REVISI UU MK :Evaluasi Hakim MK di Tengah-Tengah Masa Jabatan oleh Lembaga Pengusul
YANG BENER AJE? RUGI DONG!
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, konstitusi bangsa, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu ciri dari negara hukum sebagaimana diungkapkan oleh A. V. Dicey adalah supremacy of law, yang berarti hukum harus berdiri sebagai panglima tertinggi di Indonesia. Oleh karenanya, setiap tindakan apapun itu, harus berdasarkan hukum, termasuk tindakan negara dalam membuat undang-undang.
Berdasarkan prinsip negara hukum tersebut, lahirlah Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas sebagai the guardian of the constitution, the protector of human rights. MK, digawangi oleh 9 orang hakim konstitusi yang tidak boleh ditawar lagi, berdasarkan prinsip universal kekuasaan kehakiman (bangalore principle) bahwa mereka harus INDEPENDEN. Sebagaimana pula diungkapkan oleh Alexander Hamilton dalam Federalist Paper, bahwa independensi pengadilan adalah mutlak.
Perlu kita sama-sama pahami bahwa pengadilan yang independen adalah rumah bagi para pencari keadilan, sementara pengadilan yang tidak independen, adalah rumah jagal bagi hak asasi warga negara.
Evaluasi hakim MK di tengah-tengah masa jabatan oleh lembaga pengusul adalah pintu masuk untuk merusak independensi MK
Herbert Buttefield, dalam bukunya The Whig Interpretation of The History menyatakan “cara terbaik dalam mengantisipasi masa depan adalah dengan melihat sejarah yang telah terjadi’. Pernyataan tersebut sangat penting untuk kita jadikan landasan, bagaimana kita menyikapi rencana ke(tidak)bijakan “evaluasi hakim MK di tengah masa jabatan oleh lembaga pengusul” yang sedang diusung DPR melalui revisi UU MK. Jangan sampai kegagalan kita dalam mempelajari sejarah kelam yang telah terjadi, membawa independensi MK semakin terjerumus ke dalam lubang hitam keterpurukan.
Sejarah yang penulis maksud adalah preseden buruk dicopotnya Yang Mulia Aswanto dari jabatannya sebagai hakim MK secara paksa oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Di mana ide untuk memformalisasi “evaluasi hakim MK di tengah masa jabatan oleh lembaga pengusul” terinspirasi dari dicopotnya Aswanto kemarin. Apa tujuan dibalik pencopotan ini? penguasa mungkin bisa berdalih seribu macam pembenaran. Namun, di mata pemerhati hukum yang menjunjung akal sehat dan objektivisme, “mengapa aswanto dicopot?” tidak ada alasan lain selain “untuk mengamankan UU Cipta Kerja dan proyek-proyek legislatif sesat lainnya”.
Penulis mengutip salah satu pembenaran yang dilakukan oleh Bambang Pacul, Pimpinan Komisi III DPR RI, yang sangat memuakkan. Ia mempersamakan konsep antara direktur dan pemegang saham badan hukum dengan hubungan antara DPR RI dan MK. Sebuah konsep yang amat keliru.
Mengapa demikian?
Dalam hubungan antara direktur dan pemegang saham, perwakilan yang terjadi adalah sesuai dengan apa yang disampaikan Von Gierke, yaitu perwakilan sebagai atasan dan bawahan. Hal ini karena terdapat modal atau uang yang diserahkan oleh pemegang saham kepada direktur untuk dikelola. Oleh karenanya, wajar saja, apabila pemegang saham mencopot direktur kapanpun atau ketika direktur tersebut sudah tidak lagi memenuhi standar yang dibuat oleh pemegang saham (anggaran dasar).
Hal tersebut jelas berbeda dengan hubungan antara DPR dan MK, yang tentunya bukan hubungan antara atasan dan bawahan. Tidak ada modal atau uang sedikitpun yg diberikan oleh DPR kepada para hakim MK. Jikapun anggaran MK harus dengan persetujuan DPR, uang yang diberikan bukanlah uang yang keluar dari kantong pribadi para DPR, melainkan uang rakyat Indonesia. Apabila ingin dibandingkan lebih jauh, tidak ada satupun direksi yang dapat merevisi kinerja dari para pemegang saham. Berbeda halnya dengan MK, dimana berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu kewenangannya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu menguji kinerja DPR dalam membuat Undang-Undang. Oleh karena itu, MK hadir untuk melindungi konstitusi dan melindungi hak asasi warga masyarakat, bukan kepentingan sesat legislatif apalagi kepentingan presiden dalam membangun dinasti.
Selain itu, menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), DPR memang memiliki fungsi pengawasan, yaitu fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN. Pasal tersebut pun tidak dapat dijadikan pembenaran DPR atas tindakan pencopotan Aswanto kemarin karena APA YANG DILAKUKAN OLEH ASWANTO MERUPAKAN TINDAKAN YANG SESUAI DENGAN UNDANG UNDANG MK, bukan sesuai dengan hati para anggota DPR SEHINGGA hal tersebut TIDAK PATUT UNTUK DI EVALUASI. Oleh karena itu, Evaluasi hakim MK di tengah-tengah masa jabatan oleh lembaga pengusul merupakan bentuk upaya untuk membonsai MK dari hulu sampai ke hilir.
Bahkan Prof Jimly Assidiqie pun sebagai Begawan Hukum Tata Negara Indonesia mengatakan bahwa tidak ada negara manapun di dunia, yang hakim MK nya dapat di recall oleh lembaga pengusul. Namun, di Indonesia justru terjadi ketika Yang Mulia Aswanto ditarik paksa keluar oleh DPR, dan preseden buruk ini justru ingin diformalisasi ke dalam norma UU melalui revisi UU MK.
Perlu kita ingat! Kejahatan konstitusi adalah induk, dia akan melahirkan kejahatan-kejahatan lain yang amat merugikan rakyat. Evaluasi hakim MK di tengah masa jabatan adalah tindakan utama untuk merusak independensi yang hanya akan melahirkan kejahatan konstitusi tadi. Oleh karena itu, penulis menolak ditundukkannya independensi MK melalui evaluasi hakim MK di tengah masa jabatan oleh lembaga pengusul.
Apa yang seharusnya diatur dalam UU MK melalui UU MK?
Terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konstitusi serta rencana revisi UU MK keempat menunjukan bahwa problematika yang dipikirkan oleh pemerintah sebagian besar hanya berkutat pada masalah batas usia serta evaluasi hakim MK yang justru menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat. Padahal, terdapat beberapa hal yang lebih krusial, salah satunya adalah mekanisme seleksi hakim konstitusi.
Proses seleksi hakim konstitusi merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi kualitas, moralitas, dan imparsialitas hakim konstitusi. DPR seharusnya mengatur secara rinci proses dan tata cara pengisian jabatan hakim konstitusi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yang oleh penulis sekurang-kurangnya menjadi konsep ideal untuk merumuskan aturan tentang proses dan tata cara pengisian jabatan hakim konstitusi, yakni adanya asesmen publik, hadirnya representasi publik, pelibatan organisasi non pemerintah, partisipasi media massa, dan konsultasi dengan akademisi.
Ditulis oleh:
Kartika Eka Pertiwi*
Dendi Marcello**
*Penulis adalah Ketua PLEADS Board ke-13, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis.
**Penulis adalah Kepala Biro Hubungan Eksternal PLEADS Board ke-13, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis.