Urgensi Pengesahan RUU TPKS di Indonesia: Solusi atau Basa-Basi?

PLEADS FH Unpad
17 min readApr 4, 2022

--

A. Pendahuluan

Pada realitanya, konsepsi tindak kejahatan berkaitan erat dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan ini terkonstruksi sebab kejahatan merupakan suatu ancaman terhadap keselamatan dan ketenteraman hidup manusia dalam masyarakat. Kejahatan sendiri menurut KBBI adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Adapun tindak kejahatan yang masih menjadi bayang-bayang gelap masyarakat, yakni tindak kejahatan kekerasan seksual. Sungguh ironi, kasus kekerasan seksual menjadi suatu fenomena yang masih tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu, baik yang telah terungkap maupun tidak terungkap oleh media. Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan 2022, terjadi 338.496 kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan dengan peningkatan 50% (dari 226.062 kasus pada 2020). Adapun dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, Komnas Perempuan mencatat hanya sedikit informasi yang tersedia atau sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh lembaga layanan dan Komnas Perempuan. Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non-hukum (3%). Bahkan banyak kasus tidak ada informasi penyelesaiannya (85%). Data-data ini menunjukkan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual tidak kunjung menunjukkan penurunan signifikan.

Kekerasan seksual sendiri menurut Pasal 1 Angka 1 Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis. Berkaca pada pengertian tersebut, maka bisa dikritisi bahwa kekerasan seksual dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan melalui serangkaian cara atau menggunakan media apapun. Kemudian, subjek yang menjadi titik berat pada kejahatan kekerasan seksual bukan hanya pelaku, tetapi juga korban yang memikul beban akibat kekerasan seksual berupa penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.

Adapun ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan lain sebagainya masih belum cukup untuk mengakomodasi kekerasan seksual. KUHP belum sepenuhnya mengintegrasikan kebutuhan pemenuhan rasa keadilan bagi korban. Beberapa ketentuan dalam KUHP yang menjadi rujukan dalam penanganan kasus kekerasan seksual justru sebaliknya selama ini menjadikan perempuan korban mengalami revictimization (korban menjadi korban kembali); serta tidak mampu menjawab pemenuhan rasa keadilan yang dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan seksual. Hal ini dapat terlihat dari sejumlah pasal dalam KUHP untuk kasus perkosaan yang mensyaratkan kondisi pingsan dan tidak berdaya; dibawah umur, bukan istri, serta tidak secara eksplisit mengakomodir bentuk perkosaan jika bukan dilakukan melalui penis (laki-laki) ke vagina (perempuan).Ditambah lagi dengan sulitnya pembuktian unsur perkosaan jika dalam fakta kejadian kondisi korban tidak berdaya, dan/atau terjadi karena bujuk rayu, intimidasi atau pemaksaan yang tidak semata-mata fisik, tetapi juga psikologis.

Lebih lanjut, secara garis besar klasifikasi kekerasan seksual berdasarkan KUHP hanya terbagi terbagi atas, perzinahan, persetubuhan, pencabulan, serta pornografi. Padahal, bentuk dan jenis kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat saat ini semakin beragam. Tidak heran jika saat ini, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terproses dalam pengadilan, berakhir damai, tidak dihukum sepantasnya, bahkan tak kunjung menemui titik terang sama sekali. Hal-hal seperti itu memperlihatkan adanya kekosongan hukum atas tindak kejahatan kekerasan dan pelecehan seksual yang tidak mampu dijangkau oleh KUHP.

Selain itu, masih banyaknya catatan kritis terhadap substansi peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang kekerasan seksual saat ini memperlihatkan pasal-pasal yang ada memiliki keterbatasan norma sehingga belum memuat bentuk-bentuk kekerasan seksual secara komprehensif dan belum mencakup jaminan penghapusan kekerasan seksual yang didalamnya termuat aspek pencegahan, perlindungan, pemulihan dan pemberdayaan korban. Adanya kekosongan hukum ini maka diperlukan suatu produk hukum yang berkualitas sebagai instrumen untuk melengkapi dan mengatur secara khusus tentang kejahatan kekerasan seksual.

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinilai sebagai produk hukum yang dapat menjawab persoalan kejahatan kekerasan seksual dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, jika menilik lebih jauh, timbul suatu pertanyaan, apakah seluruh rumusan di dalam RUU TPKS dinilai tepat untuk menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia? Apakah sistem hukum Indonesia siap dengan kehadiran produk hukum RUU TPKS? Oleh karena itu, kajian ini akan berfokus pada pembahasan mengenai bagaimana rumusan RUU TPKS dalam menangani kekerasan seksual serta kesiapan sistem hukum Indonesia dalam mengadopsi RUU TPKS.

B. Kondisi Kekerasan Seksual di Indonesia

Bicara mengenai realita kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, dapat masyarakat umum sadari bahwa kasus kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan lansia dengan gender perempuan maupun laki-laki. Pelakunya pun bermacam-macam, bisa berasal dari orang asing, guru atau dosen, atasan, orang-orang terdekat seperti teman, saudara, bahkan orang tua. Seiring perkembangan zaman dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) bentuk dan jenis kasusnya pun beragam, hasil pemantauan Komnas Perempuan sejak tahun 1998 hingga 2013 menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, yakni: a) perkosaan; b) perbudakan seksual; c) intimidasi seksual; d) prostitusi seksual; e) eksploitasi seksual; f) pemaksaan perkawinan; g) perdagangan perempuan untuk seksual; h) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; i) pemaksaan kehamilan; j) pemaksaan aborsi; k) penyiksaan seksual; l) kontrol seksual; m) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; n) pelecehan seksual; dan o) praktik tradisi berkaitan seksual yang berbahaya atau diskriminasi perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2021).

Kekerasan seksual telah dirumuskan dalam berbagai peraturan hukum positif di Indonesia tetapi nyatanya peraturan-peraturan itu belum secara utuh merumuskan keadilan bagi korban. Pada dasarnya, terdapat tiga bentuk kekerasan seksual yang ditemukan normanya dalam peraturan perundang-undangan, yaitu perkosaan, eksploitasi seksual dan perdagangan orang sehingga pelanggaran tindakan atas norma tersebut dapat diproses ke pengadilan. Namun, temuan 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual berdasarkan pendokumentasian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan yang belum dikenal dalam hukum positif Indonesia, adalah kenyataan, fakta kejadian dan sejarah kekerasan seksual yang perlu dibentuk norma hukumnya sesuai dengan politik hukum nasional.

Salah satu contoh kasus yang dapat diselesaikan oleh KUHP kita adalah kasus Herry Wirawan, seorang kepala pondok pesantren di Bandung yang memerkosa belasan santriwatinya, hingga ada beberapa anak yang sampai melahirkan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati dan juga kebiri kimia. Namun, Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum Herry Wirawan dengan penjara seumur hidup, lebih ringan daripada tuntutan JPU. Majelis Hakim memastikan Herry terbukti bersalah sebagaimana diatur dalam dakwaan primair Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Adapun contoh kasus riil mengenai jenis kekerasan seksual yang belum dapat dijangkau oleh hukum positif Indonesia adalah, kasus kekerasan seksual yang dialami oleh pegawai KPI berinisial MS. Kasus ini viral setelah MS menguak kejadian pelecehan seksual tersebut melalui surat terbuka pada bulan September 2021 lalu. MS mengaku dirundung secara verbal dan non-verbal yang mengarah pada pelecehan seksual, seperti ditelanjangi oleh beberapa teman sekantornya. Kejadian tersebut menyebabkan MS didiagnosis mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), anxiety disorder, dan depresi mayor. Pada tanggal 7 Maret 2022, narasi.tv mengungkap bahwa kasus yang dialami oleh MS bahkan belum masuk ke penyidikan hingga saat ini. Kuasa hukum MS mengatakan hal tersebut terjadi karena tidak ada saksi atas kejadian yang dialami korban, tidak ada bukti cctv, serta locus delicti (tempat terjadinya peristiwa pidana) yang telah berubah. Kesulitan pembuktian saksi juga dapat dilihat pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Dosen Unri, Syafri Harto, yang mana hakim menolak bukti kondisi psikologis korban dan menilai bahwa satu saksi tidak cukup untuk dijadikan bukti sehingga pelaku divonis bebas.

Kejadian lainnya terjadi pada Juli 2020 lalu, seorang berinisial DD mengunggah video temannya, karyawan Kedai Kopi Starbuck berinisial KH yang sedang mengintip bagian dada dan paha pelanggannya melalui monitor CCTV. Video tidak senonoh tersebut viral sehingga Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menjerat dua mantan karyawan Starbuck yang terlibat kasus ini. Secara hukum, DD ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam UU ITE. Selain itu, permasalahan lainnya timbul dari bentuk tindakan DD dalam melakukan tindakan pelecehan seksualnya, yakni mengintip. Pasalnya, tidak ada satupun pasal yang menyebutkan frasa “mengintip”. Hal ini kemudian berdampak pada status KH yang tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka oleh karena tidak ada pasal yang dapat dikenakan untuk perbuatannya.

Berdasarkan dua kasus di atas maka dapat diketahui bahwa kekerasan seksual pastinya sangat berdampak buruk terhadap korban. Korban bisa mengalami trauma yang berkepanjangan jika tidak ditangani dengan baik dan benar. Dampak dari kekerasan seksual terhadap korban yang pertama adalah dampak psikologis. Secara psikologis korban akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain, kehilangan rasa percaya diri, mudah mengalami kecemasan, perasaan tidak aman, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, menyalahkan diri sendiri, apatis terhadap hidup, mencoba/melakukan bunuh diri, dan gangguan dalam aktivitas sosial. Bahkan, korban juga dapat mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Dampak yang kedua bagi korban kekerasan seksual adalah dampak fisik. Tidak jarang korban dari kasus kekerasan seksual tertular Penyakit Menular Seksual (PMS) dari si pelaku. Selain itu, korban juga dapat mengalami luka fisik, cacat, psikosomatis, gangguan siklus menstruasi, pendarahan internal, dan bahkan beberapa kasus dapat menyebabkan kerusakan organ internal yang mengakibatkan kematian. Selain itu, jika dipandang melalui aspek ekonomi-sosial, korban mengalami gangguan produktivitas kerja korban, sekelumit pengeluaran ekstra untuk mengurus kasus, penyembuhan luka, pindah rumah, serta kehilangan kendali atas ekonomi keluarga. Selain itu, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dampak terparah dari tindakan kekerasan seksual adalah 70% korban kekerasan seksual rawan menjadi pelaku.

Pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban. Perlu disadari pula bahwa sesungguhnya kekerasan seksual mengancam keberlangsungan bangsa dan kualitas generasi yang akan datang. Namun, secara faktual penanganan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban serta upaya pencegahan dari pemerintah dirasakan masih sangat minim dan jauh dari harapan. Hal ini biasanya hanya dilakukan secara inisiatif oleh pihak-pihak sporadis yang tidak terintegrasi dengan baik. RUU TPKS berupaya untuk menghadirkan pemerintah dalam memberikan dan menjamin penyelenggaraan pencegahan serta penanganan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban. Pasal yang dihadirkan oleh RUU TPKS dalam menangani persoalan tersebut termaktub dalam BAB V pasal 47 sampai 64 mengenai hak korban, keluarga korban, dan saksi serta BAB VII mengenai pencegahan, koordinasi, dan pemantauan, pasal 64 dan 65.

Berdasarkan kondisi tersebut, terbukti bahwa kehadiran RUU TPKS dalam memperbaharui hukum, khususnya hukum acara dan penguatan hak korban akan sangat membantu para korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan. Namun, disisi lain, masih terdapat sedikit kekurangan dari RUU tersebut, yakni dipangkasnya beberapa bentuk tindakan dari koridor kekerasan seksual. Pemerintah beralasan bahwa hal ini terjadi karena bentuk-bentuk tindakan tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sekarang telah berlaku. Menanggapi kondisi tersebut, penulis menilai bahwa pengaturan beberapa tindakan tersebut justru memerlukan penegasan ulang dalam RUU TPKS. Pasalnya, jika berkaca terhadap situasi saat ini, lima belas temuan bentuk tindakan kekerasan seksual berdasarkan pendokumentasian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, sebagian besar belum dapat diselesaikan oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, sampai saat ini masih ada beberapa masukan terhadap muatan substansi RUU TPKS . Terakhir, RUU TPKS juga masih menuai pendapat kontra dari beberapa kelompok, salah satunya adalah Fraksi Partai Kesejahteraan Rakyat. Dengan demikian, sebelum mengadopsi RUU TPKS ke dalam hukum positif Indonesia, diperlukan persiapan secara matang agar implementasi daripada RUU TPKS tidak percuma dan tidak menimbulkan kerugian yang berarti.

C. Masukan dan Penolakan terhadap RUU TPKS

Masyarakat dari berbagai kalangan sangat proaktif memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah dalam menyempurnakan kekurangan RUU TPKS. Lembaga Bantuan Hukum Apik memberikan 10 poin masukan kepada substansi RUU TPKS, adapun poin masukannya adalah sebagai berikut:

  1. Pasal 5 tentang pelecehan seksual berbasis elektronik tetap dipertahankan dan diperluas unsur-unsur deliknya agar dapat menjangkau berbagai kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).
  2. Pasal 8 tentang eksploitasi seksual tidak dikeluarkan dari draf RUU TPKS karena beralasan tak semua kasus eksploitasi masuk modus perdagangan orang, sehingga tak dapat dijerat UU №21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  3. Menambahkan rumusan dalam Pasal 8 ayat (2) draf RUU TPKS menjadi “untuk menjerat pelaku (konsumen, red) yang menggunakan atau memanfaatkan korban eksploitasi seksual dengan melakukan persetubuhan.”
  4. Mempertimbangkan agar pemaksaan aborsi dimasukkan dalam draf RUU TPKS. Pasalnya, banyak korban pemaksaan aborsi yang belum bisa dijangkau KUHP. Penyebabnya, unsur delik yang terbatas, begitu pula berlakunya UU №36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang tidak mengaturnya.
  5. Perlu memasukan pengaturan soal victim precipitation agar korban tak mengalami perlakuan diskriminasi lantaran dianggap setuju dengan tindakan pelaku.
  6. Agar tidak pidana korporasi dalam Pasal 8 dikeluarkan dan diatur tersendiri agar dapat menjangkau semua bentuk TPKS yang dilakukan korporasi.
  7. Pengaturan restitusi perlu diatur tersendiri, bukan sebaliknya sebagai hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan hakim di pengadilan terhadap pelaku karena restitusi adalah hak korban yang wajib dipenuhi oleh pelaku.
  8. Pemberatan hukum kepada pelaku dari pejabat/petugas layanan publik dan aparat penegak hukum.
  9. Usulan rumusan terkait RUU TPKS agar dipertimbangkan masuk dalam DIM pemerintah. Seperti perbudakan seksual, perkosaan, dan pemaksaan aborsi. Begitu pula berbagai masukan dari jaringan masyarakat sipil berkaitan dengan hukum acara.
  10. Agar proses konsultasi publik yang sudah berbasis klaster isu krusial tetap dilanjutkan untuk restitusi, layanan terpadu, dan koordinasi serta anggaran. Serta melibatkan kementerian/lembaga. Termasuk menghadirkan Komnas Perempuan yang belum dilibatkan kemarin, dari 18 kementerian/lembaga yang diundang.

Selain itu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mendorong agar pemerintah dan Panitia Kerja memasukkan mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban ke dalam RUU TPKS. Menurutnya, jika pendanaan untuk mengakomodasikan hak-hak korban hanya bergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara maka sistem pemulihan terhadap korban akan rentan mengalami kendala. Skema victim trust fund ini merupakan dana yang diterima negara dari berbagai sumber mulai dari penerimaan bukan pajak, sanksi pidana finansial, corporate responsibility, hingga sumbangan pihak ketiga untuk diolah dan disalurkan untuk program pemenuhan hak korban. Metode ini lebih menjamin terpenuhinya ganti kerugian dan pemenuhan layanan bagi korban kekerasan seksual secara langsung dan efektif.

Masukan yang ada terhadap RUU TPKS menunjukkan dukungan proaktif terhadap pengesahan RUU TPKS. Namun, dibalik dukungan yang ada, di sisi lain terdapat kelompok yang menolak RUU TPKS salah satunya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang mana mereka menyatakan bahwa relasi gender adalah hal yang bersifat kodrati. RUU TPKS dinilai bertentangan dengan ajaran agama yang sudah mengatur relasi antara laki-laki dan perempuan dan nilai-nilai Pancasila, khususnya tidak mengindahkan Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan causa prima (faktor utama). Kelompok penolak RUU TPKS menganggap analisis relasi kuasa sebagai penyebab kekerasan seksual adalah suatu hal yang janggal bertentangan dengan konsep qowam (laki-laki sebagai pemimpin perempuan) dalam Islam (Hasib, 2020). Perempuan di Indonesia masih menerima bahwa laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarga sebagaimana hasil riset yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si saat memaparkan materi Focused Group Discussion (FGD). Hal ini juga sesuai dengan karakter keluarga Indonesia yang religius, hirarkis dan harmoni.

Lebih lanjut, penolakan ini hadir disebabkan adanya kekhawatiran oleh beberapa kelompok atas kemungkinan terjadinya upaya manipulatif yang menginisiasi peraturan perundang-undangan ini untuk mengubah tatanan kehidupan keluarga, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kelompok ini menilai adanya agenda politik lain yang terpengaruh nilai-nilai barat yang tidak sesuai dengan Pancasila dan norma agama di Indonesia. Paradigma kritis relasi kuasa dan/atau relasi gender serta sexual consent dianggap sebagai jebakan untuk melegitimasi keberagaman identitas gender dan seksualitas yang akan mendorong tindakan pelanggaran norma kesusilaan seperti perzinahan, homoseksualitas dan kawin kontrak selagi terjadi atas persetujuan.

Berbicara mengenai persetujuan atau yang sekarang dikenal dengan sebutan consent, menurut Oxford Dictionary, consent atau izin berarti sebuah izin untuk sesuatu atau izin untuk melakukan sesuatu. Consent didefinisikan sebagai sebuah kunci jika sesuatu aktivitas kepada orang lain, apapun itu bisa dilakukan atau tidak. Consent sangat dibutuhkan, artinya apabila seseorang melakukan sesuatu di luar izin dari penerima, maka perlakuan tersebut dapat dikatakan sebagai kekerasan dan pelecehan seksual. Dengan demikian, jika menilik lebih jauh, rumusan dalam RUU TPKS sebenarnya tidak berbicara mengenai pelanggaran norma atas dasar consent. Namun, consent dijadikan batasan apakah suatu perbuatan dikatakan sebagai kekerasan seksual atau tidak. Consent sendiri dalam kacamata ilmu hukum mengacu pada persetujuan di berbagai hal, tidak terbatas hanya dalam hubungan seksual. Terminologis consent digunakan dalam berbagai hal seperti membuat perjanjian yang tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata dan kesedian pasien atas tindakan medis kepada dirinya. Oleh karena itu timbulnya berbagai asumsi bahwa dengan memberikan consent untuk melakukan suatu hal, maka hal tersebut secara otomatis menjadi legal merupakan sebuah asumsi yang salah dalam kacamata ilmu hukum.

