untuk memproduksi suatu hal yang dipatenkannya dan melarang pihak lain yang tidak memiliki persetujuan. Hal ini tentu akan menguntungkan pemilik resep dalam menjalankan usahanya. Sebab, hanya pemilik resep seorang lah yang dapat menggunakan resep tersebut dan mendapatkan keuntungan dari produk yang dihasilkan. Akan tetapi, apabila ditelusuri secara lebih mendalam, hak paten memiliki regulasi yang tidak sederhana, bahkan dapat beresiko merugikan usaha kuliner.
- Masa Berlaku Hak Paten
Menurut Pasal 22 dan Pasal 23 UU Paten, dijelaskan bahwa perlindungan paten memiliki jangka waktu, yaitu 20 tahun untuk paten dan 10 tahun untuk paten sederhana. Sementara itu, perlu diketahui bahwa perbedaan paten dan paten sederhana dijelaskan dalam Pasal 3. Paten hanya dapat diberikan apabila memiliki langkah inventif, sementara paten sederhana dapat diberikan apabila memiliki pengembangan dari produk atau proses yang telah ada. Selain itu, jangka waktu pemberian hak paten tersebut tidak dapat diperpanjang. Dalam konteks usaha kuliner, kondisi ini diartikan bahwa jika masa berlaku paten terhadap resep telah habis, maka pemilik resep akan kehilangan haknya dan setiap orang dapat menggunakan resep tersebut untuk tujuannya masing-masing. Hal ini berpotensi merugikan usaha kuliner, sebab setiap pemilik usaha tentu mengharapkan usaha kulinernya dapat berjalan lebih dari 10 ataupun 20 tahun.
- Pengumuman kepada Publik
Berdasarkan Pasal 46 sampai Pasal 49 UU Paten, telah dicantumkan bahwa Menteri nantinya akan mengumumkan permohonan paten selama paling sedikit 6 bulan yang harus dapat dilihat dan diakses oleh setiap orang. Pengumuman tersebut juga mencakup abstrak dan klasifikasi invensi, hal ini dilakukan agar setiap orang dapat mengajukan pandangan dan/atau keberatan disertai dengan alasan terhadap permohonan paten tersebut. Hal ini tentunya sangat tidak sejalan dengan konsep usaha kuliner, dimana resep seharusnya dirahasiakan semaksimal mungkin dan tidak dipublikasikan agar tidak ada pihak lain yang dapat membuat produk yang sama. Selain itu, masa pengumuman paten yang membutuhkan waktu selama 6 bulan dinilai sangat lama dan dapat menghambat usaha kuliner. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip bisnis yang mengutamakan kesederhanaan.
- Apakah Kuliner dapat Dipatenkan?
Pada dasarnya, paten tidak dapat berlaku terhadap semua jenis resep. Pasalnya, harus ditinjau terlebih dahulu dalam bentuk apa produk akhir dari resep tersebut. Contohnya, tentu masyarakat umum seringkali mendengar restoran Sate Khas Senayan. Dalam konteks ini, Sate Khas Senayan tidak bisa serta merta mendaftarkan hak paten terhadap menu-menu andalannya. Hal ini disebabkan pengajuan hak paten memerlukan identitas pencipta, dimana dalam kasus ini tentu akan menjadi sangat sulit menentukan pencipta dari masakan sate. Namun, sejatinya paten masih dapat diberikan terhadap beberapa inovasi yang diciptakan dalam suatu produk usaha kuliner. Contoh saja paten makanan tradisional dalam kaleng yang dikantongi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunung Kidul. Dalam kasus ini, dapat dilihat bahwa LIPI mendaftarkan hak paten terhadap teknologi pengalengan makanan tradisional, dan bukan pada makanan tradisionalnya. Inovasi teknologi ini diklaim dapat mempertahankan kandungan gizi makanan dalam kaleng tersebut. Pada kasus ini, dapat disimpulkan bahwa hak paten cenderung berlaku terhadap inovasi ataupun teknik produksi yang dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Paten dalam usaha kuliner tidak dapat diberikan pada resep yang menghasilkan produk yang sejatinya telah eksis sebelumnya, meskipun dengan dalih produk yang dihasilkan lebih enak ataupun disukai masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri, pengajuan hak paten merupakan persoalan administratif yang cukup memakan waktu. Tentu kondisi ini dapat sangat menghambat berjalannya bisnis dan usaha kuliner yang dimiliki oleh Tuan Krab. Oleh karenanya, Tuan Krab dapat menempuh langkah perlindungan terhadap resep rahasianya melalui rahasia dagang. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (UU Rahasia Dagang) disebutkan bahwa rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Kemudian, dalam Pasal 2 UU Rahasia Dagang dijelaskan pula bahwa lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini tentu sangat sesuai dengan ruang lingkup perlindungan resep yang tentunya memiliki nilai ekonomis tinggi bagi pemilik usaha dan tidak diketahui oleh orang banyak. Pemilik rahasia dagang disini juga memiliki beberapa hak yang sangat sesuai dengan dunia usaha kuliner, yakni menggunakan sendiri resep yang dimilikinya, dan memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan atau mengungkapkan resep kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.