D. Realita Kesiapan Indonesia dalam Mewujudkan UU TPKS

Masuknya RUU TPKS ke dalam RUU inisiatif DPR tentu menandai adanya satu langkah menuju Indonesia yang diharapkan menjadi lingkungan yang aman dan bebas akan segala bentuk tindakan kekerasan seksual. Terlebih badan legislatif DPR mengharapkan agar RUU TPKS dapat disahkan sebelum 15 april 2022 yaitu sebelum DPR memasuki masa reses. Hal ini menunjukan adanya keseriusan pemerintah dalam menyikapi kekerasan seksual. Namun dengan adanya UU TPKS, apakah Indonesia siap dalam mengimplementasikannya?

Pertanyaan ini menjadi penting mengingat adanya payung hukum tidak secara otomatis merubah kondisi yang telah ada. Dibutuhkan sinergi antara negara, hukum, dan masyarakat dalam menegakkan UU TPKS. Kekerasan seksual mungkin secara tidak langsung masih dilanggengkan masyarakat Indonesia walaupun disaat UU TPKS telah berlaku. Pada kenyataanya respon masyarakat terhadap korban kekerasan seksual seakan menjustifikasi tindakan kekerasan seksual tersebut. Bagaimana tidak, seringkali masyarakat mempertanyakan pakaian, perilaku, dan hubungan antara korban dengan pelaku. Seakan hal ini menjadi relevan dipertanyakan, bahwa korban tentu “memancing” sehingga pelaku terpaksa melakukan tindakan tersebut. Hal ini kita sebut sebagai victim blaming, yaitu kondisi masyarakat yang bertendensi menyalahkan korban terhadap bencana yang menimpa dirinya sendiri. Pada isu kekerasan seksual, beberapa parameter menentukan seberapa layak seorang perempuan disalahkan dan dihakimi. Victim blaming terhadap korban kekerasan seksual tentu bermasalah karena korban pada realitanya tidak semestinya “dihukum” atas kesalahan yang menimpa dirinya. Namun, harus melewati trauma ulang melalui tanggapan individu dan institusi atas tindakan keji yang diterimanya. Respon negatif dari masyarakat ini bersumber dari bagaimana masyarakat berekspektasi terhadap perempuan. Terdapat nilai-nilai tradisional yang diinternalisasikan terhadap perempuan sejak dahulu seperti bagaimana harus bertindak, berpakaian, dan berperilaku. Pada saat perempuan keluar daripada nilai yang telah ada maka ia akan dianggap “pantas” menerima kekerasan seksual itu.

Respon negatif masyarakat ditunjukan dengan adanya pemberian stigma dan bias atas korban kekerasan seksual. Selain masyarakat, aparatur negara dalam hal penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual juga memiliki bias dan menunjukan ketidaksiapan dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh dalam berita Project Multatuli, seorang ibu yang berasal dari Luwu timur, Sulawesi Selatan harus berkendara 12 jam ke Kota Makassar untuk membuat pengaduan atas kekerasan seksual yang dilakukan mantan suaminya ke anak-anaknya. Menanggapi hal ini, aparat kepolisian yang seharusnya memberikan tempat aman bagi ibu korban agar dapat menceritakan kronologi dengan jelas justru malah menyudutkan ibu korban sebagai pihak yang memfitnah pelaku (mantan suami dari ibu korban). Hal ini kembali lagi menunjukkan bias dan stigma kepada perempuan, kejanggalan lain daripada itu adalah aparatur negara menggunakan kondisi mental dari ibu korban sebagai alat menjustifikasi adanya “pemfitnahan” dalam pelaporan kekerasan seksual dan adanya upaya penutupan bukti hasil visum yang dilakukan oknum kepolisian.

Dalam hal menilai kesiapan implementasi UU TPKS di Indonesia kita harus pula melihat bagaimana aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan instrumen penegak hukum lainnya dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Idealnya aparat penegak hukum harus bebas stigma dan prasangka negatif yang disematkan terhadap korban. Sebagai contoh hakim sebagai pemutus perkara harus mampu melihat kasus kekerasan seksual tidak hanya berdasarkan norma dan unsur-unsur hukum yang berlaku tetapi juga terhadap kondisi masyarakat dan aspek sosial serta psikologis yang ada.