D. Belajar dari Kasus Hi Pin, Pentingnya Rahasia Dagang
Sejatinya, tidak banyak kasus sengketa rahasia dagang yang cukup terkenal di Indonesia. Namun, salah satu kasus yang sempat diliput oleh beberapa media adalah kasus sengketa rahasia dagang oleh Hi Pin sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 332 K/PID.SUS/2013. Hi Pin adalah seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp5.000.000 karena terbukti menggunakan rahasia dagang pihak lain tanpa hak. Secara singkat, hal ini bermula ketika Hi Pin mendatangi mess karyawan Pabrik Kopi Bintang Harapan dan membujuk seorang karyawan bagian produksi dan pemasaran, bernama Noldhy Lagindawa untuk berhenti bekerja pada pabrik tersebut. Noldhy Lagindawa juga diarahkan untuk merekrut empat temannya yang bekerja di bidang yang berbeda untuk berhenti bekerja pada pabrik tersebut. Mereka kemudian pindah kerja di perusahaan Hi Pin, yakni CV Tiga Putra Berlian dengan diiming-imingi gaji sebesar dua kali lipat daripada tempat mereka bekerja sebelumnya.
Saat mulai bekerja, Noldhy Lagindawa dan keempat temannya diperintahkan oleh Hi Pin untuk membuat tempat penggorengan dan penggilingan kopi sesuai dengan pengalaman mereka di CV Bintang Harapan. Mereka juga diperintahkan untuk mengambil contoh kopi mentah, saringan kopi bubuk, dokumentasi, mesin penggorengan dan produksi, serta plastic packing milik CV Bintang Harapan. Hal ini dilakukan dengan harapan produk milik CV Tiga Putra Berlian sama dengan kopi bubuk produksi CV Bintang Harapan. Tidak berhenti sampai disitu, Hi Pin bersama Noldhy Lagindawa bahkan mendatangi langganan dan distributor kopi bubuk Bintang Harapan untuk menawarkan produk mereka. Hal ini kemudian membuat produksi kopi bubuk CV Bintang Harapan macet dan terhambat. Selain itu, langganan dan distributor dari CV Bintang Harapan juga beralih kepada CV Tiga Putra Berlian.
Atas dasar hal tersebut, Hi Pin didakwa dengan Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Hal ini dikarenakan Hi Pin telah terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan rahasia dagang CV Bintang Harapan. Dalam putusan tersebut, disebutkan pula bahwa metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan dan pemasaran, atau informasi lain di bidang teknologi dan atau bisnis termasuk dalam lingkup perlindungan rahasia dagang sebagaimana dalam Pasal 2 UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Kasus ini telah menggambarkan betapa pentingnya upaya seorang pelaku usaha kuliner dalam melakukan langkah proteksi terhadap resep sebagai rahasia dagang yang dimilikinya. Guna meminimalisir terulangnya kasus Hi Pin, umumnya pelaku usaha akan membuat suatu kesepakatan dengan pihak yang berkepentingan, contohnya pekerja, untuk menjaga rahasia dagang yang dimiliki oleh pelaku usaha. Langkah kesepakatan ini dapat dilakukan dengan cara mencantumkan pasal kerahasiaan informasi dalam kontrak kerja. Selain melalui kontrak kerja, kesepakatan mengenai rahasia dagang juga dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian kerahasiaan (confidentiality agreement) dengan pihak yang memiliki akses terhadap resep yang dimaksud. Selain itu, apabila pelaku usaha kuliner ingin memperluas cakupan usahanya, dengan membuka cabang atau memberlakukan sistem franchise, pelaku usaha dapat membuat kesepakatan berupa perjanjian lisensi dengan pihak lain. Perjanjian lisensi ini berfungsi untuk memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan rahasia dagang sebagaimana dengan yang telah disepakati. Lebih lanjut, perjanjian lisensi ini juga harus dicatatkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual agar mendapatkan perlindungan secara hukum.
Kasus ini pada dasarnya dapat dielaborasikan secara lebih lanjut dengan perseteruan Tuan Krab dan Plankton. Hal ini juga dapat memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai apa yang dapat terjadi pada mereka apabila sewaktu-waktu Plankton berhasil mencuri resep rahasia Krabby Patty dan memanfaatkannya untuk meraup keuntungan. Pada situasi ini, Tuan Krab dapat menuntut Plankton dengan dakwaan sama dengan yang dijatuhkan kepada Hi Pin, yakni Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2000. Dengan dakwaan tersebut, Tuan Krab dapat mengajukan gugatan materiil atau immateriil yang telah dialami oleh usaha Krusty Krab akibat dari perbuatan Plankton. Bahkan, Tuan Krab juga dapat menuntut Plankton dengan tuntutan pidana apabila Plankton mendapatkan resep rahasia tersebut dengan cara kekerasan, seperti Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP apabila terjadi pengancaman ataupun Pasal 328 KUHP apabila terjadi penyanderaan.
Selain itu, dapat disadari, kasus Hi Pin memiliki banyak kemiripan dengan beberapa episode dalam kartun Spongebob Squarepants. Dalam satu episode, Plankton pernah memanfaatkan dan menghasut Spongebob untuk mendapatkan resep rahasia Krabby Patty. Bahkan, dalam episode lainnya, Spongebob pernah membuka restoran Spongebob’s Place yang menjual Krabby Patty sama persis dengan yang dijual di Krusty Krab. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya eksistensi perjanjian kerahasiaan dan perjanjian lisensi antara Tuan Krab dan Spongebob. Dengan perjanjian kerahasiaan, Tuan Krab tentu dapat meminta pertanggungjawaban Spongebob apabila sewaktu-waktu Spongebob membocorkan resep rahasia kepada Plankton. Di sisi lain, dengan adanya perjanjian lisensi, Spongebob juga tidak akan bisa sembarangan membuka restoran baru yang menjual makanan dari resep rahasia tanpa seizin dan sepengetahuan Tuan Krab.
E. Best Effort yang Dapat Dilakukan Pelaku Usaha Sebagai Langkah Non-Hukum
Perjanjian lisensi dan perjanjian kerahasiaan memang menjadi dua hal yang sangat penting sebagai langkah hukum perlindungan resep. Namun, kedua hal tersebut dapat menjadi sia-sia apabila tidak ada upaya-upaya lainnya yang dilakukan oleh pelaku usaha. Menanggapi hal tersebut, penulis juga menyarankan agar pelaku usaha kuliner dapat melakukan best effort atau dengan upaya semaksimal mungkin untuk menjaga dengan baik kerahasiaan dari resep yang dimilikinya. Mengenai hal ini, masyarakat luas dapat belajar dari bagaimana cara perusahaan raksasa minuman soda Coca-Cola menyimpan rahasia dagangnya. Formula Coca-Cola diketahui sebelumnya disimpan di dalam kotak penyimpanan di SunTrust Bank, Atlanta selama 86 tahun sebelum akhirnya dipindahkan ke sebuah rumah yang dinamakan sebagai The World of Coca-Cola. Sesuatu yang penting disoroti disini adalah bagaimana perusahaan Coca-Cola melakukan best effort untuk menjaga secara ketat kerahasiaan formula dari pihak luar. Hal ini tentu perlu diteladani oleh pelaku usaha kuliner agar dapat secara cerdas menyimpan dan tidak mengumbar kepada pihak lain resep yang dimilikinya.
Tentu apa yang dilakukan oleh Coca-Cola tidak dapat ditiru secara gamblang oleh setiap pelaku usaha kuliner di Indonesia. Pasalnya, penyimpanan di bank tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Maka dari itu, pelaku usaha kuliner dapat melakukan upaya lainnya untuk meminimalisir kebocoran resep. Contohnya adalah dengan menyimpan resep secara aman dari jangkauan pekerja. Pelaku usaha juga harus hati-hati terhadap pertanyaan ataupun obrolan yang dapat mengungkap formula dalam resep, contohnya pertanyaan konsumen tentang alat dan bahan yang digunakan dalam membuat suatu produk. Selain itu, pelaku usaha kuliner juga dapat meniru bagaimana Tuan Krab memperlakukan secara hati-hati resep rahasia Krusty Krab hingga menyimpannya di dalam brankas yang terkunci.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa lihai dalam memasak atau memproduksi suatu produk saja tidak cukup untuk mendapatkan kesuksesan dalam usaha kuliner. Pelaku usaha kuliner juga dituntut untuk dapat cerdas dalam memperlakukan resep sebagai rahasia dagang yang sangat penting bagi usaha. Dari kasus Hi Pin, pelaku usaha dapat belajar betapa pentingnya eksistensi perjanjian lisensi ataupun perjanjian kerahasiaan sebagai upaya hukum dalam menjaga resep. Sementara itu, dari karakter Tuan Krab, pelaku usaha juga perlu menyadari pentingnya melakukan best effort atau upaya maksimal sebagai langkah non-hukum dari individu pelaku usaha sendiri untuk menjaga sebaik-baiknya kerahasiaan resep dari pihak lain.
Ditulis oleh
Nicholas Kevin Yolianto*
*Penulis adalah Wakil Kepala Biro Kajian PLEADS FH Unpad ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis
Daftar Pustaka dapat dilihat pada link berikut
https://docs.google.com/document/d/1Gdk7tTRmRvJscv5C2ryrui07hPiFqjhhxIjZNHyTNrc/edit