Sebagai contoh dalam kasus kekerasan seksual seringkali kita akan menjumpai korban yang sulit mengungkapkan peristiwa terjadinya tindak kekerasan seksual, dalam ilmu psikologi hal ini disebut tonic immobility. Kondisi tonic immobility merupakan kondisi saat korban merasa shock dan tubuhnya tidak mampu berfungsi termasuk melawan pelaku pada saat kejadian. Hakim dalam hal memutus perkara kekerasan seksual diharapkan mengerti berbagai kondisi psikologis yang dihadapkan korban. Dengan demikian proses pencarian bukti dan persidangan dapat dijalankan dengan maksimal. Jaksa dalam kasus kekerasan seksual juga diharapkan dapat menunjuk korban untuk memberikan kesaksian hanya sekali hingga putusan hakim karena korban bertendensi mengalami kondisi psikologis lain jika harus kembali mengingat kondisi traumatis yang menimpanya.

Dari contoh kasus di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa dalam hal memutus perkara kekerasan seksual. Segala aparat hukum harus diberikan pelatihan sebagaimana tertuang pada Pasal 17 ayat (1) dalam RUU TPKS yang berbunyi:

  1. Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus memenuhi persyaratan:

a. memiliki pengetahuan dan kompetensi tentang Penanganan Korban yang berperspektif hak asasi manusia dan korban; dan

b. telah mengikuti pelatihan terkait Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimanakah mekanisme pelatihan terkait Penanganan perkara Kekerasan Seksual? Siapa pelatihnya? Berapa lama waktu pelatihannya? Apa saja yang akan dilatihnya? Kurikulumnya apakah dibentuk oleh negara? Atau lembaga swasta terkait? serta apakah para penegak hukum yang mengikuti pelatihan ini akan menjadi bebas daripada stigma dan prasangka negatif terhadap korban, seperti yang sudah dibeberkan sebelumnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat terjawab dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang merupakan produk hukum turunan UU TPKS. Dalam PP tersebut haruslah dicantumkan berkenaan mengenai prosedural dan pelatihan penanganan kekerasan seksual sebagaimana yang tercantum pada Pasal 17 RUU TPKS. Selain daripada itu Peraturan Pemerintah tersebut seyogianya dapat pula menjelaskan secara lebih rinci dan jelas mengenai mekanisme penyelenggaraan pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah (Pasal 60 RUU TPKS). Adanya penyelenggaraan tindak pidana kekerasan seksual dari segala bidang bertujuan untuk dapat menyadarkan masyarakat secara lebih luas akan pentingnya isu kekerasan seksual dan yang terpenting adalah dapat menciptakan kondisi yang aman serta bebas kekerasan seksual di segala bidang. Hal ini penting mengingat dalam memaksimalkan tujuan dari RUU TPKS sendiri haruslah diselaraskan dengan aparat hukum dan masyarakat yang siap dan mampu untuk menegakkan UU TPKS.

Terkait tentang prasangka dan stigma aparat penegak hukum, hal ini juga diatur dalam Pasal 24 ayat (1) huruf e RUU TPKS tentang hak perlindungan bagi setiap korban kekerasan seksual yang berbunyi:

Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap Korban.

Jadi, sejalan dengan bunyi Pasal 24 ayat (1) huruf e RUU TPKS di atas, para penegak hukum, dalam hal ini hakim, jaksa, polisi, dan seluruh elemen yang terlibat di dalam proses penyelesaian kasus kekerasan seksual, harus terbebas dari berbagai stigma-stigma negatif yang dapat menambah tekanan terhadap korban. Juga para aparat penegak hukum haruslah mengerti dan menguasai betul tentang penanganan kasus kekerasan seksual. Jangan malah nantinya jika UU TPKS disahkan, para aparat penegak hukum kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan serta malah memperburuk keadaan korban. Dalam hal ini, negara harus memastikan para korban mendapat perlakuan yang layak dari perangkat penegak hukum yang merupakan representasi dari negara itu sendiri. Berkaca pada penjelasan sebelumnya, seluruh elemen masyarakat idealnya harus turut serta siap dengan implementasi RUU TPKS.

E. Kesimpulan

Di Indonesia bentuk-bentuk kasus kekerasan seksual semakin beragam seiring dengan berkembangnya zaman dan IPTEK. Kondisi tersebut diiringi dengan lonjakan kasus yang terus terjadi. Berdasarkan pendokumentasian yang dilakukan Komnas Perempuan terdapat 15 bentuk kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Mirisnya, sebagian besar belum dapat dijangkau oleh hukum positif Indonesia. Tak jarang ditemukan kasus-kasus kekerasan seksual dimana pelakunya divonis bebas oleh hakim bahkan banyak kasus yang tak pernah masuk ke penyidikan.

Dampak fisik dan psikis yang ditinggalkan oleh pelaku serta ketidakmampuan hukum positif dalam melindungi dan mengadili seakan menyiksa korban sebanyak dua kali. Berdasarkan kondisi memprihatinkan tersebut, masyarakat melalui Komnas Perempuan pada tahun 2014 menginisiasikan untuk dibentuknya RUU TPKS sebagai payung hukum yang dapat mencegah terjadi kekerasan seksual serta melindungi korban secara keseluruhan. Sayangnya, selama enam tahun RUU TPKS hanya menggantung di parlemen. Lamanya proses RUU TPKS sejatinya menunjukan bahwa lembaga pembuat regulasi masih konservatif dalam merespon hal-hal yang urgent. Desakan masyarakat dari berbagai kalangan untuk mendorong agar pemerintah mengesahkan RUU TPKS terus digaungkan. Desakan tersebut membuahkan hasil karena pada tahun 2022 RUU TPKS sudah masuk ke dalam RUU inisiatif DPR.

RUU TPKS datang sebagai solusi dalam menyelesaikan berbagai kasus kekerasan seksual yang ada. Hal ini diperkuat dengan rumusan dan muatan dalam RUU TPKS yang mendapatkan respon positif dari masyarakat yang mana dapat dilihat pada sejumlah dukungan dari berbagai kalangan, seperti LBH Apik dan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati. Salah satu masukannya adalah mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban ke dalam RUU TPKS. Namun, dari dukungan yang ada, RUU TPKS mendapat penolakan dari beberapa kelompok, salah satunya adalah Fraks.i PKS yang mana menyatakan bahwa rumusan dalam RUU TPKS melanggar norma agama dan Pancasila Sila Pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lanjut, substansi RUU TPKS mengindikasikan legalisasi terhadap perzinahan, homoseksualitas, dan kawin kontrak selagi berdasarkan atas consent. Miskonsepsi yang dituturkan oleh Fraksi PKS menandakan bahwa masih belum terbentuk sinergitas untuk mewujudkan RUU TPKS. Sejatinya, implementasi daripada RUU TPKS membutuhkan sinergitas yang terkonstruksi dengan baik di antara seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar seluruh pihak memiliki pandangan dengan konsep yang sama serta penyelesaian masalah kasus kekerasan seksual mencapai titik terang. Dengan demikian, rumusan RUU TPKS mencakup pula ketentuan-ketentuan persiapan dan syarat-syarat fungsionaris hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Namun, muatan mengenai ketentuan-ketentuan persiapan ini tentu menimbulkan beberapa pertanyaan bagaimana teknis dan mekanisme nya. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengesahkan RUU TPKS menjadi UU TPKS diiringi dengan pembentukan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan persiapan fungsionaris hukum.

Ditulis oleh

Emillia Isni Maulidina*
Gede Nararya Maheswara*
Kartika Eka Pertiwi*
Nurhidayah Muhcti*
Rahma Shinta Azzahra*

  • Penulis adalah Staf Biro Kajian PLEADS FH Unpad Board ke-11, pandangan dalam tulisan ini mewakili pandangan pribadi, setiap kesalahan kembali pada penulis.

--

--

PLEADS FH Unpad
PLEADS FH Unpad

Written by PLEADS FH Unpad

Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS) FH Unpad merupakan UKM yang menaungi kegiatan pengkajian penelitian dan berbagai perlombaan hukum.

No responses yet